1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Vivere Pericoloso Budaya Sensor di Indonesia

26 Oktober 2015

Baru saja Indonesia dipuji di ajang internasional sebagai negara demokrasi paling maju di dunia Islam, praktek sensor dan pembredelan tiba-tiba muncul lagi seperti di masa Suharto dan Orde Baru. Kolom Hendra Pasuhuk.

https://p.dw.com/p/1GuI4
Frankfurter Buchmesse Eröffnungsfeier Kulturminister Indonesien
Foto: picture-alliance/dpa/A. Dedert

Sensor, bredel, deportasi atas alasan politik. Tiba-tiba saja, Indonesia yang baru merayakan 70 tahun kemerdekaan dengan penuh kebanggaan, dan sibuk mencari investor luar dan membangun citra manis demokratis, dilempar ke belakang 20 tahun menuju era Suharto dan militerisme.

Aroma Orde Baru yang bagi banyak orang muda hanya kenangan atau kisah-kisah dari negeri jauh, tiba-tiba menyerbak mengharumi tanah Pulau Dewata. Orang disuruh diam. Dan hanya boleh bersuara mengikuti irama yang dilantunkan aparat keamanan.

Ironisnya, pratek sensor yang terakhir ini terjadi di Ubud, salah satu ikon pariwisata Indonesia yang paling dikenal dunia. Ubud, adalah hawa kebebasan dan kenyamanan, kedamaian dan keheningan jiwa, demikian citra yang dikembangkan para pembuat iklan pariwisata.

Deutsche Welle Hendra Pasuhuk
Hendra PasuhukFoto: DW/H. Pasuhuk

Ternyata, Ubud sekarang menjadi simbol kembalinya militerisme dan praktek budaya sensor berdasarkan komando.

Pemberangusan tema 1965 dari Ubud Writers & Readers Festival adalah tamparan keras bagi mereka yang berusaha mengedepankan wajah Indonesia yang dinamis, kreatif dan mampu berkomunikasi dengan dunia global, sekaligus menyumbang kontribusi bagi perdamaian dunia.

"Eropa, kalau mau, bisa belajar tentang apa artinya toleransi dari kami di Indonesia", ucap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan pada pembukaan Frankfurt Book Fair di Jerman yang dihadiri ribuan undangan kehormatan.

Bildergalerie Frankfurter Buchmesse 2015 Indonesien
Foto: DW/R. Nugraha

Saya tidak tahu, apakah hari-hari ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyesal telah memilih formulasi dan ajakan itu di depan publik dan di bawah sorotan puluhan kamera TV.

Ah, jangan terlalu mendramatisasi, kata seorang rekan jurnalis saya dari Indonesia. Saya tak habis pikir, bagaimana dia sampai pada sikap itu. Kalau ini bukan situasi dramatis bagi kebebasan berekspresi, lalu apalagi?

Saya tahu, ada perkubuan sastra di sana. Dan mungkin, festival di Ubud bukan sesuatu yang bisa "diterima" oleh sebagian kubu sastra karena satu dan lain hal.

Namun ketika kebebasan berekspresi, yang telah diperjuangkan 1998 dengan bertumpah darah, kini diancam dan ditindas, selayaklah para penulis dan pegiat sastra, para budayawan dan orang media, bersatu menentangnya. Hari ini mereka, esok ini terjadi padamu.

Bildergalerie Frankfurter Buchmesse 2015 Indonesien
Foto: DW/R. Nugraha

Tentu, saya tak berharap penyair ideologis sekelas Taufik Ismail bakal bersuara lantang menentang pembredelan Lentera dan pemberangusan kisah 1965 dari Festival Ubud. Tapi saya masih berharap pada banyak penulis dan pekerja media lain, yang tetap mau dan mampu menggunakan akal sehatnya.

Agar berdiri tegak menentang kembalinya tudung hitam bernama budaya sensor, yang mulai dihampar para demagog dan ahli nujum politik Orde Baru, buat menutupi kehijauan alam segar imajinasi dan kreativitas yang sedang tumbuh pesat di bumi nusantara.