1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Warga Kristen di Libanon Cemas

Diana Hodali13 September 2012

Libanon adalah negara dengan penduduk beragama Kristen terbesar di Timur Tengah. Menjelang kunjungan Paus Benediktus XVI, warga Kristen meminta perhatian lebih masyarakat internasional.

https://p.dw.com/p/1685S
Foto: DW/D.Hodali

Di Beirut Libanon, suara lonceng gereja dan adzan berbaur. Minoritas Kristen di Libanon hidup damai di negara mayoritas muslim itu. 20 persen penduduk Libanon beragama Kristen. Di banyak tempat, gereja berdiri berdampingan dengan mesjid. Misalnya Katedral St George di pusat kota.

Pada malam itu, katedral dipenuhi jemaat. Misa tidak hanya dihadiri orang-orang tua, tapi juga generasi muda Kristen Libanon. Tokoh agama Kristen Maronit di Beirut berkumpul di gereja ini dan mengadakan misa. Mereka ingin menyiapkan umat sebelum Paus Benediktus XVI tiba di Libanon 14 September.

Salah seorangnya adalah Pastur Antoine Assef. Ia berdiri di tengah jajaran jemaat, menyapa anggota paroki dengan jabat tangan erat. Tampaknya, Assef mengenal semua anggota parokinya. "Perang saudara meninggalkan banyak kerugian," katanya. Walaupun perang saudara sudah berakhir, menurut Assef, suasana di Libanon masih tetap tegang. "Terutama umat yang taat yang selalu merasa takut. Tapi dengan ketakutan ini, mereka makin bersandar pada agama."

Di layar lebar diputar film pendek mengenai kisah hidup Paus Benediktus XVI. Setelahnya diadakan misa malam. Antoine Assef berkhotbah tentang penderitaan Yesus Kristus, dan juga pentingnya kerukunan antar umat beragama di Libanon.

Umat Kristen Libanon Meminta Perhatian Negara Barat

Pastur Assef memimpin parokinya dalam 12 tahun terakhir. Paroki itu terletak di tengah kawasan mayoritas muslim di Beirut. Kunjungan Sri Paus, menurut Assef, penting untuk kawasan itu. "Kunjungan ini mengingatkan umat Kristen Libanon dan orang-orang lainnya kepada daerah cikal bakal Kristen, di sini, di Timur Tengah," katanya. "Dengan kunjungan Sri Paus, orang-orang berharap dunia kembali ingat, di Libanon dan Timur Tengah ini, juga tinggal orang-orang Kristen."

Pastor Antoine Assef di Katedral St. George, Beirut, Libanon.
Pastur Antoine Assef di Katedral St. George, Beirut, Libanon.Foto: DW/D.Hodali

Tapi Pastur Assef tidak yakin kunjungan Sri Paus akan membuahkan hasil yang diharapkan. Umat Kristen di Libanon sudah melewati banyak masa sulit. Saat ini, kata Assef, pada Musim Semi Arab, "Bagi umat Kristen di sini tidak ada musim semi. Rezim diktator dibubarkan oleh pemerintah yang Islamis."

Pentingnya Kerukunan Antarumat Beragama

Umat Kristen di Libanon berada di tengah kebimbangan karena situasi politik Timur Tengah yang berubah-ubah. "Apa sebenarnya yang diyakini politisi negara barat?" tanya Pastur Antoine Assef. "Percayakah mereka, bahwa pemerintah baru yang dipengaruhi Islam ini adalah ancaman bahaya, atau apa benar mereka ingin bekerja menegakkan demokrasi?"

Film tentang kehidupan Paus Benediktus XVI diputar di Katedral St. George, Beirut, Libanon.
Film tentang kehidupan Paus Benediktus XVI diputar di Katedral St. George, Beirut, Libanon.Foto: DW/D.Hodali

Assef dan warga Kristen Libanon tidak mengerti sikap negara barat. "Apa negara barat tidak tahu bahwa ada warga Kristen yang bermukim di sini?" Menurut Assef, hidup damai berdampingan antar umat beragama di Libanon sudah berlangsung. Dikatakannya, tiap orang belajar saling menerima dan toleransi. Namun Pastur Assef meminta bantuan perlindungan umat Kristen di negara barat, agar posisi warga Kristen di Libanon bisa lebih baik, supaya keberadaan warga Kristen di Libanon tetap terjamin.

Kuat secara Politis, Tapi Hanya Bila Bersatu

Kata Assef, keadaan warga Kristen di Libanon masih lebih baik daripada di banyak negara Arab lainnya. Riset menunjukkan bahwa warga Kristen, Sunni, dan Syiah meninggalkan Libanon, lebih karena alasan ekonomi. Selain itu, saat ini warga Kristen di Libanon tidak diancam, ditindas dan tetap ikut serta dalam politik. Pasca perang saudara, kalangan Kristen di Libanon memang kehilangan pengaruh politiknya.

Tapi Perjanjian Taif tahun 1989 memberikan kalangan Kristen hak yang cukup banyak. Mereka menunjuk presiden dan panglima Libanon. 50 persen posisi di parlemen dan pemerintahan dipegang kalangan ini, walaupun warga Kristen di Libanon jumlahnya hany 20 persen dari keseluruhan populasi.

Selain itu, "Setiap politisi Kristen di Libanon berusaha meluaskan kekuasaannya," kata pengamat politik Jawad Adra dari Institut Informasi di Beirut. "Saat ini tidak lagi penting apakah politisi itu berasal dari kalangan Syiah, Sunni, atau Kristen. Mereka semua berebut kekuasaan." Tidak ada politisi Kristen yang bisa berkuasa sendirian, kata Jawad Adra. "Jadi ia pasti bergabung dengan partai yang kuat."

Kenyataannya banyak partai Kristen yang bergabung dengan koalisi 8 Maret, aliansi yang didominasi Hizbullah yang beraliran Syiah, dan koalisi 14 Maret yang terdiri dari gabungan partai beraliran Sunni.

Terpecah Belah di Dalam

´Banyak warga Kristen yang mengeluhkan kurangnya solidaritas antar warga Kristen. Seorang di antaranya adalah Fadia Bat'ha. Ia rajin menghadiri misa di Katedral St. George. Fadia Bat'ha tidak mengkhawatirkan ancaman bahaya radikalisasi muslim di negara tetangga, apalagi bahwa itu bisa mengancam kerukunan antara warga Kristen dan Islam di Libanon. "Tetangga saya muslim dan kami punya hubungan yang baik. Pimpinan politiklah yang justru ingin mengail di air keruh. Mereka hanya ingin mempertahankan kekuasaannya. Kami tidak punya masalah dengan satu sama lain. Mereka seharusnya tidak mengganggu kami."

Katedral St. George, Beirut, Libanon.
Katedral St. George, Beirut, Libanon, bersebelahan dengan mesjid.Foto: DW/D.Hodali

Paus Yohannes Paulus II dalam kunjungan di Libanon tahun 1997 pernah mengatakan bahwa Libanon adalah kabar baik bagi dunia, yakni karena keseimbangan dialog antara warga Kristen dan Islam. Kini dinantikan bagaimana pesan apa yang disampaikan Paus Benediktus XVI kepada umat Kristen di Libanon.