1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Meninjau Kembali Pembantaian 50 Tahun Lalu

27 November 2015

Tak ada yang memberitahu Soe Tjen tentang nasib ayahnya dan genosida anti-komunis. Sampai ia mendengar kisah itu dari ibunya, setelah ayahnya meninggal dan Suharto turun tahta. Oleh Aria Danaparamita.

https://p.dw.com/p/1HDGC
Foto: DW/G. Simone

Besar di Surabaya, pada massa Orde Baru Soeharto, buku sekolah yang ia baca menyatakan bahwa pada kegelapan malam 30 September 1965, Partai Komunis (PKI) kader Indonesia menculik dan membunuh enam jenderal dalam usaha kudeta.

Kemudian, Mayor Jenderal Soeharto mengerahkan tentaranya untuk menghancurkan pemberontak ini, dan munccullah sebagai pahlawan nasional - dan menuai imbalan kediktatoran 31 tahun di Indonesia.

Hanya sesudah ayah Soe Tjen meninggal dunia empat bulan setelah jatuhnya Suharto dari kekuasaan pada tahun 1998, ibunya mengemukakan sebuah rahasai: bahwa ayah Soe Tjen pernah menjadi tahanan politik di tahun 1960-an, disiksa untuk ideologi “kiri”nya.

Indonesien Soe Tjen Marching
Soe Tjen Marching di Frankfurt Book Fair 2015Foto: privat

Menandai peringatan 50 tahun yang disebut kudeta gagal PKI, masih saja menjadi bahan perdebatan sejarah mengenai siapa yang membunuh para jenderal dan yang memberi perintah atas pembunuhan ini.

Selama Perang Dingin mulai meningkat, Indonesia dari tahun 1960-an menyaksikan ketegangan politik di bawah proklamator Indonesia Sukarno, yang juga menjadi simpatisan PKI. Sukarno menyatukan paham komunisme dengan agama dan nasionalisme ke dalam cita-cita pemerintahannya pada tahun 1960an.

Berkembangnya komunisme secara pesat mengkhawatirkan Amerika Serikat dan CIA terus mengamati perkembangan ini. Pembantaian yang dipicu oleh peristiwa 30 September membalik posisi komunis dari kekuatan politik yang tangguh menjadi musuh yang harus dibasmi.

Indonesien Suhartos Weg zur Macht (Bildergalerie)
Foto: Getty Images/C. Goldstein

Namun, berbagai sejarah resmi telah menghilangkan kenyataan berikut: bagaimana regu tentara dan serta masyarakat sipil menangkap, membunuh, dan menyiksa tidak hanya anggota partai komunis, tapi juga siapa pun yang dituduh ada hubungan dengan politik kiri.

Ayah Soe Tjen bisa bertahan hidup dari penjara. Tapi Komisi Nasional Indonesia untuk Hak Asasi Manusia memperkirakan lebih dari 500.000 orang tewas di sekitar tahun 1965, dan ratusan ribu lebih dipenjarakan.

Setelah beberapa dekade ketakutan dan kesenyapan, beberapa orang mulai angkat suara. Komisi resmi menyatakan pembersihan "kejahatan terhadap kemanusiaan" pada tahun 2012 - tahun yang sama saat "The Act of Killing", film dokumenter Joshua Oppenheimer tentang jagal, dirilis. Film berikut, "Senyap", diputar perdana di Indonesia pada November lalu.

Bungsu dari empat bersaudara, Soe Tjen Marching selalu merasakan ada sesuatu yang tidak beres waktu dia kecil.

"Ketika saya bertanya untuk dokumen atau akte kelahiran atau apa pun, itu selalu rumit karena ayah saya mengubah namanya," kata penulis dan aktivis ini. "Sebagai seorang anak, saya mencoba untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Oppenheimer mengatakan banyak keluarga menyimpan rahasia untuk menghindari dicap sebagai komunis.

"Menurut saya, jutaan orang Indonesia hidup dalam keluarga yang menyimpan rahasia," kata Oppenheimer. "Mereka sudah tinggal dengan kisah kehilangan, dan trauma yang tak ingin diungkap oleh orang tua mereka, karena tidak ingin menanamkan stigma yang masih saja hidup karena ada hubungan dengan korban yang dituduh komunis. (bersambung ke hal 2..)

(..sambungan dari hal 1..) Ayah Soe Tjen dipenjara antara tahun 1966 dan 1968 di Kalisosok di Surabaya, di mana belasan tahanan sempit disesalkan ke sel sempit yang dibangun untuk dua.

"Kakak saya mengatakan bahwa ketika ia mengunjungi ayah di penjara, punggungnya benar-benar hancur, ia tidak bisa berjalan, dan mereka pikir dia akan mati," kata Soe Tjen. "Para tapol itu disiksa dan tidak diberi makan, sehingga banyak orang meninggal."

Soe Tjen memutuskan untuk menguak kisahnya dengan melawan keinginan dari ibunya, yang masih hidup dalam ketakutan. Dia mulai bertemu korban atau keluarga korban, dan mendirikan kelompok solidaritas Keluarga '65. Dia sedang menulis sebuah buku dengan kesaksian dari korban dan keluarga, termasuk dirinya sendiri.

Unruhen in Indonesien 1965
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images

Pada awalnya, Soe Tjen mengatakan, berbagai ancaman membuatnya takut. "Saya mendapat mengancam ratusan kali: 'Akan diperkosa, dibunuh, disembelih,'" katanya.

Dan banyak sekali yang menuduh Soe Tjen Marching sebagai komunis, yang secara hukum masih dianggap subversif di Indonesia. Keputusan Majelis Rakyat No 25 tahun 1966 mengenai larangan "semua kegiatan yang menyebar atau mengembangkan ide-ide atau ajaran Komunis / Marxis-Leninis".

Ini antagonisme dirasakan antara Islam dan komunisme secara historis berakar pada persaingan politik, termasuk antara PKI dan organisasi Muslim Nahdlatul Ulama (NU), kata Kevin Fogg, seorang peneliti Islam di Asia Tenggara di Universitas Oxford.

"Perselisihan pahit antara NU dan PKI memuncak di akhir 1950-an, setelah komunis mendapat kemenangan besar dalam pemilu provinsi 1957 ... dan setelah PKI mulai mengusulkan - dan kadang-kadang melakukan tindakan menyita tanah," Fogg menjelaskan dalam email.

"Sebagian besar kebencian terhadap komunis adalah politik praktis, tetapi para pelaku ini kemudian bisa mengandalkan retorika agama untuk membenarkan surut apa yang mereka lakukan," kata Fogg.

Seperti film-film Oppenheimer mengungkapkan, banyak pelaku tetap berkuasa baik di tingkat lokal dan nasional. Tapi perlahan, korban dan keluarga korban mulai maju, kontra-narasi mereka memicu mungkin pertempuran terbesar belum alih kontrol dari sejarah Indonesia.

Untuk korban, perjuangan untuk keadilan masih jauh dari selesai.

"Tentu saja itu tidak mudah karena kroni Orde Baru masih berkuasa," kata Soe Tjen Marching. "Tapi itu pilihan Anda apakah Anda ingin tetap diam dan menyerah atau terus. Saya menolak untuk menjadi takut."

* Diterjemahkan dari hasil wawancara Al Jazeera dengan Soe Tjen Marching: Revisiting an Indonesian massacre 50 years on. (http://www.aljazeera.com/indepth/features/2015/09/revisiting-indonesian-massacre-50-years-150930055803832.html)