1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Wawancara DW dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Berlin

Miranti Hirschmann
5 November 2022

Agus Harimurti Yudhoyono, yang juga dikenal luas sebagai AHY, hadir di Berlin, Jerman, untuk mengikuti pertemuan Club de Madrid. DW berkesempatan berbicara dengan AHY di sela-sela forum itu.

https://p.dw.com/p/4J66s
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Berlin
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di BerlinFoto: Mira Permatasari/DW

Pertemuan Club de Madrid kali ini berlangsung di Berlin dari 31 Oktober sampai 1 November 2022. Club de Madrid adalah kelompok para mantan pemimpin dunia, mantan presiden, mantan perdana menteri dan mantan kepala pemerintahan. Dari The Yudhoyono Institute (TYI), mitra Club de Madrid, hadir Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Direktur Eksekutif TYI, Agus Harimurti Yudhoyono, AHY. Deutsche Welle berkesempatan bertemu dengan AHY di Berlin 1 November lalu dan berbincang mengenai pandangan Partai Demokrat (PD) tentang berbagai perkembangan global saat ini. Berikut petikan wawancaranya:

DW: Saat ini, dunia sedang menghadapi berbagai krisis global, antara lain krisis energi, pangan dan krisis inflasi akibat perang di Ukraina. Padahal dunia baru saja keluar dari krisis pandemi Covid-19. Bagaimana pandangan Anda dan Partai Demokrat secara umum mengenai hal ini? Apa yang perlu dilakukan negara-negara dunia, ASEAN, dan Indonesia?

AHY: Baru saja tadi siang saya menuntaskan keikutsertaan pada sebuah forum yang menurut saya begitu penting dan strategis, Club de Madrid, yang juga bekerja sama  dengan The Yudhoyono Institute, di mana saya saat ini saya menjabat sebagai direktur eksekutif. Saya bangga dapat bekerja sama dengan klub elit ini selama dua hari di Berlin, bersama dengan para pemimpin dunia, intellectual dan policy makers dari berbagai institusi dunia yang sifatnya multilateral.

Kita semua sebetulnya merasa gundah melihat arah dunia kita yang penuh dengan ketidakpastian. Banyak sekali isu global yang tidak mudah, saling terkait antara satu dengan lainnya. Perang antara Rusia dan Ukraina telah mengakibatkan dampak yang dahsyat, inflasi luar biasa. Termasuk krisis pangan, krisis keuangan, dan itu semua tidak kita ketahui kapan akan berakhir. Indonesia sendiri, yang jauh dari Eropa, terdampak secara signifikan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk duduk bersama membicarakan solusi terbaik.

Pertama, hentikan perang, sudahi tragedi kemanusiaan yang terjadi berbulan bulan di Ukraina. Yang jadi korban sudah banyak, masyarakat sipil juga hari ini sangat menderita. Lima belas jutaan penduduk Ukraina mengungsi, internally displaced di negara tersebut, yang menyebabkan berbagai permasalahan. Tidak hanya masalah menyelamatkan jiwa, tapi juga masalah sosial yang berkepanjangan.

Tetapi yang tidak kalah buruknya, apa yang terjadi di Ukraina telah mendisrupsi pasokan energi. Ini yang tidak kita harapkan bisa terjadi: Rusia menggunakan kekuatannya untuk mempengaruhi pasokan energi dunia. Kita tahu, banyak sekali komoditas pangan yang diimpor dari Ukraina. Ini berpengaruh pada harga harga kebutuhan pokok masyarakat, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, kami, Partai Demokrat berusaha serius untuk bisa mengangkat isu ini. Sekali lagi: hentikan tragedi kemanusiaan. Bangsa bangsa di dunia harus duduk bersama, menurunkan egonya, dan memfokuskan diri untuk menghadirkan stabilitas keamanan. Tidak hanya di kawasan Eropa tapi juga di berbagai wilayah di dunia.  Ketegangan geopolitik ini harus diredakan. Dicarikan solusinya.

Ada momentum yang sangat baik, KTT G20 di Bali. Saya berharap sekali, pemerintah kita bisa memainkan peran strategis agar G20 tidak hanya sekedar sebuah klub, sebuah arsitektur global, tetapi juga dapat menghadirkan solusi solusi yang tepat dan efektif. Dengan demikian, masyarakat dunia dapat segera mengalami recovery dari pandemi selama 2 tahun, sehingga kita bisa segera tumbuh, stagnasi bisa kita cari solusinya, dan pada akhirnya dunia kembali aman, damai, dan makin sejahtera. Ini harapan kita semua. Berat, tapi harus kita lakukan .

SBY dan AHY di Berlin
Hadir dalam pertemuan Club de Madrid di Berlin Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono sebagai direktur eksekutif The Yudhoyono Institute (TYI)Foto: Mira Permatasari/DW

Tahun depan, Indonesia anggota  penting dan 2023  menjabat ketua ASEAN. Bagaimana menurut anda peran Indonesia dan ASEAN dalam konflik sekarang ini?

AHY: Selain bicara dalam tataran global, negara negara itu membangun semangat kawasan. Regionalismr itu penting. Asia tenggara kita punya ASEAN. ASEAN punya riga pilar. Yang pertama, bagaimana membangun kerjasama komunitas dalam bidang politik dan keamanan, juga bicara ekonomi dan kesejahteraan, sosial budaya. Yang ingin saya sampaikan, ASEAN juga harus proaktif. Indonesia, sebagai negara terbesar ASEAN , dari segi politik dan ekonominya, sejarahnya, selalu memainkan peran leadership-nya diantara anggota ASEAN. Saya pribadi dan partai Demokrat berharap, Indonesia punya peran sentral. Bukan untuk mendominasi, karena memang, sekali lagi dari berbagai ukuran, Indonesia pantas memimpin ASEAN . Apalagi tahun depan Indonesia akan menjadi ketua ASEAN. Mudah mudahan dapat menjalankan langkah strategis. Yang jelas, ASEAN di sini harus dapat membangun spirit kolektif untuk menjaga kawasan Asia tenggara sebagai kawasan aman, damai, stabil, dan mengejar pertumbuhan kesejahteraan. Ada 660 juta penduduk di ASEAN. Itu saja sudah merupakan sebuah pasar yang potensial. 10 negara dengan jumlah penduduk sebesar itu. Kita lihat potensi yang dihadirkan dari negara negara ASEAN, kita tahu negara negara ASEAN memiliki sumber daya alam yang harua bisa diberdayakan untuk kesejahteraan dan kemajuan bersama.

Apa yang terjadi di Ukrainia harus menjadi wake up call bagi negara negara lain di dunia. Yang ingin saya katakan, kita sangat menyayangkan kalau ada penyelesaian konflik atau penyelesaian sengketa antar negara dengan invasi militer besar besaran. Karena kita tidak ingin wilayah negara kita juga diusik oleh negara manapun, datang dan mendudukinya. Apalagi melakukan aneksasi, yang bertentangan dengan hukum internasional. Ini tidak bisa kita biarkan.

Kita berharap ASEAN kokoh. Kita tahu ada permasalahan geopolitik di pekarangan rumah kita, Laut Cina Selatan, kita tahu wilayah yang sering menjadi sumber konflik, hotspot atau flash point di kawasan Asia Tenggara. Kita berharap hubungan dengan Tiongkok baik, sehingga bila ada permasalahn teritorial bisa diselesaikan dengan cara yang damai. Jangan sedikit sedikit mengancam atau saling mengancam dengan kekuatan militer. Kita tahu bukan hanya negara negara di kawasan Asia yang punya kepentingan dengan Asia timur dan tenggara, tapi negara negara lain di dunia. Bila katakan Amerika Serikat dan Tiongkok beradu hegemoni di Asia Pasifik atau Asia Tenggara, itu bakal buruk bagi masa depan kita semua. Abad 21 ini kita berharap hubungan antar negara makin kuat dalam rezim globalisasi yang membawa benefit untuk semua. Sayangnya, ternyata makin ke sini banyak spirit hyper-nationalism, ultra-nationalism, masing masing ingin yang terbaik bagi negaranya. Bila berlebihan, itu bisa menjadi buruk. Kita harus membangun kolaborasi dan kerjasama antar bangsa. Tantangan ke depan, menghadapi pandemi, isu lingkungan, perubahan iklim, pemanasan global, semua membutuhkan kerjasama, tidak bisa berjalan sendiri sendiri.

Dengan situasi dan kondisi global ini, ada pergeseran geostrategis baru dari era perang dingin, di mana terbentuk blok-blok ekonomi maupun kekuatan adidaya baru seperti Cina dan India. Posisi apa yang perlu diambil Indonesia dalam situasi politik global ini?

AHY: Saya rasa, Indonesia tetap berada pada posisi ataupun pendekatan politik bebas aktif. Jangan disederhanakan menjadi posisi yang tidak punya sikap dan pandangan yang tegas. Bila ada situasi yang meledak dan berpotensi menghadirkan perang dunia ketiga, apalagi melibatkan kekuatan nuklir, maka Indonesia sebagai warga dunia harus menyampaikan secara tegas dan berusaha sekuat tenaga agar itu tidak terjadi. Kalau terjadi perang dunia ketiga, apalagi ada penggunaan nuklir, maka itu akan menjadi malapetaka bagi peradaban umat manusia. Jadi, bebas aktif harus dimaknai secara utuh dan kontekstual.

Dalam perkembangannya, muncul sentra sentra kekuatan baru. Bisa kekuatan ekonomi baru, kekuatan politik baru, kekuatan militer baru. Tentang kekuatan Cina dan India di Indo Pasifik, yang kita tahu bisa menghadirkan percikan konflik yang berdampak pada negara negara di sekitarnya. Indonesia harus dapat memainkan peran strategis yang tepat dan cerdas. Inilah pentingnya diplomasi. Diplomasi membutuhkan kesabaran dan keuletan, agar kita sama sama dapat menghindari konflik yang tidak di butuhkan. Pada akhirnya, semua saling membutuhkan, saling melengkapi. Kita bersahabat dengan Tiongkok, kita punya hubungan ekonomi yang besar dengan mereka. Kita juga punya kepentingan dagang yang baik dengan India dan negara negara barat. Amerika, Australia, Selandia Baru, Pasifik Barat Daya, tapi kita juga punya hubungan baik dengan Timur Tengah dan Eropa.

Yang paling tepat adalah dynamic equilibrium, keseimbangan dinamis di kawasan kita. Ini pentingnya kepiawaian dalam berdiplomasi. Soft power, leadership, juga visioner, agar bisa menjaga keseimbangan tadi. Indonesia tidak harus terjebak lebih dekat blok yang mana, tidak lagi kembali ke rezim yang bipolar seperti era perang dingin, Ketika dunia terbelah jadi dua blok: Barat dan Timur. Jangan seperti itu lagi. Apa yang terjadi di Ukraina seolah membawa kita ke suasana perang dingin lagi. Ini disayangkan. Globalisasi makin kuat, mengapa kita kembali terbelah dan tersekat sekat. Indonesia sebagai emerging power harus punya sikap dan leadership yang bisa mengatakan: jangan sampai kita  kembali ke masa masa itu. Apalagi kemudian saling saling lomba senjata. Ini hanya menguras energi negara negara dunia. Bukan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat masing masing, tapi hanya untuk membangun kekuatan militer dan membangun pertahanan yang serba mutakhir. Untuk apa? Lebih baik mempergunakan sumber daya yang ada untuk kesejahteraan masyarakat di dunia.

Anda sendiri pernah terlibat dalam misi perdamaian PBB,  di Lebanon. Seberapa penting peran PBB saat ini dalam mengupayakan perdamaian dunia dan menengahi konflik-konflik yang tadi disebutkan?

AHY: Sebetulnya sangat penting. Sangat sentral. PBB didirikan untuk menghadirkan sistem yang berkeadilan. Tetapi kita tahu, PBB sendiri banyak kekurangannya. Contohnya, sampai hari ini, ada lima pemegang hak veto, lima negara pemenang Perang Dunia Kedua: USA, Rusia, Tiongkok, Inggris, Perancis. Satu pemegang veto menggunakan haknya, maka bubar. Di Forum Club de Madrid tadi kami sepakat bahwa perlu ada reformasi terhadap institusi multilateral, terutama PBB. Agar PBB bisa jadi instrumen arsitektur global yang efektif, bukannya menambah masalah, bukan menjadi bagian dari masalah. Kalau tidak, PBB akan kehilangan kredibilitasnya. Ini yang perlu saya perlu utarakan. PBB adalah arsitektur yang dibangun di abad 20, padahal tantangan abad 21 berbeda sekali. Kita juga punya keinginan agar suara kita didengar dan diperlakukan secara adil. Jangan hanya lima negara yang menentukan segala-galanya di dunia.

Saya pernah ikut sebagai anggota misi perdamaian PBB di Lebanon selatan. Saya dikerahkan di sana bersama pasukan Garuda 23 . Bangga rasanya membawa bendera merah putih dan berperan, bertugas sebagai anggota perdamian dunia antara wilayah Lebanon Selatan dan Israel ketika itu. Waktu itu terjadi perang selama 34 hari antara pasukan Israel dan Hezbollah di Lebanon selatan. Kemudian Indonesia merupakan pasukan paling cepat tiba di daerah konflik tersebut. Hancur lebur. Banyak yang mengungsi, dan kita bertugas menjaga stabilitas keamanan, jangan sampai terjadi lagi serangan yang mengakibatkan korban, apalagi dari masyarakat sipil.

Peran PBB di sini penting sekali. Ketika dibutuhkan pasukan yang bisa menjadi entitas yang netral, yang imparsial, maka penting ada pasukan PBB di lapangan. Tidak hanya di Timur tengah, di wilayah Afrika pasukan PBB masih bertugas sampai hari ini. Indonesia sendiri terlibat, sejak pasukan Garuda pertama hingga hari ini. Sejak zaman Bung Karno, zaman pak SBY hingga sekarang, Indonesia punya komitmen dalam menjaga perdamaian dan ketertiban dunia. Mudah mudahan, peran aktif kita dalam pengiriman pasukan perdamaian  menjadi salah satu trade mark, bahwa Indonesia bukan hanya mencintai perdamaian internal negaranya tetapi juga ingin menjadi bagian penting dalam perdamaian dunia.

Selain hak veto di PBB, apalagi yang menurut Anda perlu direformasi di PBB?

AHY: Lebih pada mekanisme pengambilan keputusan. PBB harus lebih akomodatif terhadap permasalahan bangsa bangsa di dunia. PBB juga telah berperan luar biasa ketika 2015 melahirkan SDG, Sustainable Development Goals, yang kemudian menjadi MDG, Millenium Development Goals. Harapannya, 2030 ada 17 agenda dunia yang bisa dicapai bangsa-bangsa di dunia. Itu agenda besar. PBB punya hak dan kewajiban moral dan infrastruktur untuk meyakinkan agar tidak terjadi lagi konflik berkepanjangan dimanapun di dunia. Apalagi mereka yang tidak memiliki kemampuan menjaga keamanan dan kedaulatannya sendiri. Ada yang namanya R to P, Responsibility to Protect, tanggung jawab untuk melindungi. Saya justru berharap, PBB akan makin baik dan bisa melakukan sejumlah perubahan mendasar. Ini sudah sejak lama diharapkan bangsa-bangsa di dunia, tetapi belum terlaksana hingga hari ini. Lagi lagi ada negara yang amat powerful, yang memiliki power yang tidak bisa dihalangi oleh negara lainnya.

Agus Harimurti Yudhoyono di Berlin
Agus Harimurti Yudhoyono di tengah para peserta pertemuan Club de Madrid di BerlinFoto: Mira Permatasari/DW

Hubungan Indonesia – Jerman, maupun hubungan ASEAN – Uni Eropa, pernah mencapai "masa jaya"-nya ketika ada tokoh seperti BJ Habibie, yang mengenal baik Jerman, dan juga dikenal baik di Jerman. Saat ini kelihatannya Indonesia lebih berorientasi ke AS, Jepang, Cina atau negara-negara Arab. Berapa penting bagi Anda dan Partai Demokrat hubungan Indonesia dengan Jerman dan Uni Eropa? Apakah memang tidak begitu penting lagi?

Menurut saya, kita justru harus makin menguatkan hubungan bilateral dengan Jerman, membangun berbagai kebersamaan, baik itu di tataran G to G, government to government, , B to B, business to business, bahkan military to military. Tapi tidak kalah penting adalah hubungan people to people. Tadi malam saya bertemu mahasiswa dan mahasiswi yang sedang belajar di sini. Ada yang S1, S2 bahkan S3. Saya punya harapan, makin banyak anak anak muda yang punya kesempatan belajar, bekerja dan berkarya di Jerman dan di negara negara Uni Eropa. Mengapa? Karena dengan mengirimkan putra putri terbaik belajar menimba ilmu , pengetahuan, akan menambah wawasan dan memperluas network. Ke depannya bukan hanya untuk pribadi, tapi pada akhirnya didedikasikan dan diorientasikan untuk pembangunan di Indonesia.

Eyang Habibie dulu bisa jadi orang hebat, karena selain punya kemampuan, juga memiliki kapasitas membangun jaringan, tidak hanya Jerman, tapi wilayah Eropa, untuk dibawa kembali ke Indonesia. Ke depan kami berharap bisa saling belajar. Tidak mengatakan kita serba kurang. Tidak. Kita punya banyak keunggulan, keunikan. Saya yakin, Jerman juga bisa belajar dari Indonesia dari berbagai aspek. Bila Jerman negara hebat, ekonomi kuat, militernya kuat, masyarakat makmur sejahtera, kenapa kita tidak belajar. Begitu juga negara negara lain yang lebih dulu maju dari Indonesia. Sebenarnya, bila Indonesia membangun kekuatan yang kita miliki dan beradaptasi dengan lingkungan abad 21, banyak peluang. Indonesia bisa jadi negara yang maju di abad 21. Kita sering mendengar Indonesia Emas 2045. Kalau kita sama sama menyadari Indonesia punya potensi yang besar, harapannya, dengan jumlah penduduk yang besar dan berkuakitas, kita bisa mencapai itu.

Indonesia menjalankan politik bebas aktif. 1000 kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak. Pak SBY dulu punya mantra: million friends zero enemy. Kesemua arah, membangun komunikasi yang baik dengan semua orang, termasuk dengan Jerman. Saya masih ingat, saat masih aktif di militer, pemerintah Indonesia akhirnya bisa mendapatkan Main Battle Tanks Leopard dari Jerman. Jumlahnya besar untuk memperkuat alustista kita. Belum lagi bidang pendidikan, budaya, science. Bagi saya, penting membangun hubungan yang setara, sejajar dan saling menghormati, mutual respect, mutual trust.

DW: Satu hal lagi, seberapa penting bagi Anda dan Partai Demokrat isu perubahan iklim dan kerjasama internasional ?

AHY:  Sangat penting. Kalau saya bisa cerita, Pak SBY sebagai founding father Partai Demokrat dan menjadi mentor kita semua, dikenal sebagai salah satu champion dalam isu isu climate change. Beliau sangat tegs mengatakan bahwa Indonesia harus bertanggung jawab dalam dekarbonisasi.

Saya kaget, sudah bawa banyak jaket tebal ke sini, bulan November di Jerman harusnya dingin sekali, tetapi tidak sedingin seperti yang kita bayangkan. Ini tidak lazim. Yang seperti ini seharusnya jadi kesadaran bangsa. Indonesia tidak boleh ketinggalan dan menganggap climate change sebagai hoax. Bahaya kalau tidak percaya pada science, berbahaya itu. Faktanya, yang paling rawan terhadap isu seperti ini adalah negara kepulauan. Indonesia merupakan negara dengan 17.000-an pulau. Pantai kita bisa tenggelam bila ada kenaikan permukaan air laut. Belum lagi bencana alam lainnya yang diakibatkan pemanasan global atau pemanasan iklim. Berapa kerugian ekonomi yang harus kita derita? Belum lagi kita bicara Indonesia di posisi ring of fire. Sering terjadi bencana alam. Ini demi anak cucu kita. Jangan gara gara kecerobohan kita, ignorance kita, yang menderita generasi penerus kita. Ini bukan urusan negara per negara. Ini urusan dunia, sehingga menjadi isu yang diangkat di berbagai forum internasional. Tidak ada negara yang mampu berbuat sendirian.

Sering kita dengar  perdebatan bahwa ini yang salah negara negara Barat, negara negara maju. Ketika mereka menuntut negara yang baru mau tumbuh, harus tertib dan disiplin, padahal mereka juga punya kebutuhan. Di sini harus ada titik temu. Negara yang sudah maju harus memberikan bantuan, berupa financial support, untuk negara negara berkembang, termasuk melakukan transfer teknologi. Negara negara berkembang juga harus terpanggil secara moral. Cuma ada satu Planet Bumi, kalau bukan kita, siapa lagi yang menjaganya?

Wawancara untuk DW dilakukan oleh Miranti Hirschmann dan disunting seperlunya oleh DW Indonesia. (mh/hp)