1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mekkah Sebagai Panggung Politik

5 November 2018

Konon, di masa lalu beberapa orang yang dianggap sakti kabarnya dapat bepergian ke Mekkah tanpa alat transportasi. Kini kota suci itu jadi tak hanya digunakan sebagai situs aktivitas religi. Opini Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/34TB4
Saudi-Arabien Hadsch in Mekka
Foto: Reuters/Z. Bensemra

Dari sekian banyak kota di dunia ini mungkin tidak ada yang nuansa religinya begitu menyeluruh, dan juga sebegitu tertutup dari dunia luar, dibanding Mekkah.

Kota dengan Kabah sebagai pusat spiritualitas sekitar 1,8 milyar umat Islam tersebut sudah berabad-abad menjadi dambaan orang-orang Islam untuk melakukan ritual haji juga umrah.

Tidak hanya itu, setidaknya semenjak geliat pendidikan dan ekonomi modern kian berkembang, Mekkah ikut bertransformasi tidak hanya murni sebagai tempat orang-orang Islammemperteguh hakikat keislaman mereka, namun juga panggung ambisi-ambisi duniawi.

Penulis: Rahadian Rundjan
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Hal tersebut terlihat mencolok di Indonesia, sebuah negara modern dengan jumlah populasi Muslim terbesar (200 juta jiwa) dan di antara seperempat sampai setengahnya mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di dunia. Maka tak heran melihat narasi sejarah, budaya, dan isu-isu kontemporer di Indonesia sedikit banyak kerap menjadikan nilai-nilai dan simbol-simbol Islam sebagai acuan dalam berbagai segi kehidupan manusianya.

Salah satunya adalah politik, yang cenderung berakhir tercemar, dan saling mencemari, jika disangkut pautkan dengan hal-ihwal keagamaan.

Lihat saja Indonesia sepanjang tahun 2018, yang disebut-sebut sebagai tahun pemanasan politik untuk menyambut pemilihan presiden pada 2019.

Mekkah kerap hadir di media tidak lagi sekedar dalam konteks penyelenggaraan haji atau umrah, namun juga berbingkai politik. Habib Rizieq, pentolan Front Pembela Islam (FPI), yang bermukim di Mekkahuntuk menghindari proses hukumnya didaulat sebagai sosok wajib kunjung, dengan nuansa politik yang kental, bagi para pejabat dan calon pejabat baik oleh kubu oposisi, dan seperti diberitakan belakangan ini, oleh kubu petahana.

Alasannya: karena Mekkah itu pusat dunia Islam, dan pertunjukkan kesalehan penting bagi elektabilitas politik di tanah air. Sejarah telah membuktikan bahwa Mekkah memang tidak hanya menjadi panggung bagi orang-orang Indonesia untuk berserah diri kepada Tuhan, namun juga panggung aspirasi politik yang terlalu sering memicu kontroversi daripada kontribusi positif.

Mengeksploitasi Cap Kesalehan

Corak politik sudah terlihat ketika nama Mekkah mulai terdengar di Nusantara seiring kehadiran Islam. Antropolog Martin van Bruinessen dalam tulisannya mengungkapkan bagaimana raja-raja Banten dan Mataram begitu terpesona oleh Mekkah sebagai pusat kosmis.

Keduanya mengirim utusan-utusannya ke sana tidak hanya untuk memperdalam Islam namun juga memburu pengakuan politik.

Sesungguhnya, Mekkah tidak memiliki lembaga untuk urusan tersebut. Namun, ketika utusan-utusan tersebut kembali, masing-masing pada 1638 dan 1641, kedua raja merasa sudah mendapat legitimasi untuk menanggalkan gelar lokal dan memakai gelar Sultan.

Di Jawa, gagasan Mekkah dan hal-hal supranatural pun berbaur sebagai instrumen kuasa. Banyak tercatat kisah-kisah bagaimana sebuah tokoh atau tempat dapat dengan ajaib terhubung dengan Mekkah, misalnya Sultan Agung yang kabarnya dapat bepergian dengan sekejap ke Mekkah untuk melakukan sembayang Jum'at dan bagaimana pemakaman raja-raja Jawa (Imogiri) dibangun dan ditaburi dengan tanah dari makam Nabi Muhammad. Sulit untuk membuktikan kebenaran dari kisah-kisah tersebut, namun ia berperan besar dalam menciptakan citra Sultan Agung sebagai pemimpin yang saleh.

Ibadah haji juga sejatinya rawan dieksploitasi secara politis, sebagaimana sejarah memperlihatkan. Gelar "haji” diformalisasikan sedemikian rupa sehingga lebih terlihat sebagai titel sosial-politik.

Mungkin tokoh pertama yang memperkenalkan hal tersebut adalah Abu Nashar Abdul Qahar, raja Banten yang berkuasa di penghujung abad ke-17. Ia menunaikan ibadah haji dua kali dan mengabadikan pencapaian itu dengan memerintahkan pengikut-pengikutnya memanggilnya dengan nama "Sultan Haji”.

Pesona Mekkah sama sekali tidak luntur bagi generasi tokoh-tokoh politik Indonesia seterusnya, baik bagi tokoh-tokoh pergerakan nasional dan pemimpin-pemimpin besar macam Sukarno dan Suharto. Ritual ibadah mereka ke Mekkah, yang diabadikan dengan foto dan diperlihatkan di koran-koran seakan-akan meneguhkan kharisma kesalehan mereka di mata rakyat jelata. Tentu, itu juga dipergunakan sebagai instrumen stabilitas politik.

Tak ada bedanya di masa sekarang. Baik kubu Jokowi maupun Prabowo, dan kelompok-kelompok pendukungnya memanfaatkan Mekkah demi kepentingan masing-masing.

Misalnya saja selama masa kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018 lalu, diberitakan bagaimana beberapa calon kepala daerah umrah ke Mekkah sekaligus sowan kepada Habib Rizieq baik secara pribadi ataupun melalui perantaraan partai. Kunjungan-kunjungan tersebut, yang utamanya dilakukan oleh calon-calon kepala daerah usungan partai-partai oposisi, bernilai politis bagi kelompok oposisi yang kerap menyerang kelompok petahana dengan isu-isu fundamentalisme Islam.

Jelasnya, kharisma Habib Rizieq sebagai tokoh yang paling mengganggu petahana adalah ladang emas untuk mengangkat elektabilitas calon-calonnya. Pasangan calon gubernur Sudrajat-Syaikhu (Jawa Barat) dan Sudirman Said (Jawa Tengah) adalah contohnya. Meski akhirnya kalah, namun banyak pengamat menyebut kunjungan mereka ke Mekkah menjadi alasan besarnya perolehan suara mereka, yang di luar dugaan cukup mengejutkan.

Tak ayal, semenyebalkan apapun seorang Rizieq Shihab, ia harus diakui begitu berpengaruh dalam perpolitikan nasional. Terlebih kala ia menetap di Mekkah yang semakin menebalkan figur kesalehan keislamannya.

Tokoh-tokoh pemimpin oposisi seperti Prabowo dan Amien Rais tak ketinggalan ikut berkunjung ke Mekkah, menemui Rizieq Shihab. Sulit mengatakan bahwa hal tersebut adalah sebuah silaturahmi semata ketika publik semakin paham akan permainan simbol-simbol politik tingkat tinggi. Lantas, apakah isu pertemuan calon wakil presiden Ma'ruf Amin dengan Habib Rizieq di Mekkah bulan Agustus lalu, yang walau tidak kesampaian namun cukup menggegerkan publik, dapat ditafsirkan sebagai kode ajakan membelot dari kubu petahana kepada Rizieq Shihab dan massa fundamentalis di belakangnya?

Jika hal itu kesampaian, maka saya rasa sejumlah besar pendukung Jokowi yang moderat-progresif akan segera mencabut dukungannya.

Rizieq Shihab memang telah mengutarakan bahwa tidak akan ada tendensi kolaborasi politik terhadap kubu Jokowi selepas pulangnya Ma'ruf Amin dari Mekkah, namun mengingat begitu cairnya politik di Indonesia, rasanya kita semua patut khawatir akan kemungkinan terburuk di masa depan.

Berhenti Mengeksploitasi Agama

Hal paling suci pun akan tercemar jika dilakukan dengan niatan yang buruk. Saya pribadi tidak bersimpati terhadap gerakan tagar #2019GantiPresiden yang viral di media sosial, mempertunjukkan aspirasi politiknya dengan memamerkan baju dan spanduk mereka di tengah-tengah ritual haji; sebuah hal yang salah tempat, tidak tepat sasaran, dan begitu norak.

Sekali lagi, terbukti bahwa nilai-nilai sakral Mekkah sebagai kota suci sudah kian tergerus. Azas manfaat Mekkah sebagai pusat spiritualitas kalah dengan ambisi ekspresi politik, setidaknya bagi oknum-oknum tersebut.

Pertanyaannya, kapan kita mampu untuk memberikan batasan yang jelas antara agama dan politik?

Rasanya sangat tak elok, bahkan memuakkan, ketika melihat simbol-simbol kesalehan diperjualbelikan secara gamblang, bahkan serampangan, oleh elite-elite politik demi meningkatkan pamor mereka. Atau mungkin, apakah ini juga faktor mentalitas kolektif masyarakat Indonesia yang senang menimbang-nimbang nilai seseorang dari kesalehannya? Keduanya sama-sama buruk, dan jika hal tersebut tidak segera diubah, niscaya Indonesia akan kian terjerumus menuju masa kegelapan.

Penulis @RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.