1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

270910 Nahost Intifada

28 September 2010

Tanggal 28 September 2000, politisi Israel Ariel Sharon mengunjungi mesjid al Aqsa di Yerusalem. Kunjungan ini dianggap sebagai penyulut aksi perlawanan Palestina, Intifada ke dua.

https://p.dw.com/p/POuT
Warga Palestina melempari polisi Israel dengan batu dalam demonstrasi di Ramallah, 28 September 2000Foto: APImages

Dalam perundingan di Oslo, Norwegia tahun 1993, Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina PLO menyepakati untuk mengakhiri konflik dengan damai. Juga pada musim gugur tahun 2000, di Oslo disepakati untuk mewujudkan Palestina yang dapat berdiri sendiri, meskipun belum berbentuk sebuah negara merdeka.

Yang terjadi malah sebaliknya. Akhir bulan September tahun 2000 pecah perlawanan kedua Palestina yang dikenal dengan sebutan Intifada, di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dalam waktu lima tahun, lebih dari 6 ribu warga Palestina dan seribu warga Israel tewas. Konflik semakin meruncing, dan sampai sekarang dirasakan dampaknya.

Aksi perlawanan, yang dikenal dengan sebutan "al Aqsa Intifada", disulut oleh kunjungan politisi oposisi yang kemudian menjadi Perdana Menteri Israel Ariel Sharon ke halaman masjid Al-Aqsa di Yerusalem. Beberapa jam setelah kunjungannya, muncul aksi protes pertama, yang segera meluas ke wilayah Palestina lainnya.

Sepekan kemudian mantan Menteri Komunikasi Palestina Imad Faluji menjelaskan, bahwa bukan kunjungan Sharon yang menyulut aksi perlawanan Intifada yang ke dua ini. "Siapa yang mempercayai bahwa kunjungan Sharon ke Masjid Al Aqsa yang menyulut perlawanan Intifada, maka ia keliru. Aksi ini menunjukkan habisnya kesabaran warga Palestina. Intifada telah dipersiapkan, sejak presiden kembali dari perundingan terakhir di Camp David, di mana ia menentang keinginan Presiden Clinton."

Pembicaraan di Camp David berlangsung antara tanggal 11 sampai 25 Juni tahun 2000. Presiden Amerika Serukat kala itu, Bill Clinton, berharap agar Israel dan Palastina dapat meredakan konflik, seperti halnya 22 tahun sebelumnya, ketika mantan Presiden Jimmy Carter berhasil mewujudkan perdamaian antara Israel dan Mesir.

Tapi keberhasilan seperti itu tidak diraih oleh Bill Clinton. Perdana Menteri Israel ketika itu Ehud Barak dan Pimpinan PLO Yaser Arafat tidak berhasil melakukan pendekatan. Sampai sekarang Barak masih menganggap telah menawarkan kepada Palestina untuk menukar 90 persen wilayah Palestina yang didudukinya dengan perdamaian. Tapi hal itu dibantah Palestina. Dan Palestina menandaskan bahwa tawaran Israel tidak dapat diterima. Karena, antara lain Israel menuntut seluruh wilayah Yerusalem dan menolak hak untuk memulangkan pengungsi Palestina.

Hal itu, sampai sekarang oleh pengganti Arafat, Mahmud Abbas, juga ditolak dengan tegas. Ehud Barak dan Yaser Arafat pulang dengan tangan kosong dari pembicaraan di Camp David. Saat itu Arafat menandaskan, "Diterima atau tidak, rakyat Palestina akan melanjutkan tujuannya untuk menjadikan Yerusalem, sebagai ibukota negara Palestina yang merdeka."

Ehud Barak tidak berada dalam kondisi untuk dapat menghadapi gelombang perlawanan Intifada ke dua. Dalam pemilihan umum yang dimajukan, pada bulan Februari 2001, ia dikalahkan mantan pimpinan blok Likud, Ariel Sharon. Setelah terpilih Ariel Sharon meningkatkan tekanan terhadap Arafat, membom kantornya di Ramallah dan menolak untuk kembali melakukan perundingan.

Dunia internasional mengecam Ariel Sharon, tapi tidak mengambil tindakan apapun. Secara perlahan Yaser Arafat kehilangan pengaruhnya di dunia internasional. Tanggal 11 Novemer 2004, Yaser Arafat wafat. Sebulan kemudian penggantinya, Mahmud Abbas, dan Ariel Sharon mengadakan pertemuan pertama, dan menyatakan berakhirnya perlawanan Intifada ke dua.

Peter Philipp/Asril Ridwan

Editor: Dyan Kostermans