1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

070211 Tunesien Frauen

9 Maret 2011

Perempuan Tunisia turut protes menentang diktator Ben Ali, tapi kini timbuk kekuatiran hak-haknya dipangkas dalam pergantian pemerintahan

https://p.dw.com/p/10Vrp
Foto: DW/S.Mersch

Di tengah ibukota Tunis, di tengah jalan Habib Bourguiba, di mana pertengahan Januari lalu rejim lama berhasil digulingkan, sekarang terjadi demonstrasi lagi. Pria dan perempuan bahu-membahu berdemonstrasi untuk emansipasi perempuan dan demokrasi. Dengan poster dan seruan-seruan mereka menuntut persamaan hak, kebebasan, kehormatan nasional. Sejumlah organisasi dan kelompok perempuan independen menyerukan demonstrasi tersebut.

Amal Nasr berusia 24 tahun. Ia termasuk gerakan demokrasi muda Tunisia. Saat ini ia sedang berkuliah di Universitas Bonn. Tetapi lewat jejaring sosial Facebook dan YouTube ia mengikuti perkembangan di negaranya. Kembalinya pemimpin Islam radikal Rachid Ghannouchi menyebabkan ia khawatir.

Frauen und die Revolution in Tunesien
Protes menentang Ben AliFoto: Khedhir / DW

Tahun 1980-an lalu, salah satu program terpenting kelompok Islam radikal adalah menghapuskan persamaan hak antara perempuan dan pria. Amal Nasr khawatir, kelompok itu masih ingin mencapai tujuan mereka. Menurut dia, "sebagian besar menyadari, bahwa pidato-pidato demokratis, yang sekarang disampaikan oleh kelompok radikal di Tunisia hanyalah tipu daya. Itu semua kebohongan hanya agar orang memilih mereka. Kelompok radikal Islam di Tunisia ibaratnya bunglon, yang mau melakukan apapun supaya dapat berkuasa! Jika perempuan tidak menjaga konstitusi, maka Tunisia akan kehilangan demokrasi yang sudah mulai tumbuh."

Di banding dengan negara-negara Arab lainnya, emansipasi perempuan di Tunisia sudah sangat maju. Yang mengawalinya adalah reformasi UU yang radikal oleh pendiri negara, Habib Bourguiba. Tahun 1957 poligami dilarang dan perceraian yang adil bagi suami dan istri ditetapkan. Mulai tahun 1973 aborsi diijinkan. Alat kontrasepsi dapat diperoleh gratis. Buah reformasi hukum ini tampak nyata sekarang.

Semua anak perempuan Tunisia bersekolah. Dari seluruh mahasiswa, dua pertiganya perempuan. Jumlah kelahiran hampir mendekati standar Eropa Tengah. Pengacara dan aktivis perempuan Bochra Bel Haj Hamida juga kuatir, kemajuan ini di masa depan akan dipertanyakan.

Dikatakannya,"Saya tidak tahu, apakah kelompok radikal akan mempertanyakan hak-hak perempuan. Posisi mereka dalam hal itu kadang saling bertentangan. Kadang mereja berjanji akan memperhatikannya, kemudian mempertanyakannya lagi. Saya khawatir akan terjaminnya hak perempuan, tapi bukan hanya karena kelompok radikal. Keadaan umum politik menyebabkan orang tidak mengurus persamaan hak. Kaum revolusioner muda tidak sadar pentingnya hal itu. Tendensinya, makna emansipasi perempuan tidak ditangggapi serius. Mereka tidak melihat bagaimana pentingnya untuk aktif sekarang, agar hak-hak perempuan tidak terancam. "

Konferenz über Sexual Gewalt gegen Frauen in Tunesien
Bochra Bel Hadj HamidaFoto: DW

Pengacara Bochra Bel Haj Hamida adalah salah seorang yang tetap berbicara secara terbuka tentang HAM dan demokrasi, selama 23 tahun pemerintahan diktator Ben Ali. Ia dulu ketua Asosiasi Perempuan Demokratis Tunisia, ATFD. Ben Ali menginjinkan organisasi non pemerintah itu aktif. Dengan cara itu, ia mendapat nama baik di luar negeri. Karena tampak mendukung emansipasi perempuan. ATFD kemudian menjadi tempat bertemunya aktivis hak asasi. Itu digunakan Bochra Bel Haj Hamida dan rekan-rekannya.

"Setiap hari ada pertemuan, ide aksi baru. Perempuan melakukan perjalanan ke berbagai wilayah untuk melakukan penelitian, untuk mengorganisir solidaritas dengan perempuan di daerah pedesaan. Selain itu, kami sedang merumuskan reformasi yang perlu dilakukan. Kami menawarkan sangat banyak. Ada juga perempuan yang sebelumnya tidak ikut dalam politik. Sekarang mereka ikut dalam asosiasi kami. Mereka ingin berpartisipasi. Bagi mereka yang penting bukan hanya mempertahankan hak yang ada, melainkan juga memperluas persamaan hak, sampai hak perempuan dan pria benar-benar sama", begitu Bochra Bel Haj Hamida

Amal Nasr yang masih berkuliah juga menganggap penting untuk aktif sekarang juga. Tunisia memang memutuskan untuk memilih Islam yang sangat modern. Tetapi masih ada daerah-daerah, di mana perempuan didiskriminasi karena hukum Islam. Misalnya dalam hukum warisan atau pemilihan suami. Itu hanya akan berubah, jika negara dan agama dipisah, demikian Amal Nasr.

Dijelaskannya, "Hanya pemisahan antara negara dan agama dapat menjamin kesejahteraan bagi semua orang. Hanya sekularisme dapat menjamin kebebasan. Banyak muslim mengira, sekularisme berarti anti agama. Orang-orang harus dijelaskan, bahwa itu tidak benar. Bahkan pemisahan agama dari negaralah yang melindungi agama."

Pemisahan agama dan negara serta persamaan hak antara perempuan dan pria. Itu belum pernah dijamin konstitusi di negara Arab manapun. Apakah Tunisia akan mengambil langkah itu? Tidak ada yang tahu. Yang jelas, perempuan Tunisia tidak akan membiarkan haknya diambil tanpa memberikan perlawanan.

Martina Sabra / Marjory Linardy
Editor: Edith Koesoemawiria