1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

15 Tahun Kebebasan

Andy Budiman23 Mei 2013

Tak akan pernah ada konsensus tentang Indonesia. Sebuah republik yang masih sibuk mencari identitas dan bergulat tentang makna kemajuan.

https://p.dw.com/p/18ZsD
Foto: 2012 Google Maps

Lalu apa yang kita dapatkan setelah lima belas tahun menghirup kebebasan? Deutsche Welle menampilkan gagasan dan pergulatan Indonesia dalam 15 tahun reformasi. Tentang kelompok kiri yang berjuang menafsirkan marxisme dengan ironinya masing-masing. Tentang turunnya IQ demokrasi dan inflasi kebebasan di kalangan jurnalis.

Kami juga menampilkan pencapaian tiga penulis perempuan yang mengekspresikan kebebasan dengan caranya sendiri. Sebagaimana di belahan dunia Islam lain, demokrasi Indonesia juga menghadapi tantangan berat dari masyarakat yang semakin tidak toleran.

Terakhir, kami ingin mengajak anda melihat gambaran Indonesia yang lebih besar. Gambaran tentang sebuah negara yang dilihat dunia sebagai kekuatan ekonomi baru.

Mencari Marxisme

Kebebasan memberi kemungkinan baru. Setiap kelompok bisa mengekspresikan identitas. Francis Fukuyama boleh saja menyebut bahwa sejarah sudah berakhir dengan runtuhnya komunisme. Tapi sebagaimana di negara-negara Amerika Latin, kelompok Marxist Indonesia dengan berbagai variannya, mencoba menuliskan sejarah mereka sendiri: menafsir Marx dan melakukan sejumlah eksperimen.

Deutsche Welle mencoba menangkap “pergeseran iman“ kelompok Marxist ini dengan menampilkan potret tiga anak muda kiri dari Partai Rakyat Demokratik yang kini menempuh jalan yang berbeda-beda serta salah satu tokoh terpenting dari spektrum sosialisme demokrasi.

Budiman Sudjatmiko, pengagum Mao itu kini harus bertarung dengan feodalisme dan dinasti di dalam partainya.

Dita Indah Sari yang mengagumi Lenin, mengaku sudah lama tidak lagi membaca buku pemimpin revolusi Bolshevik itu. Dita, tokoh buruh yang dikenal revolusioner, kini bergabung ke dalam rezim.

Jalan mengejutkan ditempuh Aan Rusdianto, korban penculikan yang memilih bergabung dengan sang penculiknya Prabowo Subianto di partai Gerindra, dengan alasan: demokrasi sentralistik dan sikap anti neoliberalisme ala Prabowo, adalah gagasan yang dulu diperjuangkan PRD.

Rahman Tolleng, aktivis cum ideolog dari spektrum yang lebih tengah yakni sosialisme demokrasi, menafsirkan kiri dengan cara berbeda. Kekalahan dalam perjuangan politik dan pergulatan gagasan tentang apa makna menjadi kiri di Indonesia, membawa dia mendukung Sri Mulyani, tokoh yang disebut kelompok kiri sebagai neolib.

Tiga Menguak Takdir

Perempuan Indonesia mewarnai kebebasan dengan cara yang luar biasa. Dalam dunia penulisan, Deutsche Welle memilih Ayu Utami, Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak.

Tiga perempuan ini telah menciptakan mistar ukur estetik dalam dunia penulisan Indonesia. Tak hanya bereksperimen dengan bahasa dan keindahan, mereka juga menawarkan gagasan.

Ayu Utami lewat Saman adalah sang pendobrak. Para kritikus menyebutnya telah memperluas cakrawala baru kesusateraan. Tak hanya itu, Ayu memilih jalan tabu dengan mengangkat isu paling sensitif dalam gerakan emansipasi yaitu tentang seksualitas perempuan.

Leila S. Chudori yang dijuluki anak emas sastra Indonesia, kini kembali dengan “Pulang“. Sebuah novel lincah, berplot cepat, penuh keharuan, yang bicara tentang politik Indonesia dan reformasi ´98. Buku yang membawa kita merenungi apa arti menjadi bagian dari sebuah Republik bernama Indonesia.

Sementara Laksmi Pamuntjak melahirkan “Amba“, sebuah epik tentang episode paling kelam dalam sejarah Indonesia: pembantaian massal dan tragedi politik sesudah `65. Novel penuh refleksi tentang manusia-manusia yang terjebak dalam kemelut sejarah.

Itulah tiga perempuan yang menguak takdir. Para penulis terbaik yang mewarnai kebebasan Indonesia saat ini.

Yang Inflasi dan Defisit

Salah satu hal terbaik yang kita dapatkan dari reformasi adalah kebebasan. Pers adalah kelompok yang paling menikmati masa-masa keemasan ini.

Meski beberapa tahun terakhir ranking kebebasan pers Indonesia terus menurun, tapi sebetulnya tidak dalam pandangan peneliti media Agus Sudibyo. Indonesia, kata dia, kini justru sedang mengalami inflasi kebebasan, dan ancaman terbesar bagi kebebasan saat ini datang dari wartawan.

Kebebasan tidak selalu berkorelasi secara positif dengan kualitas. Ahli filsafat politik Rocky Gerung melihat politik Indonesia kini dikuasai para oligark yang hanya menghasilkan peternakan politik. IQ demokrasi Indonesia sedang menurun, kata dia.

Kebebasan yang Terancam

Keterbukaan, ibarat kita membuka pintu dan jendela lebar-lebar: tak hanya udara segar, tapi lalat dan nyamuk juga bisa ikut masuk. Lima belas tahun reformasi ditandai dengan munculnya berbagai ekspresi sektarian.

Awal tahun ini, Human Rights Watch meminta dunia agar berhenti memuji Indonesia sebagai contoh negeri yang toleran. Lembaga hak asasi manusia itu mengatakan bahwa pujian hanya akan membuat para pemimpin Indonesia merasa tidak perlu menyelesaikan masalah intoleransi yang belakangan mencapai taraf semakin mencemaskan.

Anda bisa menyimak Lukisan Mooi Indie yang Pudar menggambarkan masyarakat yang semakin tidak toleran dan menjadi ancaman paling serius bagi masa depan kebebasan.

Pasien yang Baru Sembuh

Inilah masa yang oleh penyair Afrizal Malna disebut sebagai abad yang berlari. Masa ketika satu peristiwa berganti dengan tragedi lain dengan cepat. Sebuah era breaking news.

Setiap saat, kita melihat diri kita yang “sakit“: krisis yang tak kunjung usai, busung lapar dan orang miskin yang semakin bertambah. Tapi apakah betul begitu?

Ekonom muda yang baru ditunjuk menjadi Menteri Keuangan, M. Chatib Basri mengajak kita melihat gambaran yang lebih besar. Ia menyajikan berbagai fakta tentang kemajuan Indonesia. Ibarat pasien yang baru sembuh, orang Indonesia itu sering tidak yakin bahwa mereka sebetulnya sudah sehat walafiat, kata Chatib Basri.

Terlalu dekat dengan persoalan membuat kita sulit mematut diri. Kita melihat diri kita yang semakin buruk, sementara dunia melihat Indonesia yang semakin maju.

Media luar selalu mengutip Indonesia dengan rasa hormat: negara ekonomi terbesar Asia Tenggara, kekuatan ekonomi baru dunia, atau negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi setelah Cina.

Demikianlah, setelah 15 tahun reformasi ada baiknya kita jeda sejenak. Matikan breaking news, dan melihat diri kita dengan berbagai kompleksitasnya. Selamat menikmati kebebasan!