1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Adakah Korelasi antara Terorisme dan Agama?

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
10 April 2021

Belakangan ini Indonesia kembali diguncang oleh serangkaian aksi terorisme, bom bunuh diri di kompleks Gereja Katedral, Makassar, dan penyerangan kantor Mabes Polri. Ada korelasi antara terorisme dan agama?

https://p.dw.com/p/3rbEZ
Aksi teror di Makassar
Serangan di gereja di MakassarFoto: REUTERS

Para pelaku diidentifikasi sebagai aktivis Jaringan Ansharud Daulah (JAD) yang disinyalir memiliki afiliasi dengan kelompok teroris internasional seperti ISIS.

Kasus ini ditambah berbagai peristiwa terorisme sebelumnya yang terjadi di Indonesia. Masyarakat kemudian bertanya-tanya tentang korelasi antara agama (dalam hal ini Islam) dan terorisme. Mengaitkan antara agama dan terorisme di Indonesia cukup valid mengingat banyak para pelaku terorisme yang menganut agama Islam (muslim/muslimah) dan berafiliasi dengan kelompok, ormas, institusi, atau jaringan keislaman tertentu. Para teroris sendiri sering menjadikan teks-teks atau diskursus keislaman tertentu sebagai legitimasi tindakan kekerasan yang mereka lakukan.

Tetapi pemerintah, sarjana, ulama (termasuk Majelis Ulama Indonesia) serta tokoh muslim banyak yang menolak menghubungkan atau mengaitkan terorisme dengan keislaman (baca, ajaran normatif Islam). Mereka, termasuk para tokoh agama nonmuslim, bahkan mendengungkan slogan "teroris tak bertuhan” atau "teroris tak beragama”. Bagi mereka, tindakan terorisme tidak diajarkan dalam agama mana pun, dan dengan demikian, para teroris pada hakikatnya adalah para "penganut ajaran sesat”.

Pertanyaannya adalah: jika memang agama tidak mengajarkan terorisme, kenapa cukup banyak teroris yang lahir dari atau berafiliasi ke agama/kelompok agama tertentu (ormas, sekte) atau didorong oleh spirit, norma, atau nilai-nilai keagamaan tertentu? Apakah agama bisa menjadi penyebab atau faktor munculnya tindakan terorisme?

Sumanto al Qurtuby, penulis.
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: DW/A. Purwaningsih

Indonesia juga mengalami "pluralitas terorisme”

Mark Juergensmeyer dalam bukunya Terror in the Mind of God telah mendokumentasikan dan membahas cukup detail berbagai kasus terorisme di berbagai negara yang para pelakunya berafiliasi dengan agama atau sekte agama tertentu seperti Islam, Hinduisme, Buddhisme, Kristen, Sinto dan sebagainya. Begitu pula buku The Cambridge Companion to Religion and Terrorism yang dieditori oleh James Lewis juga mendokumentasikan dan menganalisis keterkaitan antara terorisme dan agama, baik dalam pengertian norma, ajaran, doktrin, teks, nilai, wacana, atau institusi keagamaan.

Tentu saja, meskipun barang kali ada korelasi antara terorisme dan agama, tindakan terorisme dalam sejarah kemanusiaan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, bukan hanya dilakukan oleh kelompok (atau individu) agama tetapi juga oleh kelompok sekuler. Motivasi tindakan terorisme juga beraneka ragam, tidak melulu didorong oleh faktor keagamaan. Begitu pula tujuan aksi-aksi terorisme sangat bervariasi, tidak tunggal. Sasaran aksi teror juga beragam, bukan hanya tempat ibadah tetapi juga gedung atau bangunan "sekuler” seperti hotel, bank, kantor, mall, kafé dan sebagainya.

Indonesia juga mengalami "pluralitas terorisme” (multiple terrorisms), baik sebelum, selama, atau setelah rezim Orde Baru, baik menyangkut aktor, motif, tujuan, maupun sasaran terorisme. Oleh karena itu, mengaitkan tindakan terorisme melulu dengan agama jelas tidak fair. Pengaitan itu jelas mengabaikan faktor-faktor di luar agama (politik, ekonomi, kultural, secularity dlsb) yang juga sangat penting dan berperan dalam aksi-aksi terorisme.

Tetapi menegasikan atau mengabaikan sama sekali faktor keagamaan dalam sejumlah aksi terorisme juga tidak fair. Hal ini karena, harus diakui, sejumlah pelaku terorisme mengidentifikasi diri sebagai "kelompok religius”, pengikut fanatik agama tertentu (devout adherents of religion), atau mengaku didorong atau dimotivasi oleh faktor keagamaan tertentu.

Lalu, adakah korelasi antara agama dan terorisme?

Jawabannya tergantung bagaimana kita mendefinisikan istilah, kata, atau konsep tentang "terorisme” dan "agama” itu. Meskipun di Barat istilah "terorisme” (terrorism) sudah dikenal sejak tahun 1790-an ketika terjadi tragedi "Reign of Terror” (la terreur) di Prancis pada zaman revolusi dan masa awal republik, hingga kini tidak ada definisi umum tentang terorisme dan elemen-elemennya yang disepakati oleh para sarjana, aktivis, praktisi, dan pemerintah di dunia ini. Ahli studi terorisme, Bruce Hoffman, dalam Inside Terrorism telah menganalisis sekitar 109 definisi tentang "terorisme” yang berbeda-beda.

Lembaga internasional atau transnasional seperti Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) juga gagal mencapai kesepakatan untuk merumuskan definisi dan komponen pembentuk terorisme. Kegagalan itu, antara lain, karena mereka berbeda pendapat dalam menentukan "aktor terorisme”. Sebagian anggota PBB ingin mencantumkan/memasukkan institusi negara sebagai bagian dari aktor terorisme, sementara yang lain menolak. Pula, mereka berbeda pendapat tentang definisi "terrorists” dan "freedom fighters”.

Meski tidak ada kesepakatan umum dalam mendefinisikan terorisme, ada sejumlah ciri utama atau karakteristik mendasar tentang terorisme yang disepakati oleh berbagai sarjana dan pengamat. Ciri-ciri dimaksud adalah, antara lain, (1) menebarkan rasa takut di masyarakat atau menciptakan ketakutan publik, (2) menggunakan tindakan kekerasan yang mematikan melawan masyarakat sipil maupun aparat pemerintah, (3) memakai alat-alat / medium yang sangat berbahaya seperti bom, senjata kimia, atau senapan, dan (4) memiliki tujuan tertentu, baik yang berdimensi politik, agama dan lainnya.   

Lalu bagaimana dengan definisi agama?

Sebagaimana terorisme, para sarjana juga berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata agama, termasuk asal-usul, komponen, dan fungsinya. Meski demikian, mereka sepakat bahwa agama berkaitan erat dengan sebuah "sistem kepercayaan” (belief system) terhadap "zat atau kekuatan supranatural” (supernatural beings).

Dalam implementasinya, seiring dengan perkembangan zaman, tantangan lingkungan (baik fisik maupun sosial) serta pluralitas para penganut agama, sistem kepercayaan ini kemudian berkembang biak menjadi sangat plural (majemuk) dan kompleks, baik yang menyangkut doktrin, ajaran, teks, wacana, ritus, praktik, kelompok, institusi, norma, tradisi, aturan, dan nilai-nilai keagamaan.

Jika pada mulanya, agama muncul sebagai respons atas ketidakberdayaan manusia mengungkap aneka misteri di sekitar mereka (seperti soal kematian, penyakit, bencana, kehidupan pascakematian dan lainnya) serta "hal-hal gaib yang tak tampak” oleh mereka (misalnya kekuatan supranatural), pada perkembangannya – lantaran dipengaruhi oleh beragam faktor – agama kemudian menjelma menjadi sebuah institusi sosial yang terorganisasi, hirarkis, birokratis, dan "njlimet” karena di dalam "perut/tubuh agama” penuh dengan aneka ragam aturan, teks, wacana dan lainnya. Agama kemudian menjadi semacam "pasar jumbo” atau "supermall” yang menjajakan aneka ragam barang (teks, wacana, tafsir, dslb) bagi para pengikutnya.

Celakanya, apa yang ada di dalam "institusi”, "tubuh”, atau "pasar” agama itu tidak selalu bernuansa positif, konstruktif, damai, humanis, dan penuh "berkat” tetapi juga bisa sebaliknya. Dalam konteks inilah, agama, khususnya agama-agama besar atau yang oleh para sosiolog dan antropolog disebut "world religions” yang berisi lautan ajaran normatif, teks, dan wacana keagamaan, bisa atau berpotensi untuk dimaknai, ditafsirkan, "diperkosa”, dimanipulasi, atau dipelintir oleh individu, kelompok, atau pengikut agama tertentu untuk kepentingan tertentu.

Dari sinilah mengapa kejahatan kemanusiaan dan tindakan kekerasan seperti terorisme bisa lahir atau muncul dari "rahim agama”. Jadi, agama bisa saja tidak mengajarkan terorisme secara langsung tetapi ia bisa atau berpotensi mempengaruhi atau menginspirasi pengikutnya untuk melakukan tindakan terorisme.

Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, D.C. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London: Routledge, 2016) dan Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam (London & New York: I.B. Tauris & Bloomsbury).
 
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.


*Tulis komentar Anda di  kolom di bawah ini.