1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Afganistan: Kembalinya Eksekusi Publik di bawah Taliban

Ghulam Sirat
8 Desember 2022

Ketika Taliban merebut Afganistan tahun lalu, banyak yang berharap pandangan kaum fundamentalis itu akan melunak. Anggapan itu terbukti keliru sejak tahun pertama kekuasaan Taliban.

https://p.dw.com/p/4Kej6
Aparat Taliban di Kabul
Aparat Taliban berjaga-jaga di KabulFoto: Oliver Weiken/dpa/picture alliance

Meski tidak seorangpun yang menganggap Taliban akan menjadi liberal, banyak analis politik yang berharap mereka akan "dewasa dalam berpolitik,” ketika merebut kekuasaan untuk kali kedua di Afganistan.

Masa kekuasaan Taliban pertama, antara 1996 hingga 2001, antara lain ditandai oleh pelanggaran berat HAM, eksekusi mati di depan publik dan pemberangusan hak perempuan. 

Sejak merebut ibu kota Kabul, Agustus 2021 silam, komandan-komandan Taliban mengisyaratkan telah belajar dari kesalahan di masa lalu. Tapi setahun berselang, situasi HAM di Afganistan tidak kunjung membaik.

Kembalinya eksekusi publik

Pada Rabu (7/12), juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengumumkan betapa seorang terpidana pembunuhan sudah menjalani hukuman mati di depan publik. Eskekusi tersebut merupakan yang pertama sejak kembalinya Taliban.

Aktivis Afganistan Memperjuangkan Hak-hak Perempuan

Dalam pernyataannya, dia mengatakan "Qisas”, aturan yang merujuk pada prinsip ‘mata dibalas mata', telah dilaksanakan terhadap seorang pria asal Provinsi Herat. 

Dalam kasus yang terjadi lima tahun lalu, dia didakwa membunuh seorang pria dan mencuri sepeda motor serta telepon seluler korban. 

Belum lama ini, Taliban melaksanakan hukuman cambuk di depan publik terhadap belasan laki-laki dan perempuan karena melakukan "kejahatan moral.”

Eksekusi terjadi di Provinsi Logar, Laghman, Bamiyan, Ghazni dan Takhar. Kepada para perempuan dituduhkan delik "pencurian, perilaku asusila dan melarikan diri dari rumah.”

Taliban tidak lagi berusaha menutupi eksekusi publik. Sebaliknya, Mullah Haibatullah Akhundzada, pemimpin spiritual Taliban, memerintahkan agar Syariah Islam dijalankan secara ketat di seluruh negeri.

Militansi Taliban

Rina Amiri, utusan khusus AS untuk perempuan Afganistan, menulis di Twitter bahwa gelombang ekskusi oleh Taliban "tidak hanya menjijikkan, tapi juga sinyal berbahaya betapa Taliban semakin berani menunjukkan kepada dunia bahwa mereka mengadopsi kebijakan masa lalu.”

"Upaya mereka yang dulu kandas dan kini akan kembali membawa seisi negeri ke jalur berbahaya,” imbuhnya.

Seorang saksi mata eksekusi hukuman cambuk di Afganistan mengisahkan kepada DW bagaimana aparat Taliban memanggil warga dengan pengeras suara untuk datang menyaksikan. Mereka bahkan meminta pemilik toko untuk tutup jika tidak ingin ikut dicambuk, imbuhnya.

Saksi yang tidak ingin disebut namanya itu mengatakan Taliban menggunakan cambuk khusus yang "terbuat dari kulit dan besi.” Mereka yang dicambuk mengalami kesakitan dan menangis, kisahnya lagi.

Minimnya tekanan dunia

"Taliban tidak berubah dan setelah berkuasa selama satu tahun, mereka semakin bengis, kian bermasalah dan demagog,” kata analis politik Ahmad Saeedi, seorang bekas diplomat Afganistan, kepada DW.

"Taliban tidak menerima prinsip-prinsip kekuasaan dan kemanusiaan, dan mereka tidak peduli terhadap permintaan yang dibuat dunia internasional,” imbuhnya.

Saeedi mendesak Negara Barat untuk "mengemban tanggungjawab atas apa yang terjadi di Afganistan saat ini,” karena mereka gagal memaksakan perubahan pada praktik politik Taliban.

Analis politik lain, Tariq Farhadi, mengimbau agar dunia tidak berharap apapun dari Taliban. "Inilah yang mereka pelajari di madrasah-madrasah di Pakistan,” tukasnya. "Mereka sekarang ingin melaksanakannya.” rzn/yf