1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ahmadinejad di Arab Saudi: Usaha Memecahbelah Islam Akan Dihadapi Bersama

5 Maret 2007

Apa yang menyebabkan kunjungan ini menarik bagi dunia internasional? Apakah akan ada pembicaraan langsung antara Washington den Teheran?

https://p.dw.com/p/CIuN
Raja Abdullah sambut Ahmadinejadi di Riyadh, Arab Saudi
Raja Abdullah sambut Ahmadinejadi di Riyadh, Arab SaudiFoto: AP

Hari Sabtu (03/03) lalu nampaknya kedua front bergerak mendekati. Juru bicara Kementrian Luar Negeri Iran Mohammad Ali Hosseini membenarkan, ada tawaran dari Amerika serikat untuk membicarakan masa depan Irak. Tetapi Minggu (04/03), ia sudah mundur lagi. Dikatakannya, masih belum jelas apakah memang Republik Islam Iran akan berpartisipasi dalam Konferensi Irak di Bagdad tanggal 10 Maret mendatang, bersama dengan negara-negara di sekeliling Irak.

Berkaitan dengan konferensi tersebut, Presiden Iran Mahmud Ahmadinehad hari Sabtu (03/03) lalu untuk pertama kalinya berkunjung ke Arab Saudi dan bertemu dengan Raja Abdullah. Pertemuan antara dua negara yang bersaing. Kerajaan Sunni Arab Saudi adalah sekutu AS, sedangkan Iran yang didominasi kaum Syiah merupakan lawan Washington. Oleh sebab itu kunjungan Ahmadinejad mendapat perhatian dunia internasional.

Iran dan Arab Saudi punya pendapat sama dalam permasalahan inti di kawasan itu. Setidaknya itulah pesan yang dibawa pulang oleh Presiden Mahmud Ahmadinejad ke Teheran. Dalam kunjungan pertamanya di Arab Saudi, ia berembuk selama delapan jam dengan Raja Abdullah mengenai situasi di Irak, Palestina dan nampaknya juga mengenai situasi di Libanon. Dilaporkan, keduanya menyepakati rumusan yang tidak mengikat, bahwa "usaha musuh untuk memecah-belah dunia Islam" akan dihadapi bersama. Demikian keterangan Ahmadinejad.

Selama ini Arab Saudi nampaknya menuduh Iran mendalangi usaha pemecah-belahan sektarian. Di Libanon, Teheran mendukung Hisbollah, di Palestina, Hamas dan di Irak, Iran membantu kaum Syiah yang sejak tergulingnya Saddam Hussein merupakan kelompok terkuat. Dan dalam ketiga kasus itu Arab Saudi merasa terpojok.

Di Libanon, Arab Saudi mendukung pemerintahan PM Fuad Siniora dan peraturan yang memungkinkan kehidupan bersama secara damai bagi berbagai kelompok etnis dan agama. Yaitu yang disepakati dalam pertemuan di Taif, Arab Saudi tahun 1989, yang mengakhiri perang saudara di Libanon.

Di Palestina, belakangan ini Arab Saudi mengupayakan diakhirinya sengketa antara Hamas yang radikal dan gerakan Fatah dari Presiden Mahmud Abbas. Sejak kesepakatan yang dicapai di Mekkah beberapa minggu lalu, Hamas dan Fatah berupaya membentuk pemerintahan kesatuan nasional. Dan sebagai langkah selanjutnya akan dibahas kemungkinan untuk memulai kembali perundingan perdamaian dengan Israel.

Di Irak sendiri, Riyadh berusaha mendampingi kelompok Sunni yang semakin terdesak. Beberapa bulan lalu Arab Saudi sudah memperingatkan, terus berlanjutnya serangan-serangan terhadap kelompok Sunni akan memaksanya untuk memberikan bantuan.

Dalam ketiga kasus itu Arab Saudi menganggap Iran sebagai rintangan utama. Teheran adalah pendukung terpenting "Hisbullah", Hamas-walaupun bukan Syiah, dan kelompok Syiah di Irak. Sampai tergulingnya Saddam banyak para pemimpin Syiah hidup dalam pengasingan di Iran. Dan bila Irak dipimpin oleh kelompok Syiah Iran tidak perlu khawatir akan adanya ancaman dari negara itu.

Sebaliknya faktor inilah yang meresahkan Arab Saudi. Selama ini Irak memang tidak disukai, tetapi merupakan negara tetangga yang dikuasai oleh kelompok Sunni. Kalau struktur kekuasaan di Irak berubah, maka Riyadh merasa terancam. Sebab hal itu juga akan berdampak di pesisir barat Teluk Persia yang dikuasai kelompok Syiah, di negara-negara minyak dan juga wilayah pesisir Arab Saudi sendiri.

Keresahan itu pastilah tidak tersingkirkan, juga setelah perembukan selama delapan jam dengan presiden Iran. Tetapi setidaknya telah dilakukan upaya untuk memperbaiki situasi, sebelum direncanakan pertemuan pertama antara Irak dengan negara-negara di sekelilingnya dan AS.