1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

110511 Uganda Proteste

11 Mei 2011

Kamis (12/5) Yoweri Museveni kembali dilantik sebagai presiden Uganda. Sudah 25 tahun ia memerintah. Pemilu terakhir yang digelar Februari dipertikaikan. Gelombang aksi protes mulai mengguncang negeri itu.

https://p.dw.com/p/11DlI
Pemilu UgandaFoto: picture alliance/dpa

Ibukota Uganda, Kampala, hampir tidak dapat dikenali lagi. Kota metropolitan itu yang biasanya tenang dan damai, dipenuhi blokade jalanan yang dibuat demonstran. Mereka melempari polisi dengan batu.

Aparat keamanan tidak mengenal ampun. Pertama, mereka mencoba menghalau demonstran dengan menggunakan gas air mata. Namun karena tidak berhasil, akhirnya mereka menembaki para demonstran dengan peluru. Sepuluh orang dilaporkan tewas, diantaranya seorang anak berumur dua tahun.

Semuanya berawal dari sebuah aksi unjuk rasa biasa. Ketika itu oposisi menyerukan demonstrasi damai. Pegawai dan buruh diminta berjalan kaki ke tempat kerjanya sebagai aksi protes menentang harga bensin tinggi. Mugisha Muntu, anggota partai oposisi Uganda terpenting „Forum untuk Perubahan Demokrasi“ juga tidak menggunakan mobil dan berjalan kaki ke gedung parlemen.

„Kami berdemonstrasi menentang kenaikan harga. Memang masalah ini tidak hanya dialami Uganda. Kenaikan harga terjadi di seluruh dunia. Tetapi, kami punya masalah lain. Rakyat Uganda harus mengencangkan sabuk. Bila pemerintah Uganda melakukan hal sama, kami tidak akan melakukan aksi protes. Tetapi mereka tidak melakukannya, bahkan melonggarkan sabuk mereka. Rakyat Uganda frustrasi dengan korpusi yang merajalela di negeri ini. Pemerintah kami tidak memahami situasi rakyat, karena sudah lama tidak dekat dengan rakyat.“

Contohnya, persiapan upacara pelantikan Presiden Yoweri Museveni. Sedikitnya 30 kepala negara diundang ke acara pelantikannya dan pemerintah menghabiskan dana lebih dari satu juta Dolar Amerika Serikat. Padahal pemerintah Uganda bangkrut. Di beberapa rumah sakit, air dan listrik dimatikan demi pelantikan itu. Kantor pemerintahan tidak punya kertas, sementara pemerintah rezim baru membeli pesawat tempur seharga 750 juta Dolar. Hal ini membuat warga Uganda geram. Begitu juga pemuda-pemuda tadi yang melakukan aksi protes.

„Harga terlampau tinggi. Jika saya berbelanja dan penjualnya mengatakan satu kilo gula harganya 3000 Schilling, padahal sebelumnya hanya 1800, ini sungguh tidak masuk akal. Kami orang miskin. Sementara presiden mengadakan pesta senilai satu juta Dolar lebih, dan itu untuk satu hari! Tidak bisa begitu. Kami ingin pemerintah baru. Dia sudah memerintah sejak hampir 26 tahun dan tidak ada yang berubah. Kami ingin, barat membantu kami, seperti di Libya.“

Revolusi di negara Arab tidak dapat disamakan dengan demonstrasi di Uganda. Di Tunisia, Mesir, Libya atau Suriah, puluhan ribu orang turun ke jalanan, sedangkan di Uganda hanya ratusan. Mereka berasal dari kawasan kumuh dan sekitar ibukota dan tidak dikordinir dengan baik. Lapangan pusat di ibukota dikepung polisi. Di satu pihak, revolusi Arab membuat warga Uganda berani mengekspresikan ketidakpuasan mereka. Di pihak lain, hal itu membuat pemerintah bertindak keras terhadap demonstran. Tokoh oposisi Kizza Besigye kena semprotan merica dan dirawat di rumah sakit di Kenya. Beberapa hari lalu sejumlah ahli hukum berunjuk rasa menentang kejadian yang dialami Besigye. Dengan mengenakan jubah hitam, mereka berjalan ke pengadilan tertinggi Uganda. Bruce Kyerere, Ketua Perhimpunan Ahli Hukum Uganda mengajukan petisi:

„Kami sangat cemas dengan penggunaan kekerasan yang berlebihan dan mengecam keras penggunan munisi terhadap warga sipil yang tidak bersenjata. Juga penahanan brutal atas pemimpin oposisi. Daftar penggunaan kekerasan sudah mencukupi untuk menyebutnya sebagai kekerasan terhadap kemanusiaan.“

Presiden Yoweri Museveni berusia 66 tahun. Ia memerintah di Uganda sejak 25 tahun. Pemilihan umum terakhir dipertikaian dan mendapat kritikan keras dari dunia internasional.

Simone Schlindwein/Andriani Nangoy Editor: Hendra Pasuhuk