1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Aktivis LGBT+ Mesir Bunuh Diri

Knipp Kersten | Imane Mellouk 
19 Juni 2020

Sarah Hegazy pernah ditangkap, disiksa dan jadi sasaran pelecehan seksual di penjara karena mengibarkan bendera pelangi di sebuah konser Kairo. Masa di penjara memengaruhi kesehatan mentalnya hingga akhirnya bunuh diri.

https://p.dw.com/p/3e2lE
Konser Mashrou Leila
Konser di kairo Mesir tahun 2017Foto: picture-alliance/dpa/B.Schwinghammer

Ketika vokalis gay dari kelompok pop Lebanon yang sangat populer naik ke panggung festival pada musim panas tahun 2017 di Kairo, bendera pelangi terangkat di udara. Sebagai seorang lesbian di negara di mana homoseksualitas dianggap tabu, dan kaum LGBT+ secara rutin dianiaya oleh pihak berwenang, Sarah Hegazy di sini melihat secercah kebebasan. Berseri-seri dengan sukacita, dia pun mengangkat kedua tangan ke atas dan mengangkat bendera pelanginya. Seorang teman mengabadikan momen itu dengan kamera. Demikian dikutip dari New York Times.  

Badai kemarahan publik atas bendera pelangi tersebut meletus di media sosial, diikuti penggerebekan yang dilakukan oleh polisi. Otoritas Mesir menangkap lebih dari 70 orang setelah konser, termasuk Hegazy. Banyak yang menganggap peristiwa itu sebagai aksi penumpasan terbesar pada komunitas LGBT + Mesir. Hegazi adalah satu-satunya perempuan- atau setidaknya satu dari sedikit  perempuan- yang ditangkap setelah konser, demikian menurut laporan pers. 

Sarah Hegazy menulis dalam sebuah catatan bahwa ia telah "berusaha menemukan penebusan dan gagal" setelah menderita gangguan stres pascatrauma selama bertahun-tahun sebagai akibat penahanan di penjara. Dia ditemukan bunuh diri pada hari Minggu  (15/6) lalu. Kematiannya mengejutkane seluruh komunitas LGBT+, tidak hanya di Mesir dan Timur Tengah melainkan juga di seluruh dunia. 

"Bagi mereka yang menuntut eksistensi yang jujur [di Mesir], pilihannya adalah penjara, pengasingan atau kematian," tulis peneliti Mesir Timothy Kaldas dalam sebuah tweet. "Sarah mengalami ketiganya karena dia mencintai kejujuran di tempat yang membencinya karena itu." 

“Saya mendeklarasikan diri saya dalam masyarakat yang membenci semua yang berbeda dari norma," kata Hegazy dalam sebuah wawancara dengan DW dulu, setelah dia dibebaskan dari penahanan selama tiga bulan di penjara. 

Kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat 

Meskipun tidak secara eksplisit melarang homoseksualitas, pihak berwenang di Mesir sering menggunakan tuduhan "pesta pora berlebihan di publik" untuk menuntut mereka yang tidak mematuhi norma sosial orientasi seksual dan gender. 

Pasukan keamanan Mesir secara teratur dituduh menggunakan uji anal paksa,  alat yang digunakan untuk menentukan perilaku homoseksual,yang berarti "suatu bentuk perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat yang dalam beberapa kasus sama dengan penyiksaan," kata organisasi hak asasi Human Rights Watch. 

Hegazy berbicara terbuka tentang trauma yang dia alami selama di penjara Mesir, di mana dia diserang secara seksual oleh tahanan lain dan disiksa oleh petugas penjara karena orientasi seksualnya. Dia secara teratur membahas efeknya terhadap kesehatan mentalnya lewat posting di media sosial. 

Tanpa pengakuan 

Meskipun ada tekanan internasional, otoritas Mesir menolak rekomendasi untuk mengakhiri penggunaan langkah-langkah penegakan hukum yang menargetkan orang-orang LGBT+. 

"Pemerintah Mesir menolak untuk mengakui keberadaan orang-orang lesbian, gay, biseksual dan transgender, mengabaikan tanggung jawabnya untuk melindungi hak-hak semua orang," kata Rasha Younes dari Human Rights Watch pada bulan Maret. 

Hegazy meninggal di kota Toronto, Kanada, tempat ia tinggal di pengasingan dari Mesir. "Kepada dunia: kau sangat kejam, tapi saya memaafkan," tulis Hegazy sebelum kematiannya. 

 

ap/hp(DW/New York Times)