1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikKepulauan Solomon

Ambisi Cina Ciptakan Medan Diplomasi Baru di Pasifik Selatan

3 Juni 2022

Tur Kepulauan Pasifik oleh Menlu Cina, Wang Yi, dan Menlu Australia, Penny Wong, menyeret perhatian dunia ke wilayah yang selama ini diabaikan. Pasifik Selatan kini menjadi medan diplomasi baru bagi hegemoni Beijing

https://p.dw.com/p/4CEtJ
Ibu kota Vanuatu, Port Vila
Ibu kota Vanuatu, Port VilaFoto: Walter Bibikow/Danita Delimont/imago images

Dalam tur diplomatiknya itu, Wang Yi gagal meyakinkan ke10 negara Kepulauan Pasifik buat menerima Cina sebagai jangkar keamanan baru – sebuah peran yang selama ini diemban Australia. 

Sejumlah kepala negara menunjukkan keberatan dengan manuver Beijing meloloskan perjanjian komperhensif itu tanpa melalui konsultasi menyeluruh.

"Anda tidak bisa meratifikasi perjanjian regional jika kawasannya sendiri belum bertemu untuk membahasnya,” kata Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Fiame Naomi Mata'afa.

Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama, bahkan berujar lebih tajam terkait upaya adidaya dunia mendekati Kepulauan Pasifik untuk mencetak "skor geopolitik, yang tidak berarti banyak bagi mereka yang tenggelam bersama komunitasnya di bawah permukaan laut yang kian tinggi,” tukasnya merujuk pada dampak krisis iklim.

"Pernyataan Bainimarama diyakini diarahkan kepada Cina,” kata Wesley Morgan, pakar Kepulauan Pasifik di Griffith University, Australia. "Pembicaraan antara keduanya pasti berlangsung dengan agak kurang menyenanngkan.”

Di penghujung lawatan Wang Yi, Kedutaan Besat Cina di Fiji berkicau betapa "tidak semua pertemuan serta merta akan mampu menghasilkan dokumen yang diharapkan,” tulisnya via Twitter. "Mohon tunggu perkembangannya.”

Insiatif ekonomi Cina di Pasifik Selatan
Insiatif ekonomi Cina di Pasifik Selatan

Ekspansi Cina pupus pengaruh AS

Meski demikian, lawatan Wang menandakan "perubahan sikap” dalam ambisi Cina di Pasifik Selatan, menurut Euan Graham, pakar keamanan Asia-Pasifik di International Institute for Strategic Studies.

"Kini ada keyakinan tinggi di pihak Cina dan jelas ada peningkatan upaya diplomasi,” ujarnya.

Wang menjanjikan investasi "sama untung” dalam pembangunan infrastruktur, pengembangan sektor perikanan, perhutanan atau pertambangan. Dia juga menawarkan bantuan Cina untuk kepolisian, keamanan siber dan pengawasan wilayah laut.

Pendekatan Beijing dilihat oleh analis barat sebagai upaya memperlemah pengaruh Australia di kawasannya sendiri dan secara tidak langsung mengisolasi AS. 

"Kami cuma ingin memperluas lingkaran pertemanan,” kata Zhao Shaofeng, Direktur Studi Kepulauan Pasifik di Universitas Liaocheng, Cina. "AS terus mengepung dan memblokir Cina secara internasional. Cina berhak membalas serangan AS hingga level tertentu,” imbuhnya.

Sejumlah pejabat AS khawatir Cina kelak akan mampu membangun sebuah pangkalan militer di Pasifik Selatan. "Keberadaan militer Cina di kawasan diyakini akan membuat aset militer AS menjadi sangat rentan,” kata Euan Graham.

"Tapi mereka jelas punya ambisi yang lebih besar, "imbuhnya. 

Siasat diplomasi demi kepentingan sendiri

Cina saat ini berusaha menggeser Australia sebagai mitra bisnis terbesar di Papua Nugini. Di hari terakhir kunjungannya Jumat (3/6), Wang Yi bertemu dengan Perdana Menteri, James Marape, di Port Moresby untuk membahas perjanjian perdagangan bebas.

Adapun Kep. Solomon sebelumnya sudah bersepakat dengan Cina untuk meminta bantuan keamanan jika dibutuhkan. 

Tur diplomatik Wang Yi itu, memaksa Australia mengirimkan Menlu Penny Wong ke tiga negara Kepulauan Pasifik untuk memperdalam relasi. Ketika Wang berada di Papua Nugini, Wong dijadwalkan melawat ke Tonga, Jumat (3/6).

Berbeda dengan sebelumnya, pemerintahan baru Australia ingin menitikberatkan kerja sama pada pencegahan bencana iklim.

Pendekatan serupa digunakan Bank Dunia ketika mengabulkan dana bantuan pembangunan senilai USD 130 juta untuk Kep. Solomon, Kamis (2/6). Duit tersebut akan digunakan untuk renovasi bandara di ibu kota Honiara dan pembangunan empat jembatan.

"Menyedikan moda transportasi yang tahan iklim adalah tantangan besar di Kepulauan Solomon,” kata Annette Leith, perwakilan lembaga keuangan yang berkantor pusat di Wasington D.C., AS, itu.

Betapapun juga, Richard Herr, Guru Besar Hubungan Internasional di University of Tasmania, menilai adidaya dunia akan kecewa jika menganggap remeh pemimpin lokal. "Ada kesan yang disayangkan, bahwa loyalitas di sejumlah negara Kepulauan Pasifik bisa dibeli,” kata dia.

"Mereka tidak susah payah memperjuangkan kemerdekaan untuk lalu menjualnya kembali,” imbuhnya.

Dunia barat cendrung "menganggap Kepulauan Pasifik tidak mampu melakukan diplomasi tingkat tinggi,” untuk menyeimbangkan hubungan dengan barat dan Cina, timpal Anna Powles, analis keamanan di Universitas Massey, Selandia Baru. 

"Tapi justru itu lah yang sedang mereka lakukan.”

rzn/as (rtr,ap,afp)