1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Ambisi Politisi Transgender Thailand Pauline Ngarmpring

Ann-Christin Ann-Christin Herbe
22 Maret 2019

Pauline Ngarmpring adalah kandidat transgender pertama yang mencalonkan diri untuk parlemen Thailand. Ia dianggap sebagai pembawa harapan bagi komunitas LGBT.

https://p.dw.com/p/3FR8J
Pauline Ngarmpring
Foto: picture-alliance/dpa/G. Amarasinghe

Pada 24 Maret, warga Thailand akan memilih parlemen baru, yang akan mengakhiri lima tahun pemerintahan militer. Pauline Ngarmpring, yang berusia 52 tahun, seorang kandidat transgender, sedang bertarung dalam pemilihan dan mewakili Partai Mahachon. Ngarmpring adalah satu dari tiga kandidat yang diajukan oleh partai untuk jabatan perdana menteri. Namun, dia tidak dianggap sebagai calon favorit.

Dalam wawancara dengan DW, Ngarmpring mengatakan dia ingin memberi harapan bagi kelompok yang terpinggirkan dan menciptakan ruang politik bagi generasi masa depan orang-orang LGBT.

DW: Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, Thailand dianggap memiliki pendekatan yang lebih terbuka terhadap komunitas LGBT. Apa pendapat Anda tentang ini?

Pauline Ngarmpring: Orang-orang di seluruh dunia berpikir bahwa Thailand adalah semacam surga bagi orang-orang LGBT tetapi pada kenyataannya sangat sulit bagi orang untuk membuka diri. Saya pergi ke Amerika Serikat untuk operasi karena di Thailand mereka akan memandang saya seolah-olah saya orang aneh.

Sebelum masa transisi, sebagai seorang pria, saya adalah seorang CEO dan promotor olahraga, yang terkenal di dunia sepakbola Thailand. Saya takut orang-orang di jalan akan mengenali saya dan saya akan malu. Itu sebabnya saya pergi ke AS, untuk menjauh dari masyarakat Thailand.

Di Thailand, Napi LGBT Dipisah dari Napi Lainnya

Tetapi akhirnya Anda kembali ke Thailand.

Hanya karena media menemukan saya. Pada saat itu, saya hanya ingin tetap low profile dan menghilang dari peredaran. Saya tidak berpikir orang akan mengenali sosok saya yang 'baru'. Tetapi kemudian, pada bulan Juli 2017, ada media yang memuat berita besar tentang transisi saya di Amerika. Saat itulah saya memutuskan untuk kembali ke Thailand, untuk menjelaskan kisah saya kepada masyarakat dan menceritakannya dari sudut pandang saya. Saya ingin mendorong orang dan memberi mereka kekuatan untuk menjadi diri mereka sendiri.

Seperti apa reaksi setelah Anda kembali ke Thailand?

Saya tahu saya akan berada di bawah banyak tekanan. Beberapa orang menertawakan saya dan mengolok-olok saya. Tetapi ketika Anda cukup menghargai diri sendiri, Anda tidak terlalu peduli dengan semua hal negatif. Semakin saya membicarakannya, semakin banyak orang yang mengerti.

Saya banyak menderita dalam hidup saya tetapi saya bangga dengan keberadaan saya sekarang. Setelah saya keluar secara publik, orang-orang mulai mengirimi saya pesan, mengatakan bahwa saya menginspirasi mereka untuk transisi dan itu membuat saya bahagia. Tentu saja, kadang-kadang saya mendapat komentar seperti "Kamu dulu pria yang tampan" tetapi kini orang-orang menghargai saya sebagai Pauline.

Mengapa Anda memilih untuk mengejar karir di bidang politik?

Kembali ke masa lalu ketika saya seorang pria, saya tertarik pada politik karena latar belakang profesional saya dalam jurnalisme. Kemudian saya bekerja di sepakbola yang melibatkan banyak urusan dengan banyak politisi. Saya mengikuti dengan cermat situasi politik di Thailand dan itu benar-benar membuat saya sedikit tertekan karena seharusnya bisa jauh lebih baik.

Beberapa pihak mengundang saya untuk bergabung tetapi masa transisi saya belum tuntas pada saat itu. Saya memiliki misi untuk berubah menjadi seorang wanita. Setelah saya menjadi Pauline, saya diundang untuk bergabung dengan Partai Mahachon dan kali ini saya siap memasuki politik. Saya tidak perlu khawatir tentang apa pun karena saya sendiri. Tetapi saya tidak pernah berpikir untuk menjadi perdana menteri atau apa pun, saya hanya ingin bermanfaat bagi rakyat.

Apa yang Anda harapkan untuk dicapai secara politis bagi komunitas LGBT?

Partai Mahachon sangat mendukung hak asasi manusia. Jadi, salah satu hal utama yang ingin saya capai adalah membuat orang setara dalam arti politik. Saya juga akan berusaha memberi mereka kesempatan ekonomi dan sosial yang setara. Itu termasuk mengakui LGBT sebagai manusia dan memberi mereka hak yang sama seperti orang lain, seperti bisa menikah dan mengidentifikasi diri dengan benar.

Saat ini, misalnya, kita tidak dapat mengubah identitas gender kita dan itu membuat hidup sangat sulit. Di rumah sakit, orang menyebut kami "tuan dengan identitas perempuan," itu sangat memalukan. Dan masalah yang sama terjadi ketika Anda bepergian ke luar negeri dengan paspor masih menyebut Anda sebagai "tuan".

Apakah Anda pikir Anda benar-benar memiliki kesempatan untuk menjadi perdana menteri Thailand berikutnya?

Terus terang, saya tidak punya kesempatan untuk menang kali ini. Itu antara lain karena saya baru tiga bulan bergabung dengan partai sebelum pemilihan. Saya harap kita mendapatkan enam atau tujuh kursi di parlemen, yang akan menjadi awal yang baik untuk partai.

Namun ada sesuatu yang membuat saya percaya diri, bahwa di masa depan saya akan mendapatkan lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri dan benar-benar membuat orang memahami konsep saya. Saya percaya saya akan dapat membuat mereka menyadari keuntungan memiliki seorang transgender sebagai perdana menteri. Saya akan mewakili kelompok orang yang lebih beragam di masyarakat dibanding kandidat pria atau wanita biasa.

Saya bertarung dalam pemilihan untuk generasi mendatang. Mencari kekuasaan bukanlah tujuan saya. Kekuasaan hanyalah alat dalam hal ini. Saya hanya ingin orang lebih terbuka terhadap komunitas LGBT dan, dengan cara tertentu, saya sudah mencapai itu. (vlz/ap)

Pauline Ngarmpring dulunya adalah sosok terkenal di dunia sepakbola Thailand. Sebagai transgender, ia kini memasuki dunia politik dan ikut serta dalam pemilihan parlemen Thailand mendatang.

Wawancara dilakukan oleh Ann-Christin Herbe.