1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

"Wacana Hidupkan Kembali KKR Sebaiknya Tidak Terlalu Teknis"

21 November 2019

Mahfud MD berencana menghidupkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai salah satu upaya menuntaskan permasalahan HAM berat di masa lalu. Simak tanggapan Amnesty International Indonesia terkait hal ini.

https://p.dw.com/p/3TSJ0
Mahfud MD
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad

Sejak resmi dilantik menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD berencana menghidupkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tujuannya adalah untuk mempercepat penuntasan masalah pelanggaran HAM  berat di masa lalu. 

Mahfud menilai jalur nonyudisial adalah cara yang paling masuk akal untuk menangani pelanggaran HAM berat masa lalu, lantaran pelaku, bukti, hingga korban sudah tidak ada.

Lantas benarkah wacana pembentukan KKR ini efektif menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran HAM? Apa langkah yang bisa diambil pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini dan memberi keadilan bagi korban dan keluarganya?

Deutsche Welle (DW) mewawancarai Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri, terkait hal ini.

DW: Bagaimana Amnesty menanggapi wacana penghidupan kembali KKR?

Puri Kencana Putri: Yang menjadi catatan utama dari Amnesty International Indonesia  adalah apakah planning ini memang sudah dikonsultasikan, terutama dengan para penerima manfaat, dalam hal ini adalah korban dan keluarga korban?

Sejak pertemuan terakhir Presiden Joko Widodo dengan para korban dan keluarga korban pada tanggal 31 Mei 2018, presiden menjanjikan untuk menindaklanjuti komunikasi melalui Kepala Staf Kantor Kepresidenan, yakni Moeldoko.

Namun demikian, rencana ini sebenarnya menjadi tantangan karena kalau kita lihat, nomenklatur Kemenpolhukam tidak menangani urusan agenda Hak Asasi Manusia (HAM).

Puri Kencana Putri
Puri Kencana Putri, Manajer Kampanye Amnesty International IndonesiaFoto: privat

Urusan penegakan HAM menurut UU No.6 tahun 2000, tentang pengadilan HAM adalah urusan dari dua kementerian atau lembaga, yakni Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, sebagai lembaga penyelidik resmi negara yang ditunjuk untuk melakukan proses penyelidikan terhadap kasus-kasus yang masuk pada kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Kedua, apakah proses ini sudah disiapkan road map-nya, alur kerjanya? Karena ketimbang kita memikirkan hal-hal teknis terkait pembentukan sebuah KKR secara nasional, sebenarnya Mahfud bisa kok mendorong inisiatif yang sudah ada. 

Baca juga: Ramai Pelanggaran, Indonesia Malah Terpilih Jadi Anggota Dewan HAM PBB

Apakah wacana pembentukan KKR ini bisa sampai ke ranah penegakan hukum atau hanya rekonsiliasi?

Ini yang belum jelas. Yang dia sampaikan di media sebenarnya apa hakikat dari sebuah KKR. Kalau kita bicara KKR sebagai konsep bukan sebagai output teknis, kita bicara tentang satu proses akuntabilitas di mana pengungkapan kebenaran itu menjadi agenda utama yang harus disediakan. 

Pertama, wajib disediakan oleh negara untuk memastikan peristiwa yang sama tidak terulang lagi. Kedua, untuk memastikan fungsi koreksi tersedia dan dilembagakan oleh negara. Ketiga, untuk memastikan ada pemulihan yang signifikan terhadap korban dan keluarga korban. Pemulihan yang saya maksud di sini adalah tidak memberikan fasilitas-fasilitas layaknya warga negara pada umumnya. Misalnya di Indonesia kita punya BPJS, tapi kita tidak bisa berikan BPJS kepada korban dan keluarga korban. Kita harus berikan skenario yang berbeda terkait pemulihannya.

Mahfud MD menyampaikan salah satu penyelesaian masalah HAM berat masa lalu bisa lewat pendekatan nonyudisial, apa tanggapan Anda?

Ini terlalu teknis. Saya mungkin bisa counter argumen pernyataan Mahfud bahwa sebaiknya menko tidak mengurusi urusan yang terlalu teknis. Tugas menko di sini 'kan mengkoordinasikan untuk memastikan. Kalau pendekatan nonyudisial dipilih karena alat bukti, kelengkapan pelaku, potensi pelaku atau korban sudah tidak ada, maka kita harus kembali melihat dokumen-dokumen proyustisia yang dikeluarkan oleh Komnas HAM.

Akan lebih elok apabila sebelum Mahfud menyampaikan bahwa pendekatan nonyudisial adalah pendekatan terbaik, ia terlebih dahulu memastikan apakah proses konsultasi tersebut sudah dilakukan dengan ketua dan pimpinan Komnas HAM? Apakah proses tersebut juga sudah dikonsultasikan dengan Jaksa Agung? Apakah kemudian presiden, yang levelnya lebih tinggi dan sebagai pemangku - tidak cuma sektor eksekutif, tapi juga pemangku negara - mengetahui rencana yang disampaikan Mahfud.

Untuk menyelesaikannya, butuh pembahasan mendalam. Lalu menurut Anda, apa saran atau cara jitu menuntaskan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu?

Kalau saya jadi presiden, saya akan memanggil ketua Komnas HAM, karena Komnas HAM saya lantik, saya angkat. Meskipun fit and proper test oleh DPR, Komnas HAM punya kewajiban untuk memberikan rekomendasi kepada saya. Lalu juga saya bisa panggil Jaksa Agung karena di bawah komando saya. Kenapa ini? Apa yang terjadi? Kenapa selalu ada dispute antara dua lembaga ini? Kenapa ada bolak-balik berkas, kasih tahu saya masalahnya di mana?

Kemudian saya akan panggil orang-orang yang bisa memberikan pertimbangan. Saya punya Wantimpres, saya juga bisa berkoordinasi dengan ketua DPR sebagai lembaga yang mengeluarkan hasil rekomendasi pansus orang hilang di tahun 2009. Kenapa hasil rekomendasinya tidak dijalankan sejak tahun 2009 hingga sekarang?

Kita belajar UU No. 26 tahun 2000 sudah 20 tahun dibentuk, ada tiga pengadilan HAM adhoc, dan satu di dalamnya pengadilan HAM biasa, di mana semua pelakunya gagal untuk diadili, bebas maksud saya dan tidak ada keadilan buat para korban dan keluarga korban. Nah ayo kita pikirkan mana yang kita mulai dulu. Kalau bilang tidak ada alat bukti, oke. Komnas HAM cerita yang dimaksud alat bukti apa, yang dibutuhkan untuk menyidik alat buktinya apa.

Sebenarnya sesederhana itu, tanpa kemudian saya berusaha untuk mensimplifikasikan situasinya di lapangan. Tapi ini sepertinya saya gak tahu juga apa yang membuat negara seperti putar otak lama sekali untuk mengambil langah-langkah yang sebenarnya publik memiliki common sense-nya untuk menyelesaikan ini.

Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Prita Kusumaputri dan telah diedit sesuai konteks.