1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Diktator Berpendidikan Eropa

Nils Naumann17 April 2013

Kim Jong Un, Bashar al Assad atau Saif Gaddafi. Banyak anak diktator yang sempat mengenyam pendidikan di Eropa. Tapi mereka tidak menjadi demokrat.

https://p.dw.com/p/18Gpa
North Korean leader Kim Jong-Un , March 25, 2013, in this picture released by the North's KCNA news agency in Pyongyang March 26, 2013. REUTERS/KCNA
Kim Jong UnFoto: Reuters

Anak Korea itu sering memakai pakaian training. Orangnya pendiam dan tidak menonjol. Namanya Un Pak. Dia disebut sebagai anak seorang pegawai Kedutaan Besar Korea Utara. Tahun 1997, dia masuk kelas 6 di Sekolah Dasar Liebefeld-Steinhoelzli-Schule dekat kota Bern.

Salah satu teman sekolahnya dulu, Joao Micaelo, menceritakan pada harian Swiss Tagesanzeiger, Un Pak pernah membuat pengakuan. "Saya sebenarnya bukan anak Duta Besar, tapi anak Presiden.“ Lalu Un Pak menunjukkan foto dirinya bersama Presiden Korut saat itu, Kim Jong Il. Un Pak bersekolah sampai tahun 2001, setelah itu ia menghilang.

Micaelo merasa yakin, teman sekolahnya adalah Kim Jong Un. Tapi sampai sekarang tidak ada konfirmasi dari Korea Utara. Seorang ahli antropologi Swiss Raoul Perrot membandingkan foto sekolah Un Pak dengan foto aktual Kim Jong Un. Ada kecocokan 95 persen. Perrot yakin, Un Pak adalah Kim Jong Un.

Ketika muncul berita bahwa ia pernah bersekolah di Swiss, banyak pengamat di Barat berharap, hal ini akan punya pengaruh pada pandangan politik Kim Jong Un. Tapi itu tidak terjadi. Kim Jong Un memang senang dengan taman hiburan gaya Disneyland, namun ia juga ingin mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.

Diktator Berpendidikan Eropa

”Anak-anak diktator tidak datang ke Eropa untuk belajar demokrasi”, kata pengamat politik Günter Meyer. Mereka hanya mengenal gaya kehidupan barat dan mengenyam pendidikan yang cukup baik. Setelah itu mereka kembali lagi ke struktur lama di negaranya. ”Mereka berada dalam struktur kekuasaan. Siapa yang punya kecenderungan demokratis, akan merusak fundamen kekuasaan keluarganya sendiri.”

Syria's President Bashar al-Assad (3nd R ) in Damascus August 19, 2012 REUTERS/Sana
Penguasa Suriah Bashar al-Assad (tengah)Foto: Reuters

Profesor Johann Benos menulis buku ”20 Diktator Eropa” dan meneliti kehidupan para penguasa. Yang berperan besar adalah pendidikan dalam keluarga. ”Peran terpenting adalah sikap ayahnya.” Kebanyakan diktator mengalami kekerasan pada masa kecilnya. "Mereka mengalami brutalitas ayahnya. Di lain pihak, mereka mencontoh sikap kekerasan itu.“ Sistem pendidikan yang humaniter tidak bisa mengubah banyak.

Contohnya adalah Bashar al Assad. Ia pernah mengenyam pendidikan kedokteran di London. Ketika mengambil alih kekuasaan, banyak pihak berharap, ia akan melakukan reformasi. ”Dia dianggap bisa membawa demokrasi dan menjadi penguasa yang liberal” kata Günter Meyer. ”Tapi dia segera menyadari bahwa dengan tekanan dinas rahasia, tidak ada kemungkinan melakukan gebrakan tanpa merusak kepentingan klan Assad.” Jadi dia melanjutkan gaya otoriter ayahnya.

Anak bekas diktator Lybia Gaddafi, Saif al-Islam, juga pernah kuliah di London School of Economics. Bahkan ia menulis disertasi tentang Peran Masyarakat Sipil Dalam Institusi Pemerintahan. Namun ketika ia kembali ke Libya, ia berusaha mempertahankan kekuasaan keluarganya dan mengandalkan kekuatan senjata .

Hubungan Ekonomi

Bagi negara-negara Eropa, datangnya anak-anak para diktator cukup menguntungkan secara ekonomis. ”Karena mereka bisa membangun jaringan. Ekonomi Jerman juga beruntung bisa mendapat banyak order”, kata Günter Meyer.

Anak-anak para diktator membangun jaringan ekonomi di Eropa, tapi mereka tidak terlalu peduli dengan demokrasi. Belajar di Eropa memang tidak membuat seorang penguasa menjadi lebih manusiawi. Buktinya, pemimpin Khmer Merah Pol Pot pernah belajar di Universitas Sorbonne yang terkenal. Di Kamboja ia menjadi pembunuh massal.

Tapi banyak juga mahasiswa asing bisa belajar tentang demokrasi di Eropa. ”Banyak mahasiswa dari negara Arab yang sekarang berperan merintis liberalisasi dan demokratisasi di negaranya”, ujar Günter Meyer.