1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cara Cina Intimidasi Warga Uighur di Luar Negeri

William Yang
15 Juli 2019

Warga Uighur yang tinggal di AS dan Eropa mengungkapkan pada DW bahwa pihak berwenang Cina menarget anggota keluarga mereka yang tinggal di Cina, untuk menekan aktivisme mereka di luar negeri.

https://p.dw.com/p/3M5Mf
China Polizei in Xinjiang
Foto: Getty Images/AFP/J. Eisele

Setidaknya 1,5 juta warga Uighur dan minoritas muslim lainnya diperkirakan ditahan di "kamp reedukasi" di Daerah Otonomi Xinjiang Cina, di ujung barat laut negara itu. Laporan menunjukkan bahwa banyak dari orang-orang ini menghilang begitu saja dari rumah mereka.

Cina menggambarkan kamp-kamp reedukasi ini sebagai "pusat pelatihan kejuruan" atau "sekolah berasrama," sambil mempertahankan program tersebut sebagai perjuangan melawan "ekstremisme Islam." Pengamat HAM mengatakan hal itu adalah bentuk "pembersihan etnis."

Dan sekarang menurut mereka, ada bukti bahwa Cina menekan komunitas Uighur yang tinggal di luar negeri agar mereka tidak berbicara menentang penahanan massal orang Uighur di Xinjiang.

Warga Uighur yang melarikan diri ke AS dan Eropa mengatakan kepada DW bahwa pihak berwenang Cina berusaha menekan aktivisme komunitas Uighur di luar negeri dengan mencari anggota keluarga yang masih tinggal di Cina. Aktivis mengatakan bahwa anggota keluarga mereka yang dibebaskan meminta mereka untuk tidak memprotes program interniran.

Ferkat Jawda
Ibu dari Ferkat JawdatFoto: privat

Penderitaan seorang ibu

Ferkat Jawdat, seorang warga Uighur berusia 26 tahun yang tinggal di negara bagian Virginia, AS, mengatakan kepada DW bahwa pemerintah Cina telah berusaha menggunakan beberapa anggota keluarga sebagai "sandera" untuk membungkam aktivisme-nya.

Ayah Jawdat mengajukan permohonan suaka di AS pada  tahun 2006, dan Jawdat serta saudara-saudaranya bergabung dengan ayah mereka pada tahun  2011. Ferkat Jawdat sekarang adalah warga negara AS. Namun, ibunya tidak memiliki paspor Cina. Meskipun telah berulang kali mencoba, permintaannya tetap ditolak. Tidak ada penjelasan resmi dari pihak berwenang atas penolakan tersebut.

Jawdat mengatakan bahwa ibunya, yang tinggal di kota Yining di Xinjiang, pertama kali dikirim ke kamp reedukasi selama 22 hari pada akhir tahun 2017, setelah dua pamannya juga ditahan.

"Pada bulan November 2017, ibu saya memberi tahu saya dalam sebuah pesan WeChat bahwa dia akan pergi ke 'sekolah' untuk belajar, dan dia meminta saya untuk tidak khawatir tentang dia karena banyak orang yang dia kenal juga ada di 'sekolah' itu," kata Jawdat. "Dia akhirnya ditahan selama 22 hari."

Setelah dibebaskan, Jawdat mengatakan bahwa ibunya mulai menghindari percakapan tentang keberadaan pamannya, dan pada suatu kesempatan, dia memberi tahu anggota keluarganya di AS bahwa dia melanggar hukum dengan berbicara kepada mereka di telepon.

Pada bulan Februari 2018, ibu Jawdat mengatakan kepadanya bahwa dia akan kembali ke "sekolah".  "Dia mengatakan kepada saya bahwa dia tidak tahu kapan dia akan kembali," kenang Jawdat. "Itu terakhir kali saya mendengar kabar darinya untuk waktu yang sangat lama."

Setelah penahanan kedua ibunya di kamp reedukasi, Jawdat mulai secara aktif berbicara tentang keadaan menyedihkan yang ia dan keluarganya lalui.

Dia dan tiga orang Uighur lainnya bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada Maret 2019. Namun, dia mengatakan berita ini sampai ke Cina dan itu membuat bibi dan pamannya dipindahkan dari kamp interniran ke penjara di Xinjiang.

"Beberapa anggota keluarga mengatakan kepada saya bahwa saya harus menghentikan apa yang saya lakukan atau saya tidak akan pernah melihat ibu saya lagi," katanya. "Ini bukan pertama kalinya pemerintah Cina mencoba mengancam melalui anggota keluarga saya."

Tetapi Jawdat terkejut oleh panggilan telepon dari ibunya pada Mei 2019. Dia mengatakan kepadanya bahwa dia telah dibebaskan dan menghabiskan waktu beberapa minggu dengan ibunya (nenek Jawdat).

Para pekerja berjalan di depan "pusat pelatihan kejuruan" di Dabancheng, Xinjiang, Cina
Para pekerja berjalan di depan "pusat pelatihan kejuruan" di Dabancheng, Xinjiang, CinaFoto: Reuters/T. Peter

Jawdat mengatakan kisah ibunya sangat mirip dengan kisah yang diceritakan oleh warga Uighur lain yang pernah berada di kamp.

"Dia bilang dia belajar bahasa Mandarin di 'sekolah'," kata Jawdat. "Dia menekankan bahwa dia diperlakukan dengan baik dan senang bahwa dia akhirnya bisa berbicara dengan saya dalam bahasa Mandarin."

Selain "memuji" kamp reedukasi, ibu Jawdat juga memintanya untuk berhenti berbicara dan mengingatkannya untuk tidak menjadi bagian dari organisasi yang menentang pemerintah Cina."Dia mengatakan kepada saya bahwa pemerintah kita memperlakukan semua orang dengan sangat baik, dan bahwa dia senang dia bisa belajar di sekolah," katanya.

Tetapi beberapa hari setelah percakapan pertama mereka dalam 15 bulan, Jawdat menerima berita bahwa ibunya telah dimasukkan kembali ke kamp, ​​satu hari setelah percakapan telepon mereka. "Saya merasa dikhianati oleh pemerintah Cina karena mereka berusaha menggunakan ibu saya untuk membungkam saya. Ini membuat saya merasa tidak bisa mempercayai siapa pun, bahkan ibu saya," katanya, seraya menambahkan bahwa ia justru lebih termotivasi untuk terus berbicara tentang penahanan ibunya."Saya harus melakukan apa yang saya bisa lakukan untuk menyelamatkan ibu saya."

Dikirim ke 'program kesatuan etnis'

Sarah dan Anna (nama diubah untuk melindungi identitas) adalah dua saudara kandung etnis Uighur dari satu desa di Xinjiang. Mereka meninggalkan Cina tahun lalu, dengan Sarah pindah ke AS dan Anna ke Eropa. Anna mengatakan bahwa dia meninggalkan Cina karena dia tidak lagi merasa aman, sementara Sarah pergi untuk bekerja.

Pertama kali mereka kehilangan kontak dengan orang tua mereka adalah pada November 2018, setelah pesan WeChat mereka tidak dijawab. Mereka curiga orang tua mereka dibawa ke kamp. Kemudian Sarah menerima panggilan telepon.

"Seorang pekerja komunitas bertanya kepada saya apakah saya tahu mengapa orang tua saya dikirim ke kamp, ​​dan saya mengatakan kepadanya bahwa yang saya tahu adalah bahwa saya tidak dapat mengontak mereka lagi," katanya kepada DW. "Ketika saya terus bertanya kepadanya tentang keberadaan orang tua saya, dia hanya memberi tahu saya bahwa ayah saya tampaknya ditahan karena mengemudi dalam keadaan mabuk."

Sarah mengatakan panggilan itu mengkonfirmasi spekulasi bahwa orangtua mereka telah dikirim ke kamp reedukasi di Xinjiang. Dia mencoba selama berbulan-bulan namun gagal untuk mengontak orang tuanya. Hingga akhirnya saudara perempuannya, Anna, berhasil menghubungi ayah mereka melalui telepon pada bulan Maret 2019.

 

Selama percakapan, sang ayah memberi tahu Anna bahwa dia telah "tinggal di desa" dan sangat sibuk dengan "program kesatuan etnis" yang dirancang oleh Partai Komunis Cina (PKC). Program ini menugaskan anggota partai PKC untuk tinggal bersama dan memantau keluarga Uighur di Xinjiang. Di hari itu juga, Anna berbicara dengan orang tuanya untuk pertama kalinya sejak November 2018 melalui video call.

"Saya hampir menangis ketika melihat orang tua kami di video, karena ibu kami menjadi sangat pucat dan kurus, sementara ayah kami mencukur habis semua rambutnya," kata Anna. "Bagi saya, itu adalah tanda yang sangat jelas bahwa mereka dikirim ke kamp reedukasi, jadi saya tidak perlu bertanya langsung kepada mereka tentang hal itu."

'Hapus semuanya'

Sejak Maret, Sarah dan Anna dapat melakukan obrolan video dengan orang tua mereka di Tiongkok secara reguler. Mereka melihat bagaimana orang tua mereka juga dapat mengundang tamu ke rumah mereka atau mengunjungi kerabat lainnya. Namun, setelah mengobrol, orang tua mereka mengingatkan mereka untuk menghapus sesuatu yang politis yang mungkin mereka bagikan secara online. "Mereka berulang kali memberi tahu kami bahwa semuanya telah berjalan baik bagi mereka di Xinjiang, jadi kami tidak boleh membagikan apa pun secara online," kata Sarah.

Namun, setelah video keduanya yang menceritakan kisah orang tua mereka dipublikasikan secara online, nada percakapan berubah secara drastis. Anna mengatakan ibunya menuntut agar mereka menarik kembali laporan itu. Sang ibu juga menyalahkannya karena tidak menghapus apa pun secara online dan tiba-tiba mengakhiri panggilan video. "Ibu saya terus mengatakan betapa indahnya kehidupan mereka, dan bertanya mengapa kami mengatakan sesuatu seperti itu di kamera untuk merusak kehidupan damai mereka di Xinjiang," katanya.

Hari berikutnya, ketika dia sedang dalam perjalanan ke tempat kerja, ayah Anna meneleponnya lagi dan memintanya untuk segera pulang dan menghapus semua yang dia bagikan secara online."Ayah saya menangis di video dan meminta saya untuk menghapus semuanya segera," katanya. "Namun, aku tahu aku tidak bisa memenuhi tuntutan ayahku, karena melakukan itu berarti aku memenuhi tuntutan pemerintah Cina."

Kedua saudari itu tidak mendengar kabar dari orang tua mereka selama beberapa minggu, dan Sarah bahkan dihapus dari daftar kontak WeChat mereka. Sejak saat itu, Anna melanjutkan komunikasi rutin dengan orang tuanya, sementara Sarah masih tidak dapat membuat orang tuanya mau berbicara dengannya melalui video call.

"Bahkan ketika kami bertengkar, orang tua saya tidak akan pernah menghapus saya dari WeChat mereka," kata Sarah. "Saya tahu mereka dipaksa oleh pemerintah Cina untuk melakukannya, jadi saya tidak benar-benar marah pada mereka lagi."

 

Cina terlalu 'kuat' untuk diubah

Jawdat di Virginia mendengar kabar dari ibunya lagi pada akhir Mei setelah dia dibebaskan lagi dari kamp interniran. Dia telah berbicara dengannya secara teratur sejak itu, dan sang ibu terus menuntut agar Jawdat menghentikan kegiatannya. Jawdat masih berbicara, meskipun ia mengakui bahwa ibunya hidup di bawah pengawasan ketat. "Ada dua kamera pengintai yang dipasang di luar kediaman pamanku, dan tidak ada yang bisa dengan mudah mengunjunginya," kata Jawdat. "Seorang petugas PKC bahkan mencoba meyakinkan saya untuk mengunjungi Xinjiang, tetapi kemudian mengatakan kepada saya bahwa Cina adalah negara yang kuat dan apa yang telah saya lakukan tidak akan membawa banyak perubahan."

Rian Thum, seorang sarjana Xinjiang terkemuka di Universitas Nottingham di Inggris, mengatakan kepada DW bahwa pihak berwenang di Xinjiang dikenal menggunakan taktik intimidasi yang serupa dengan yang dialami Jawdat, Sarah dan Anna. "Ada beberapa kasus di mana orang-orang yang keluar dari kamp interniran diberitahu untuk tidak membicarakan pengalaman mereka atau menandatangani dokumen yang menjanjikan mereka tidak akan mengungkapkan apa yang terjadi pada mereka," kata Thum.

Setelah Anna berbagi berita secara online tentang orang tuanya yang dibebaskan dari kamp interniran, beberapa pengguna Twitter memuji kisahnya sebagai kisah sukses. Namun, dia tidak setuju dengan penilaian tersebut dan mengatakan orang tuanya masih hidup dalam kondisi yang tidak aman. "Saya pikir kasus saya adalah kasus yang tidak berhasil, karena orang tua saya masih belum benar-benar bebas setelah dibebaskan dari kamp," katanya. "Hanya karena kita menerima panggilan telepon dari keluarga, atau anggota keluarga dibebaskan, tidak berarti kasus itu berhasil. Kita perlu memahami bahwa ini bukan perjuangan yang akan berakhir dalam waktu dekat."

na/ap