1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apa Kata Media Tentang Krisis Pengungsi Rohingya?

18 Mei 2015

Media di Asia Tenggara melontarkan kecaman keras terhadap pemerintahan di kawasan itu, karena menolak bertanggung jawab untuk keselamatan pengungsi yang berada di tengah laut di wilayah teritorial mereka.

https://p.dw.com/p/1FRUt
Zeitungen Indonesien
Foto: AP

Sejumlah surat kabar Asia Tenggara mengeritik sikap pemerintah Malaysia, Thailand dan Indonesia menghadapi krisis kemanusiaan pengungsi Rohingya, yang telah berlangsung selama beberapa hari. Para pengungsi menjadi korban pelaku perdagangan manusia dan kini terkatung-katung di tengah laut dalam kondisi sangat memperihatinkan.

Awal bulan ini, tiga kapal yang membawa lebih dari 1.000 pengungsi mendarat di pulau wiasata Malaysia, Langkawi. Lebih seribu orang juga sudah ditampung di berbagai tempat di Aceh. Tapi diperkirakan masih ada sampai 6.000 pengungsi yang tertahan di laut, termasuk perempuan dan anak-anak, karena ditolak memasuki wilayah perairan Thailand, Malaysia atau Indonesia, padahal kondisi para pengungsi sudah sangat darurat dan banyak yang sudah mati kelaparan.

Harian Bangkok Post dalam tajuknya menulis: "Sebuah konferensi internasional yang akan digelar di Bangkok 29 Mei mendatang dan diprakarsai oleh Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha mungkin hanya akan jadi ajang saling tuding dan tunjuk-menunjuk. Permainan saling menyalahkan akan terus berlangsung."

Koran ini juga mengeritik Myanmar yang tidak mau mengirim delegasi untuk pertemuan itu. "Tidak ada delegasi dari Presiden Thein Sein dan pemerintahan di Nay Pyi Taw yang akan hadir dalam konferensi di Bangkok. Sekali lagi, pemerintah Myanmar tidak hanya berusaha menghindar dari masalah yang disebabkannya sendiri. Myanmar menyalahkan para pengungsi dan sindikat perdagangan manusia, dan malah melihat dirinya sebagai korban."

Konflik berkepanjangan

Di Myanmar, etnis Rohingya terutama tinggal di negara bagian Rakhine. Mereka tidak diakui oleh pemerintah Myanmar sebagai warga negara. Selama puluhan tahun mereka mengalami diskriminasi dan kekerasan oleh kelompok mayoritas yang beragama Buddha.

Bildergalerie - Thailand schleppt Flüchtlingsschiff auf das offene Meer zurück
Foto: Getty Images/Afp/C. Archambault

Ribuan Rohingya dari Myanmar dan Bangladesh lalu mencoba segala cara untuk melarikan diri dari Myanmar dan mencapai Malaysia dan Indonesia. Badan pengungsi PBB UNHCR memperkirakan, dalam tiga bulan pertama 2015 ada sekitar 25.000 etnis Rohingya yang mengungsi naik kapal. Ini dua kali lipat dari jumlah pada periode waktu yang sama di tahun 2014.

Mengenai konflik itu Bangkok Post menulis: "Rohingya tidak punya hak sebagai warga negara, mereka dilecehkan dan lebih buruk lagi, mereka jadi korban kekerasan karena agama mereka. Kondisi inilah yang membuat ernis Rohingya melarikan diri."

Di mana ASEAN?

Harian Jakarta Globe yang terbit di Jakarta menulis: "Seminggu terakhir telah menjadi minggu yang memalukan bagi siapa saja yang menganggap diri mereka warga ASEAN, sebuah kelompok regional yang sering digembar-gemborkan oleh pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat di kawasan itu."

Kebijakan non-intervensi yang diterapkan ASEAN selama ini mengundang kritik tajam. Sejumlah komentator menilai, ASEAN sedang berusaha lari dari tanggung jawabnya dalam krisis pengungsi ini.

"Krisis kemanusiaan ini mendatangkan citra yang negatif terhadap ASEAN" tulis Khoo Ying Hooi di portal berita Malaysia, The Malaysian Insider. "Insiden ini menunjukkan kembali inti dari banyak masalah di ASEAN, dan menjadi tekanan besar pada blok regional ini untuk memikirkan kembali prinsip non-intervensi dalam urusan internal di negara-negara tetangga," tambahnya.

"Krisis Rohingya bukan masalah baru di ASEAN. Selama beberapa dekade, ASEAN menutup mata terhadap nasib Rohingya."

Harian The Jakarta Post menuntut: "ASEAN harus segera menyatukan sumber daya untuk membangun tempat penampungan yang memadai - dengan dukungan dari masyarakat internasional - mengingat berbagai pengalaman mereka dalam penanganan bencana."

Masalah inti

Media di Asia Tenggara juga meminta ASEAN menekan pemerintah Myanmar untuk mengatasi penderitaan etnis Rohingya. Tapi Myanmar balik menuduh Thailand telah menyebabkan krisis ini.

Jakarta Globe menulis: "Thailand, Malaysia dan Indonesia bisa saja berargumentasi bahwa mereka bukan pihak yang menyebabkan krisis ini. Tapi selama mereka terus berdiam diri tentang diskriminasi sistematis yang dilakukan pemerintahan Myanmar terhadap etnis Rohingya - klaim yang ditolak oleh otoritas Myanmar - maka ASEAN harus ikut bertanggung jawab atas penderitaan orang-orang ini".

Khoo Ying Hooi menyimpulkan di Malaysia Insider: "Keengganan Myanmar untuk secara terbuka mendiskusikan masalah ini adalah kendala terbesar ASEAN untuk mencapai posisi bersama." Selanjutnya ia menulis: "Adalah kewajiban moral dari negara-negara anggota ASEAN untuk menemukan cara-cara untuk solusi berkelanjutan bagi masalah Rohingya dan memastikan hal itu akan masuk dalam agenda pertemuan ASEAN."