1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Apa Sebetulnya Syndrom Kawasaki?

19 Mei 2020

Virus corona yang menginfeksi anak-anak kebanyakan tidak menunjukkan gejala sakit berat. Tapi belakangan ini makin banyak dilaporkan kasus sakit berat pada anak yang mirip sindrom Kawasaki.

https://p.dw.com/p/3cT6g
Symbolbilder Kinder mit Mundschutzmasken
Foto: picture-alliance/abaca/A. Marechal

Gejala radang misterius, berupa peradangan pembuluh darah, demam tinggi selama beberapa hari dan bercak merah pada kulit, belakangan ini makin banyak diidap anak-anak yang dikirim ke rumah sakit di saat pandemi Covid-19.  

Gejala lain yang dikeluhkan dan diamati tenaga medis adalah sakit perut atau lambung, vaskulitis atau radang pembuluh darah yang bisa memicu radang jantung, pembengkakan kelenjar limfa, pembengkakan lidah, bibir pecah-pecah dan radang selaput mata. Sindrom peradangan beragam itu bisa memicu kegagalan fungsi organ tubuh penting. 

Terutama pada kelompok umur pasien antara 5 hingga 14 tahun, kini makin banyak dilaporkan munculnya gejala sakit berat semacam itu, yang mirip sindrom Kawasaki. Sejumlah pakar mengkaitkan kasusnya kemungkinan berkorelasi dengan infeksi SARS-Cov-2. Namun gejala mirip sindrom Kawasaki itu juga bisa dipicu empat jenis virus SARS lainnya yang sudah dikenal atau virus Rhino.

Mengapa disebut sindrom Kawasaki?

Sindrom penyakit multiradang itu mula-mula diamati dan dilaporkan oleh dokter anak Tomisaku Kawasaki dari rumah sakit Palang Merah di Tokyo pada tahun 1967. Kawasaki mengamati kasus langka pertamanya tahun 1961, pada seorang pasien anak berusia 4 tahun, yang gejalanya tidak bisa dikategorikan pada penyakit yang sudah dikenal. Dalam kurun waktu 6 tahun berikutnya, dokter ahli pediatri ini mengamati dan menangani sejumlah kasus serupa.

Laporan ilmiah Kawasaki di sebuah jurnal ilmiah Jepang dari tahun 1967 ditindaklanjuti pemerintah di Tokyo pada 1970 dengan membentuk komisi penelitian yang dipimpin Kawasaki. Karena itulah istilah sindrom Kawasaki mencuat.

Penyakit ini oleh WHO digolongkan langka, dengan prevalensi hanya rata-rata 10 kasus per 100.000 anak. Berdasarkan penelitian, penyakit peradangan berat pada anak-anak, terutama menyerang balita. Efek merugikan pada organ tubuh bisa bersifat permanen, jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat.

Diagnosa dan pengobatan  

Namun di saat pandemi Covid-19, para dokter melaporkan adanya peningkatan drastis sindrom Kawasaki, yang oleh WHO digolongkan penyakit langka. Di seluruh Eropa dilaporkan 230 kasus pada anak hingga usia 14 tahun, sementara di kawasan titik panas virus corona di AS, yaitu New York, para dokter melaporkan lebih dari 500 kasus.

Dokter anak Sunil Sood dari rumah sakit anak-anak Cohen di New York melaporkan, sekitar separuh dari pasien ank-anak yang dirawat di rumah sakitnya, harus dipindahkan ke ruang perawatan intensif, akibat peradangan otot jantung yang mirip sindrom Kawaski. 

"Anak-anak pada awalnya melawan virus dalam tubuhnya. Tapi belakangan, diduga muncul reaksi imunitas berlebihan yang dipicu Covid-19", ujar dokter Sood, yang memperkirakan penyebabnya. Kalangan medis menyebutnya sebagai sindrom peradangan multi sistem atau MIS-C. 

Pengobatan pada sindrom Kawasaki harus diberikan sedini mungkin, untuk mencegah kerusakan permanen organ tubuh. Para dokter biasanya memberikan obat kombinasi imunoglobulin, asam salisilat dan atau kortiskosteroid. Target pengobatan terutama untuk mengurangi radang dan mencegah mengerutnya arteri jantung.

as/ml   (afp,dpa)