1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Memilih Nasionalisme atau Idealisme

24 November 2018

Bagi mereka yang tidak setuju dengan Indonesia sebagaimana Indonesia saat ini, bukankah lebih baik jika melepas status WNI? Bagaimana pandangan Anda? Ikuti opini Monique Rijkers.

https://p.dw.com/p/36MTb
Tag der indonesischen Unabhängigkeitserklärung am 17. August 1945
Foto: Getty Images/E. Purnomo

Sudah tujuh belas tahun Asnawi Ali meninggalkan tanah kelahirannya Aceh, provinsi paling ujung barat di Indonesia. Terinspirasi oleh cerita perjuangan para tokoh Aceh seperti Tengku Hasan Tiro, selain Asnawi Ali kuliah di Universitas syah Kuala, Banda Aceh, mahasiswa ini menjadi penghubung antara jurnalis asing dengan aktivis Gerakan Aceh Merdeka, GAM.

GAM inilah yang membuat Soeharto pada1989 menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Saat Soeharto jatuh tahun 1998, status DOM dicabut. Namun pada Mei 2003 Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai presiden kembali memberlakukan DOM selama enam bulan.

Dekat dengan GAM membuat Asnawi Ali, pria kelahiran Pidie, kawasan yang disebut-sebut sebagai kantong GAM itu menjadi incaran militer Indonesia yang menurut kabar akan menangkapnya, sehingga ia terpaksa melarikan diri ke Medan, lalu ke Malaysia. Asnawi Ali lalu tinggal di Penang, Malaysia diberikan atap untuk hidup selama dua tahun atas kebaikan satu keluarga orang Malaysia.

Setelah mendapat identitas sebagai pengungsi, Asnawi Ali mendapat suaka dari Badan Pengungsi PBB (UNHCR) dan ditempatkan di Norwegia, negara asing yang sama sekali tak dikenalnya. Dua tahun di Norwegia, Asnawi Ali kemudian pindah ke Swedia tahun 2005 karena menikah dengan seorang perempuan Aceh yang berdomisili di sana.

Penulis: Monique Rijkers
Penulis: Monique RijkersFoto: Monique Rijkers

Melepas WNI Demi Aceh

Keputusan Asnawi Ali untuk meninggalkan Indonesia memang politik tetapi pilihannya untuk melepas kewarganegaraan Indonesia sesungguhnya karena idealisme. Butuh sepuluh tahun untuk Asnawi Ali menjadi warga negara Swedia, dengan segala persyaratan dan lika-likunya. Asnawi Ali menilai di Swedia lebih banyak generasi muda Aceh muda ketimbang generasi tua yang banyak di Norwegia.

Jejak kejahatan perang selama DOM 1990-1998 turut memotivasi generasi muda Aceh memilih diaspora. Menurut hasil penyelidikan Komnas HAM tahun 2013, terdapat lokasi pembantaian massal di Bumi Flora, Aceh Timur, Simpang KKA di Aceh Utara serta kuburan massal di Bener Meriah dan tempat penyiksaan di Rumah Geudong di Pidie.

Hidup sebagai diaspora dan akhirnya mengubah kewarganegaraan dianggap sebagai opsi terbaik untuk memperjuangkan Aceh yang terpisah dari Indonesia terutama lewat pendidikan dan membangun kesadaran akan nasionalisme Aceh.

Bahkan upaya ini dilakukan dengan unjuk rasa, pemuatan surat terbuka berisi kritik atas pidato Presiden Joko Widodo tentang sejarah Aceh di depan Parlemen Inggris. Sejak konflik Aceh-Indonesia memanas tahun 1980-an, Asnawi Ali menjawab pertanyaan penulis melalui surat elektronik, sudah ribuan orang Aceh meninggalkan Indonesia dan memilih menjadi warga negara asing.

Meski tidak ada jumlah pasti, diaspora Aceh terbesar ada di Malaysia. Peminat status warga negara Malaysia asal Indonesia (bukan Aceh saja) mencapai 38 ribu orang sejak Malaysia merdeka tahun 1957 hingga Januari 2016.

Dari Menlu OPM Menjadi Diplomat Indonesia

Berbeda dengan Asnawi Ali yang bukan anggota GAM, Nick Messet adalah Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka yang memilih pulang setelah 40 tahun berjuang demi Papua Merdeka dan menjadi warga negara Swedia. Sebagai putra asli Papua, Nick Messet adalah seorang pilot berdarah Papua pertama, lulusan Cessnock, New South Wales, Australia yang bekerja untuk maskapai Papua Nugini.

Ayahnya adalah Bupati Jayapura periode 1976-1982. Kelebihannya sebagai pilot tak membuatnya bangga dan status sebagai anak pejabat tak membuat Nick Messet betah bersama Indonesia. Kegiatan Nick Messet lebih banyak untuk mendorong referendum di Papua. Hingga akhirnya tahun 2007, Nick Messet memutuskan untuk kembali menjadi bagian dari Indonesia. Saat bertemu di Jayapura, Papua Juni silam, Nick Messet berkata, "Kita sekarang bangun Papua, kalau kita berjuang, kita bisa mati.” Tersirat kritik Nick Messet pada cara-cara perjuangan dengan senjata yang hanya akan membawa korban jiwa.

Saat pertemuan kami yang kedua kali, Nick Messet dengan semangat menceritakan upaya-upaya yang ia lakukan dalam membangun hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Pasifik. Peran Nick Messet dahulu sebagai Menlu OPM dalam merangkul negara-negara di kawasan Pasifik kini digunakan untuk kepentingan diplomasi Indonesia.

Tak heran sejak pertengahan 2018, Nick Messet ditetapkan sebagai Konsul Kehormatan dari Indonesia untuk Nauru. Selama ini negara-negara di Pasifik seperti Nauru, Kepulauan Marshall, Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga serta Papua Nugini dipandang menjadi target untuk meraih dukungan bagi ide kemerdekaan Papua melalui referendum karena kesamaan ras yakni Melanesia. Tentu saja pengangkatan tersebut akan melegitimasi keIndonesian seorang Nick Messet yang sebelumnya sangat militan dalam mendukung Papua Merdeka.

Lebih Idealis Asnawi Ali atau Nick Messet?

Akankah Asnawi Ali menempuh jalan hidup seperti Nick Messet yang kembali menjadi warga negara Indonesia? Secara hitungan tahun, Asnawi Ali baru 17 tahun meninggalkan Indonesia sedangkan Nick Messet sudah 40 tahun. Bisa jadi, kadar idealisme Asnawi Ali masih tinggi.

Tingkat konsistensi Asnawi Ali, pria kelahiran tahun 1978 ini belum surut dan semangat perjuangannya masih tersedia dalam porsi besar. Sementara bagi Nick Messet, idealisme akan Papua yang independen telah digantikan dengan nasionalisme yang diwujudkan dalam bentuk semangat membangun Papua. Nick Messet sudah mengubur mimpi Papua Merdeka, sedangkan Asnawi Ali masih mengejar mimpi Aceh Merdeka.

Melepas status WNI karena ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik, pernikahan atau keselamatan diri biasanya tidak menimpulkan pro-kontra.

Namun jika melepas kewarganegaraan berkaitan demi mewujudkan sebuah idealisme yang menjadi petaruhan masa depan seperti kemerdekaan wilayah, tentu bukan pilihan mudah.

Namun adalah lebih terhormat menolak menjadi warga negara Indonesia karena menentang kebangsaan Indonesia daripada melawan Indonesia saat berstatus sebagai warga negara. Berjuang dari "luar arena” lebih masuk akal untuk ditempuh ketimbang merusak dari "dalam arena”. Berjuang dari dalam umumnya rawan konflik dan berpotensi menggunakan kekerasan, baik oleh pendukung kemerdekaan maupun pro-NKRI.

Jika kita menerapkan saran agar melepas status WNI dalam konteks Indonesia saat ini menjadi mudah dimaklumi. Sejumlah tokoh berpendapat Gerakan #2019GantiPresiden adalah gerakan makar karena menginginkan ganti sistem yang bertentangan dengan NKRI, dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Bagi mereka yang tidak setuju dengan Indonesia sebagaimana Indonesia saat ini, bukankah lebih baik jika melepas status WNI. Tak ada gunanya mempertahankan kewarganegaraan Indonesia jika berpotensi menciptakan konflik horizontal di tengah masyarakat.

Berjuang demi kemerdekaan atau penerapan khilafah adalah pilihan yang bebas dilakukan oleh setiap warga negara Indonesia namun idealnya Anda mencopot status WNI Anda itu dulu. Itulah yang dilakukan Asnawi Ali. Ia melepaskan kewarganegaraan Indonesia karena ingin berjuang demi Aceh Merdeka tanpa menciptakan konflik antara masyarakat Aceh dan aparat penegak hukum. Tirulah Asnawi Ali yang pergi dari Indonesia jika Anda ingin mendirikan khilafah.

@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.