1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apakah ASEAN Memenuhi Komitmen Iklimnya?

Emmy Sasipornkarn
29 Oktober 2021

Asia Tenggara sadar betul tingkat risiko yang dihadapi, sebagai salah satu kawasan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Tapi apakah tindakan yang diambil mencukupi untuk mengatasi masalah ini?

https://p.dw.com/p/42Hye
Seorang warga menerjang banjir menggunakan sepeda di Jakarta
Menurut survei, orang Asia Tenggara memandang hujan badai dan banjir yang intens sebagai dampak paling serius dari pemanasan globalFoto: Arya Manggala/Xinhua/picture alliance

Bicara pemanasan global, Asia Tenggara adalah salah satu kawasan di dunia yang paling rentan terkena dampaknya. Seperti diperingatkan dalam laporan terbaru Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), kawasan ini sedang menghadapi kenaikan permukaan laut, gelombang panas, kekeringan, dan badai hujan yang semakin intens.

"Studi terbaru memperkirakan, hingga 96% kawasan ASEAN kemungkinan akan terkena dampak kekeringan dan hingga 64% terkena dampak kekeringan ekstrem,” kata Benjamin P. Horton, direktur Earth Observatory of Singapore di Nanyang Technological University, kepada DW.

"Kenaikan permukaan laut di masa depan akan memengaruhi populasi, ekonomi, dan infrastruktur setiap negara pesisir,” tambahnya.

Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) dan pusat iklimnya pada September melaporkan, hampir 5 juta orang terkena dampak Topan Vamco yang melanda Filipina dan Vietnam pada November 2020. Sementara, 289 orang tewas dalam banjir yang disebabkan oleh badai tropis Linfa di Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam sebulan sebelumnya.

Sebuah survei iklim yang dilakukan oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute juga mengungkap, orang Asia Tenggara memandang hujan lebat dan banjir yang semakin intens sebagai dampak paling serius dari pemanasan global.

Kurangnya aksi konkret

Sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara telah berjanji mempercepat pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai bagian dari kesepakatan iklim Paris tahun 2015, yang tujuan utamanya adalah membatasi pemanasan hingga di bawah 2 derajat Celcius dibandingkan tingkat pra-industri.

Mereka juga telah mengesahkan undang-undang dan mengimplementasikan kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim. "Tapi masih banyak yang bisa dilakukan", kata Melinda Martinus, peneliti utama di ISEAS-Yusof Ishak Institute.

"Saya percaya akan ada lebih banyak perkembangan yang muncul dari kawasan ini karena bisnis dan pemerintah menghadapi tekanan untuk mengambil lebih banyak tindakan guna mengatasi perubahan iklim. Mudah-mudahan, [tindakan] itu akan jauh lebih ambisius,” kata Martinus kepada DW.

Menurut Martinus, perubahan iklim telah berulang kali diidentifikasi di pertemuan-pertemuan ASEAN sebagai salah satu tantangan paling krusial di kawasan, tapi aksi nyata yang diambil untuk mengatasinya masih kurang.

"Visi-visi ini perlu diartikulasikan ke dalam program dan strategi yang lebih jelas dalam waktu dekat,” ujar Martinus.

Target nol-bersih Asia Tenggara

Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara dan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedelapan di dunia, Indonesia menargetkan emisi nol-bersih pada tahun 2060.

Indonesia memang memiliki rencana untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik pada tahun 2056 dan berjanji untuk tidak mengoperasikan pembangkit listrik batu bara tambahan.  Tapi realitanya, 60% kebutuhan tenaga listrik di Indonesia masih bersumber dari batu bara.

Sementara itu, Thailand dalam proposal barunya mengumumkan target netral karbon pada tahun 2065-2070. Negara gajah putih itu pada tahun 2015 juga telah berjanji mengurangi emisinya sebesar 20% pada tahun 2030.

Jika semua target itu tercapai, Thailand masih tertinggal 15-20 tahun di belakang timeline yang telah ditetapkan oleh PBB, termasuk mewujudkan nol emisi gas rumah kaca pada tahun 2050.

Vietnam di sisi lain masih belum menetapkan target nol-bersih. Meski begitu, negara tersebut sedang berupaya meningkatkan sumber energi terbarukan, serta meningkatkan undang-undang untuk membatasi penggunaan baru bara guna mengurangi emisi.

Singapura juga belum menetapkan target untuk mencapai emisi nol-bersih.

"Singapura menargetkan pengurangan emisi hingga 50% dari puncaknya pada tahun 2050, tapi tidak ada batas waktu pasti terkait target emisi nol-bersih,” kata Horton dari NTU.

Apakah target-target ini cukup?

Meskipun negara-negara di Asia Tenggara punya berbagai tingkat komitmen untuk mengatasi pemanasan global, menurut kelompok peneliti dari Climate Action Tracker, tindakan tersebut tidak cukup memenuhi janji yang dibuat di bawah kesepakatan iklim Paris.

"Climate Action Tracker menilai update NDC Indonesia dan Vietnam secara keseluruhan sangat tidak memadai. Sementara Singapura, sangat-sangat tidak memadai,” kata Martinus lebih lanjut.

"Sangat jelas bahwa negara-negara itu seharusnya menaikkan target yang lebih ambisius untuk membantu dunia membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius,” pungkasnya.

gtp/as