1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apakah Energi Air Punya Masa Depan?

Jeannette Cwienk
17 November 2021

Bendungan hidroelektrik selama ini dianggap metode paling efektif dan efisien untuk memproduksi energi terbarukan. Tapi musim kering dan curah hujan ekstrem seringkali melumpuhkan pembangkit.

https://p.dw.com/p/3zZY4
Air menyusut di bendungan Sao Paulo di Sungai Parana, 3 Juni 2021.
Air menyusut di bendungan Sao Paulo di Sungai Parana, 3 Juni 2021.Foto: Dario Oliveira/Zumapress/picture alliance

Sekali dibangun, pembangkit tenaga air bisa memproduksi listrik tanpa henti setiap saat – begitu dalih yang selama ini didengungkan untuk mendukung ekspansi energi air. Hingga 2019 lalu, lebih dari separuh energi terbarukan di dunia didapat dari bendungan hidroelektrik, lapor jejaring politik Prancis, Ren21.

Namun dengan bencana iklim yang kian terasa, energi air kehilangan argumen terbesarnya: yakni aliran air yang konsisten dan terukur. Bersamaan dengan datangnya musim kering panjang tahun ini, produksi energi air di dunia anjlok ke level terendah sejak beberapa dekade terakhir.

Situasi ini disimak pada Bendungan Hoover di atas Sungai Colorado. Kekeringan yang melanda barat AS menyusutkan level air di kolam penampungan menjadi hanya sepertiga. Sejak Juli silam, pembangkit listrik di bendungan harus mengurangi seperempat produksi dibanding situasi normal.

Nasib serupa dilaporkan terjadi di sepanjang Sungai Paraná yang mengalir melalui Brasil, Paraguay dan Argentina. Kawasan hulu di selatan Brasil sejak tiga tahun didera musim kering ekstrem. Dibanding rata-rata 20 tahun terakhir, level air di bendungan penampungan di pusat dan selatan Brasil dikabarkan berkurang separuh, dan kini hanya terisi sepertiganya saja.

Padahal Brasil menggantungkan 60 persen produksi listriknya pada bendungan hidroelektrik.

Tidak hanya kekeringan, curah hujan ekstrem dan banjir bandang juga dilaporkan melumpuhkan pembangkit listrik tenaga air. Pada Maret 2019, Siklon Idai merusak dua bendungan di Malawi dan melumpuhkan aliran listrik di penjuru negeri selama dua hari.

India juga kehilangan sejumlah bendungan ketika banjir bandang merangsek dari pecahan gletser dan menewaskan sekitar 200 orang di utara negara bagian Uttarakhand, Februari lalu. Menurut perkiraan awal, bencana dipicu proyek pembangunan bendungan yang membuat dinding gletser yang sudah rapuh menjadi tidak stabil.

Peringatan terhadap keamanan energi air

Saat ini energi air masih menjadi bagian dari strategi jangka panjang produksi listrik di berbagai negara berkembang, terutama di Asia dan Afrika.

Badan Energi Dunia (IEA) melaporkan, kebanyakan cetak biru pembangunan bendungan hidroelektrik di Afrika tidak menghitung dampak perubahan iklim. Asumsi yang sama berlaku bagi hampir semua bendungan yang telah memasuki usia tua. 

Sebab itu Thilo Papacek dari LSM Jerman, Gegenströmung, mengimbau agar negara berkembang lebih berhati-hati menyikapi energi air. Selain potensi bencana, bendungan juga mengubah ekosistem sungai secara permanen

"Tanpa kiriman sedimen dari hulu ke hilir, dasar sungai di balik bendungan akan semakin dalam, dan menyempit. Dalam kasus hujan deras, hal ini bisa menciptakan akumulasi energi dalam jumlah besar,” kata dia soal ancaman banjir bandang.

Namun demikian, Klement Tockner, direktur lembaga penelitian Masyarakat Penelitian Alam di Frankfurt, Jerman, mengakui "kita tidak bisa menghentikan produksi energi air di masa depan,” katanya.

"Tapi pertanyaannya adalah, di mana kita membangun, bagaimana kita ingin membangun dan bagaimana kita mengelola pembangkit listrik tenaga air di masa depan?” 

Pembangkit alami gantikan bendungan raksasa

Menurut Tockner, pembangkit listrik tidak seharusnya dibangun di kawasan lindung, atau di atas sungai dengan aliran yang masih alami. Selain itu, proyek bendungan harus diimbangi dengan renaturalisasi atau pembongkaran bendungan tua. 

Dia juga menganjurkan agar desain bendungan baru mempertahankan arus aliran air sebaik mungkin. Selain itu manajemen pembangkit listrik harus dibuat untuk meniru dinamika alami sungai.

"Artinya, kecepatan arus air tidak boleh dipengaruhi terlalu banyak, dan sungai harus punya volume air dan lahan basah yang mencukupi,” imbuh Stefan Uhlenbrook, ahli hidrologi di Institut Manajemen Air Internasional (IWMI). 

"Jika perlu, sedimen harus dipindahkan sesuai aliran alami secara mekanis,” tukasnya.

Menurut Uhlenbrook, bendungan-bendungan besar akan semakin tidak kondunsif di tengah krisis iklim. Secara umum, pembangkit listrik tenaga air akan dibuat lebih kecil, dengan sistem pengairan yang terdesentralisasi.

rzn/yp