1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apakah Moskow Akan Bersalaman dengan Taliban di Kabul?

Roman Goncharenko | Alexander Prokopenko
21 Agustus 2021

Berbeda dengan negara-negara Barat, Rusia bereaksi tenang menghadapi perebutan kekuasaan oleh Taliban di Afganistan. Kemungkinan Rusia juga akan mengakui kepemimpinan Taliban, seandainya menguntungkan.

https://p.dw.com/p/3zFqG
Anggota Taliban di Kabul
Anggota Taliban di KabulFoto: Rahmat Gul/AP/picture alliance

"Kami tidak khawatir," kata utusan khusus presiden Rusia untuk Afganistan, Samir Kabulov, ditanya soal reaksi Moskow terhadap pergantian kekuasaan di sana. Di saluran televisi pemerintah Russia-1, dia menekankan bahwa Rusia memiliki "hubungan baik" dengan bekas pemerintah Afganistan maupun dengan kelompok militan Taliban, sekalipun Taliban di Rusia dilarang dan terdaftar sebagai organisasi teroris.

Kedutaan Besar Rusia adalah salah satu dari sedikit perwakilan luar negeri di Kabul yang tidak dievakuasi. Dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio Echo of Moscow, Duta Besar Rusia untuk Afganistan Dmitry Zhirnov bahkan memuji Taliban dan mengatakan,  dalam pembicaraan soal keamanan kedutaan, pendekatan Taliban "baik, positif, seperti bisnis biasa."

Moskow memang lebih siap menghadapi perkembangan terakhir daripada Barat, kata Andrey Kazantsev, seorang ahli Afganistan dan direktur Pusat Analisis di Institut Hubungan Internasional Negara Moskow, MGIMO. "Rusia memang mempersiapkan lebih baik daripada yang lain," dia menegaskan.

Latihan militer gabungan Rusia-Tajikistan di perbatasan ke Afganistan
Latihan militer gabungan Rusia-Tajikistan di perbatasan ke AfganistanFoto: Press Service of the Central Military District/dpa/picture alliance

"Strategi Ganda" Moskow untuk Afganistan

Andrey Kazantsev mengatakan bahwa Kementerian Luar Negeri Rusia bekerja berdasarkan prinsip " tidak perlu mempertahankan Asia Tengah dengan kekuatan senjata." Rusia juga rajin berkonsultasi "dengan pemain regional utama seperti Cina, Iran, Pakistan, dan India." Dia menjelaskan, kontak diplomatik itu penting, karena ada risiko bahwa perang saudara baru akan pecah, dan Rusia serta Asia Tengah akan terkena dampaknya.

Wolfgang Richter, pensiunan kolonel di Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan SWP di Berlin, menjelaskan bahwa Rusia memang tidak pernah mengikuti "ilusi Barat" yang ingin membangun negara demokratis yang menghormati hak-hak perempuan. di Afganistan.

Pada bulan Juli, perwakilan Taliban diterima di Moskow, kata Richter, meskipun dia tidak percaya bahwa Moskow benar-benar santai melihat pengambilalihan Taliban. Moskow menjalankan "strategi ganda", jelasnya.

Di satu sisi, Rusia akan mencari kesepakatan dengan Taliban untuk mencegah kelompok militan itu mendukung al-Qaeda di Asia Tengah. Pada saat yang sama, Rusia akan memperkuat republik-republik Asia Tengah jika terjadi bentrokan di perbatasan mereka.

"Perasaan bercampur" di Moskow

Secara keseluruhan, kemenangan Taliban membuat khawatir Moskow, yang memiliki trauma tersendiri terkait Afganistan, yang berasal dari era Uni Soviet.

Menurut Andrey Kazantsev, peristiwa baru-baru ini di Afganistan dianggap di Moskow sebagai "Vietnam kedua." Namun, Kremlin tetap prihatin, karena kemenangan Taliban berpotensi menjadi model bagi kelompok-kelompok jihadis di seluruh dunia.

Pakar Afganistan yang berbasis di Moskow, Andrey Serenko, tidak berpikir bahwa Rusia bisa dengan mudah mencapai kesepakatan dengan Taliban. Harapan bahwa Taliban akan memerangi ISIS dan struktur al-Qaeda dianggapnya terlalu optimis. "Garis antara Taliban dan ISIS di Afganistan sangat cair," ujarnya.

Dia juga memperingatkan kemungkinan bangkitnya mitos baru setelah kemenangan Taliban, yang pada gilirannya memicu kelompok-kelompok radikal di Rusia untuk "siap berjihad".

(hp/yp)