1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apakah Negara Palestina Mampu Hidup?

11 November 2011

Warga Palestina ingin negara yang berdaulat. Tetapi apakah negara Palestina mampu hidup?

https://p.dw.com/p/1398k
A section of Israel's seperation barrier is seen next to a sign indicating the way to Jerusalem, in Kalandia between the West Bank town of Ramallah and Jerusalem, Thursday, May 4, 2006. Breaking an old taboo, Israel's new government is drawing up plans to divide the holy city of Jerusalem by giving up Arab neighborhoods, an architect of the program said. Under the plan, which would be executed unilaterally if efforts to resume peace talks fail, Jerusalem's Old City, its holy shrines and the adjacent neighborhoods, would become a "special region with special understandings," but remain under Israeli sovereignty, said Otniel Schneller, a lawmaker in Prime Minister Ehud Olmert's Kadima Party. (AP Photo/Muhammed Muheisen)
Gambar simbol. Perundingan Palestina-Israel yang tidak mendatangkan hasil.Foto: AP

Ketika Mahmoud Abbas mengajukan permintaan agar Palestina diakui sebagai negara oleh PBB bulan September lalu, banyak warga Palestina menyambut gembira. Presiden mereka, yang lama dianggap ragu-ragu dan tidak dapat memutuskan sikap, mengambil tindakan jelas, dan untuk sementara menolak perundingan selanjutnya. Pembicaraan perdamaian dengan Israel, kalaupun itu terjadi dalam beberapa tahun terakhir, tidak mendatangkan hasil apapun.

Palestinian President Mahmoud Abbas holds a letter requesting recognition of Palestine as a state as he addresses the 66th session of the United Nations General Assembly, Friday, Sept. 23, 2011 at UN Headquarters. (AP Photo/Richard Drew)
Presiden Palestina Mahmoud Abbas, ketika menyampaikan permintaan di PBBFoto: AP

Akibat permintaannya kepada PBB tersebut, Mahmud Abbas tidak hanya memperoleh teman. Saat ini sama sekali tidak ada kepastian, bahwa sebagian besar anggota DK PBB akan menyetujui pengakuan Palestina sebagai negara. Perancis dan Inggris telah menyatakan, tidak akan menyetujui permintaan tersebut.

Negara-negara lain tidak memberikan pernyataan jelas atau, seperti AS, menolak permintaan itu, karena alasan solidaritas dengan Israel, atau karena alasan-alasan politis lainnya. Tetapi walaupun PBB misalnya menerima Palestina, negara baru itu akan menghadapi sejumlah masalah besar. Kawasan Palestina terpecah-belah dan perekonomiannya lemah. Di samping itu pemerintah Israel tampaknya tidak tertarik pada berdirinya negara Palestina yang stabil.

Banyak Pemukim Tolak Negara Palestina

"Untuk memungkinkan berdirinya negara Palestina yang bisa bertahan hidup, politik permukiman Israel harus dibatalkan,“ demikian dikatakan Moshe Zimmermann, direktur Institut untuk Sejarah Jerman di Universitas Ibrani di Yerusalem. Untuk itu permukiman yang sudah ada harus dibongkar, atau penduduk permukiman harus menjadi rakyat negara Palestina, demikian pendapat pakar sejarah itu. Tetapi pemukim Israel menolak kedua alternatif itu. Sebagian besar menolak pendirian negara Palestina.

Palestinian men work at a construction site in the Israeli settlement of Beitar Illit in the West Bank near the town of Bethlehem on 19 October 2010. Israel_s decision to allow construction of 238 new housing units violated international law and contradicted efforts by the United Nations, the European Union, the United States and Russia to settle the Middle East conflict, the UN assistant secretary general for political affairs, Oscar Fernandez Taranco, told the UN Security Council 18 October. EPA/IYAD AL HASHLAMOUN +++(c) dpa - Bildfunk+++
Permukiman Yahudi di BetlehemFoto: picture alliance/dpa

Di bidang ekonomi Moshe Zimmermann juga melihat sejumlah masalah. Pendudukan Israel menyebabkan kurangnya investasi dan tingginya tingkat pengangguran di wilayah Palestina. Suleiman Abu Dayyeh dari yayasan Jerman Friedrich Naumann cabang Yerusalem menyimpulkan dengan jelas: "Secara ekonomis negara Palestina sekarang tidak bisa hidup.“

Ekonomi Palestina sekarang sudah terhalang perkembangannya, karena perbatasan dengan Mesir dan Yordania berada di tangan Israel. "Palestina tidak memiliki lapangan terbang. Juga tidak ada jalan-jalan, dan tidak ada hubungan kereta api dengan negara-negara tetangga,“ demikian Abu Dayyeh menggambarkan situasi. Ia yakin, jika semua halangan ini tidak ada, Palestina dapat lebih mandiri lewat perdagangan dan turisme. Selain itu juga melalui industri ringan dan pertanian.

Pendudukan Israel Halangi Perkembangan Ekonomi Palestina

Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu convenes the weekly cabinet meeting in Jerusalem, Sunday, Jan. 23, 2011. (AP Photo/Oliver Weiken, Pool)
Perdana Menteri Israel Benyamin NetanyahuFoto: AP

Moshe Zimmermann berpendapat, masalah-masalah ekonomi Palestina dapat diatasi. Secara ekonomi, antara Israel dan wilayah Palestina memang ada perbedaan, tetapi itu bukan berarti bahwa keduanya tidak mampu bekerjasama. Sekarang saja sudah ada kerjasama antar kedua sistem. "Itu bisa diperluas, sehingga pada akhirnya kita bisa mengatakan: ya, sebuah negara Palestina mampu hidup,“ demikian Zimmermann.

Dalam soal yang belum terselesaikan, yaitu bagaimana nasib pengungsi Palestina, Zimmermann tidak melihat adanya masalah. Baginya, siapapun yang ingin kembali ke daerah asalnya, bisa melakukannya. "Itu memang sulit,“ demikian Zimmermann, "tetapi bisa dilakukan. Saya tidak percaya, bahwa sebagian besar dari jutaan warga Palestina yang sekarang hidup di berbagai negara akan memutuskan kembali ke Israel atau ke negara Palestina.“ Banyak dari mereka akan menerima hidup di negara lain. Di Bahrain, Kanada atau Yordania.

Tidak Semua Ingin Solusi Dua Negara

Leader of Israel's right-wing Yisrael Beiteinu Party Avigdor Lieberman speaks to journalists during a visit to Kibbutz Nirim, just outside the Gaza Strip, Wednesday, Feb. 4, 2009. The hottest slogan in this Israeli election campaign has supporters cheering and critics cringing: "Without loyalty, there is no citizenship." The ominous motto is plastered nationwide across buses and billboards. Above it looms the dour, bearded face of its mastermind, Avigdor Lieberman, Israel's most divisive politician and the man who could soon become the kingmaker of Israeli politics.(AP Photo/Tsafrir Abayov)
Menteri Luar Negeri Israel Avigdor LiebermanFoto: AP

Tetapi Moshe Zimmermann melihat pemerintah Israel sebagai halangan besar bagi terbentuknya negara Palestina. Perdana Menteri Benyamin Netanyahu dan Menteri Luar Negeri Avigdor Lieberman tidak tertarik akan adanya negara Palestina. "Di Israel ada kelompok kuat yang berhaluan kanan. Bagi mereka seluruh wilayah Palestina adalah bagian negara Israel.“ Demikian Zimmermann menjelaskan cara pandang banyak warga Israel.

Kelompok ini menolak berdirinya negara Palestina. Zimmermann menambahkan, "Tetapi pemerintah Israel tidak dapat menyatakannya secara terbuka, karena mereka telah mewajibkan diri untuk menerima solusi dua negara.“ Oleh sebab itu ada perbedaan antara apa yang dikatakan pemerintah Israel, dan langkah yang diambilnya. Jadi antara upaya mencari jalan keluar konflik dan pendudukan wilayah Palestina.

Anne Allmeling / Marjory Linardy

Editor: Hendra Pasuhuk