1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Musisi dan Pertanyaan untuk Apresiasi Kita

17 November 2018

Pertanyaan ini selalu menggelitik setiap kawan saya yang masih menggeluti dunia musik: dapatkah hidup dengan idealisme bermusik? Bagaimana menurut Anda? Berikut opini Zaky Yamani.

https://p.dw.com/p/34bxP
Indonesien Frauen-Metal Band mit Kopftüchern
Foto: Reuters/Str

Saat ini ketika hampir semua aspek kehidupan kita diubah petanya oleh internet dan digitalisasi produk musik.

Dulu kita masih bisa membagi industri musik ke dalam dua kelompok besar: mainstream (arus utama) dan indie atau independen. Mainstream dan indie itu berlaku dalam pola produksi dan distribusi, juga dalam idealisme bermusik.

Tapi ada juga yang berada dalam wilayah arsiran keduanya, apakah itu musisi yang memainkan musik yang mainstream tetapi produksi dan distribusinya independen (diproduksi sendiri atau melalui label rekaman kecil dan didistribusikan di luar jalur outlet-outlet bermodal besar), atau musisi yang musiknya tidak mainstream (dan kita sederhanakan ke dalam istilah indie) tapi diproduksi dan dididistribusikan karyanya melalui jalur mainstream (bergabung di dalam perusahaan rekaman besar, juga didistribusikan dalam rantai bisnis pemodal besar).

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Ada semacam kepercayaan, musisi di wilayah mainstream lebih cepat kaya karena didukung pemodal besar dan kerelaan para musisi itu untuk membuat karya sesuai dengan selera pasar. Hal itu pula yang dicibir oleh musisi di wilayah indie, seakan-akan musisi di wilayah mainstream telah menjual diri demi cepat kaya.

Tapi peta industri musik berubah dengan kehadiran internet dan digitalisasi produk musik. Pembajakan merajalela dan memangkas penghasilan musisi maupun perusahaan rekaman dari produk rekaman mereka.

Penjualan lagu secara digital, juga telah membuat produksi album lagu menghadapi pertanyaan paling kritis: masihkah relevan memproduksi album lagu, jika lagu bisa dijual eceran dalam format digital?

Di wilayah mainstream, kita bisa melihat ada musisi-musisi dan produsen-produsen produk musik yang masih bertahan dengan idealisme untuk memproduksi album penuh, dan mendistribusikannya melalui jalur yang agak aneh: di outlet-outlet makanan cepat saji, karena satu demi satu perusahaan rekaman tutup, begitu juga toko-toko musik, karena bangkrut.

Dengan kondisi itu, musisi bercorak mainstream yang tak mendapatkan kesempatan mendapatkan jalur distribusi, tampaknya tak sungkan lagi untuk menempuh jalur produksi indie dan mencoba meraih pasar melalui promosi di internet, salah satunya melalui channel YouTube.

Sementara di wilayah indie, tampaknya idealisme musisi untuk membuat album penuh sejak dulu sampai sekarang tak banyak berubah, masih terus berproduksi, dan didistribusikan melalui jalur toko-toko independen yang berbasis komunitas. Promosi dalam format digital melalui internet pun dilakukan oleh para musisi di wilayah indie.

Istilah indie dan mainstream sudah tidak relevan lagi

Di tahap ini, saya pikir, istilah indie dan mainstream dalam pola produksi dan distribusi sudah tidak relevan lagi. Sementara pembedaan dalam corak musik, juga semakin tidak relevan, karena istilah indie dan mainstream jelas tidak mengacu pada genre musik, tetapi pada pola produksi dan semangatnya.

Dulu, jalur indie muncul sebagai bentuk "perlawanan” pada tatanan industri musik yang kerap mendikte musisi untuk membuat karya sesuai selera produsen dan pasar yang luas. Karenanya, musisi yang tak mau didikte produsen dan keinginan pasar "memerdekakan” diri mereka dengan membuat musik sesuai dengan kehendak sendiri, dan untuk itu mereka harus membuat pola produksi dan distribusi sendiri.

Kini, baik musisi yang berselera mainstream maupun yang tidak, mulai bertemu di dalam pola produksi dan distribusi yang serupa, karena sekarang mereka memiliki kesempatan yang lebih terbuka untuk menjumpai dengan pasarnya melalui keleluasan internet dan produk digital.

Terlepas dalam hal produksi dan distribusi, setiap musisi serius—apakah dia berada di wilayah mainstream atau di wilayah indie—pasti berharap produk atau karya mereka bisa diapresiasi secara langsung oleh penggemar melalui pertunjukan secara live. Karena begitulah hidup para musisi seharusnya: membuat karya, mempertunjukkan karyanya langsung di hadapan audiens, dan mendapatkan apresiasi berupa bayaran dari kepuasan pendengar/penonton atas karya mereka.

Jika kita melihat di luar negeri—katakanlah di Amerika Serikat dan Eropa—para musisi penuh waktu maupun musisi paruh waktu tak pernah kekurangan pertunjukkan.

Berbagai festival digelar setiap tahun, berbagai komunitas punya acaranya sendiri-sendiri, sehingga banyak musisi yang padat jadwal tur pertunjukkannya, tak peduli genre musik apa yang mereka mainkan, apakah itu musik klasik, jazz, sampai black metal.

Dan tampaknya, level pemahaman dan apresiasi penikmat musik terhadap karya musik sudah sangat tinggi, sehingga mereka mau membeli karya musisi dengan cara yang bisa memberikan penghasilan kepada para musisi baik dalam format fisik maupun digital, dan mereka juga mau membayar untuk bisa menonton musisi di dalam pertunjukan-pertunjukan.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Jika kondisi industri musik di Indonesia seramai dan sepadat industri musik di Amerika dan Eropa, pertanyaan di awal tulisan ini tidak akan muncul. Pertanyaan itu muncul karena banyak musisi atau orang yang ingin jadi musisi gamang dengan industri musik di Indonesia.

Selain perubahan peta produksi dan distribusi, dan juga masalah pembajakan, satu hal yang paling memukul para musisi adalah tingkat apresiasi orang Indonesia terhadap musik. Saya yakin, sebagian besar orang Indonesia pasti suka musik dan senang datang ke pertunjukkan musik. Tapi berapa banyak orang Indonesia yang mau membayar secara layak untuk karya musisi, baik produk rekamannya maupun pertunjukkannya?

Rendahnya penghargaan kita kepada para musisi—yang ditunjukkan dengan sikap hanya datang ke pertunjukkan jika gratis atau tiketnya murah—yang membuat banyak orang merasa tidak yakin membangun hidup dengan menjadi musisi profesional. Sikap pasar yang seperti itulah yang memaksa sebagai besar musisi di Indonesia menjadi musisi paruh waktu: mereka harus bekerja di bidang lain untuk mencari nafkah sehari-hari, dan menjadi musisi saat ada kesempatan (yang tak selalu ada)

Saya bahkan menduga, musisi-musisi profesional (bekerja penuh waktu sebagai musisi), juga tidak bisa menggantungkan hidup dari memproduksi karya dan tampil di pertunjukkan untuk mendapatkan apresiasi yang layak dari khayalak, baik dalam bentuk pembelian produk musik maupun dalam bentuk pembelian tiket pertunjukkan dengan harga yang layak.

Kita bisa melacak, pertunjukkan-pertunjukkan musik di Indonesia sangat menggantungkan diri pada pasokan dana sponsor dari perusahaan-perusahaan besar, terutama rokok (dalam beberapa kasus perusahaan rokok juga memiliki bank dan produk lain, sehingga ketika ada tekanan agar produk rokok tidak diberi ruang jadi sponsor pertunjukkan, perusahaan rokok itu bisa menggunakan anak perusahaannya yang tidak memproduksi rokok untuk jadi sponsor).

Dari beberapa referensi yang saya baca tentang pertunjukkan musik di Indonesia, kontribusi pasokan uang dari tiket yang dibeli penonton hanya mencakup antara 40 persen saja dari kebutuhan anggaran sebuah pertunjukkan. Fakta itu jika diubah menjadi kalimat lain adalah sebagai berikut: penonton Indonesia hanya mau membayar 40 persen untuk pertunjukkan yang mereka tonton.

Pertanyaannya kemudian, apakah dengan begitu sponsor mensubsidi apresiasi masyarakat kepada musisi karena para sponsor itu peduli dengan kemajuan musik kita? Belum tentu. Saya pikir, satu-satunya kepentingan sponsor adalah massa. Tak penting apakah musik atau pertunjukkan yang ditawarkan kepada massa berkualitas atau tidak, selama sebuah pertunjukkan bisa mengundang massa yang besar atau bisa menguatkan brand image produk mereka, sponsor pasti akan masuk.

Apakah musisinya berkarya dengan benar atau tidak, menguasai teknik dan kualitas bermusik yang benar atau tidak, membajak karya orang lain atau tidak, selama mereka bisa mendatangkan massa, sponsor akan senang-senang saja ikut membiayai pertunjukkan. Pasar pun memang tak peduli bukan?

Selama musisinya beken, chanel YouTube-nya ramai dikunjungi, lagunya bisa bikin kita berjoget, maka kita akan gembira ikut berjoget. Masalah etika berkarya, kita pikir belakangan saja.

Jadi, apakah orang Indonesia bisa hidup dari bermusik secara idealis dan profesional?

Mungkin bisa, dengan berjuang keras dalam mendidik pasar. Kalau untuk sekadar bermusik saja, selama produk rokok, bank, minuman, dan produk gaya hidup lainnya masih membutuhkan pemasaran melalui pertunjukkan, bolehlah kita optimistis musisi masih punya ruang untuk hidup, dengan syarat jumlah pertunjukkan harus semakin banyak. Kalau berharap dari apresiasi langsung para penikmat musik, ya itu tadi, mereka hanya mau mendukung musisi 40 persen saja.

Zaky Yamani, jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Anda bisa sampaikan dalam kolom komentar di bawah ini.