1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTimur Tengah

Arab Saudi Giatkan Kampanye Anti-Ikhwanul Muslimin 

19 November 2020

Monarki di Riyadh berusaha membatasi pergerakan Ikhwanul Muslimin. Kelompok Pan-Islamisme itu diharamkan dan difatwa sesat. Riyadh mengkhawatirkan administrasi baru AS akan lebih lunak pada aktivisme damai kelompok Islam

https://p.dw.com/p/3lYZI
Simpatisan Ikhwanul Muslimin berdemonstrasi di ibu kota Yordania, Amman, 2008.
Simpatisan Ikhwanul Muslimin berdemonstrasi di ibu kota Yordania, Amman, 2008.Foto: Awad Awad/AFP/Getty Images

Selama dua pekan terakhir, pejabat pemerintah dan tokoh agama Arab Saudi rajin berkampanye di media nasional, betapa Ikhwanul Muslimin (IM) gemar menyulut perpecahan, dan pembangkangan terhadap kerajaan. Mereka mengimbau warga untuk melaporkan setiap aktivitas IM ke kepolisian. 

“Ini adalah sebuah kewajiban agama,” kata Menteri urusan Islam, Abdullatif al-Syeikh, dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi al-Arabiya. “Siapapun yang tidak melapor kepada otoritas adalah bagian dari mereka,” imbuhnya. 

Sejauh ini belum ada laporan pemerintah sudah menahan tersangka anggota Ikhwanul Muslimin. Kelompok yang mengimpikan persatuan Islam lintas negara itu sudah sejak lama didekalarasikan sebagai organisasi teror. 

Ikhwanul Muslimin yang belum lama ini mengucap selamat kepada Joe Biden atas kemenangannya di Pemilu AS membantah tuduhan pemerintah. “Kami sangat jauh dari kekerasan dan terorisme. Organisasi ini malah lebih sering menjadi korban teror kediktaturan,” tulis cabang IM di Mesir seperti dilansir Reuters. 

Riyadh mengkhawatirkan perubahan kebijakan Timur Tengah AS pasca pergantian kekuasaan di Gedung Putih. Presiden terpilih, Joe Biden, dipastikan bakal memantau catatan pelanggaran HAM oleh kerajaan, dan dipercaya lebih toleran terhadap aktivisme damai kelompok Islam, kata sejumlah analis. 

Dalam pernyataannya, IM mendesak pemerintahan baru AS untuk mengakhiri kebijakan Presiden Donald Trump yang dituduh mendukung kediktaturan. 

Perpecahan politik

Bagi Arab Saudi, Ikhwanul Muslimin adalah kompetitor ideologi yang mengancam sistem kekuasaaan dinasti al-Saud. Aktivisme politik IM di Saudi antara lain diarahkan untuk menggalang dukungan bagi penyelenggaraan pemilihan umum. 

Peta lokasi pangkalan militer AS di Timur Tengah
Dukungan kerajaan terhadap pangkalan militer AS di Arab Saudi diyakini menyulut perpecahan antara dinasti al-Saud dengan Ikhwanul Muslimin.

Saudi dulu berhubungan mesra dengan IM, yang ditandai dengan kedekatan antara pendiri Ikhwan, Hassan al-Banna, dan Raja Abdulaziz Al Saud. Sebab itu hingga kini, Saudi menampung sebagian pengungsi Ikhwanul Muslimin, yang melarikan diri dari opresi Gamal Abdul Nasser di Mesir.  

Kemesraan itu berakhir ketika IM menolak keputusan kerajaan menampung militer AS dalam Perang Irak II, seperti dilaporkan al-Jazeera. 

Sejak itu semua organisasi yang berafiliasi dengan IM ditutup pemerintah Saudi. Sementara anggotanya dibui. Adalah Riyadh yang menggalang dukungan Mesir, Uni Emirat Arab dan Bahrain untuk melobi AS agar menempatkan IM dalam daftar organisasi teror. 
IM menjadi organisasi bawah tanah sejak Presiden Mohamed Mursi dijatuhkan oleh Abdel Fattah al-Sisi dalam kudeta militer, 2013 silam. 

Antisipasi pemerintahan Joe Biden 

Presiden terpilih AS, Biden, sudah berjanji bakal mengkaji ulang hubungan dengan Riyadh. Dia menuntut pertanggungjawaban atas pembunuhan terhadap jurnalis, Jamal Khashoggi, 2018 lalu. Saat itu media-media Saudi ramai menyebut Khashoggi sebagai simpatisan Ikhwanul Muslimin. 

Kedekatan pewaris tahta Saudi, Mohamed bin Salman, dan Presiden Donald Trump selama ini dikritik lantaran membentengi Riyadh dari tekanan internasional. Meski mencanangkan pembukaan sosial, kebijakan bin Salman memenjarakan aktivis perempuan, tokoh intelektual dan jurnalis menjadi kontroversi. 

Saudi saat ini dituduh berusaha memanfaatkan serangan teror Islamic State di Jeddah sebagai dalih untuk mengganyang Ikhwanul Muslimin. Menurut Elisabeth Kendall, analis terorisme di Universitas Oxford, narasi tersebut berguna untuk membenarkan operasi keamanan terhadap IM di hadapan pemerintahan baru AS. 

“Kampanye terbaru Arab Saudi membantu membangun narasi bahwa Saudi adalah korban terorisme, bukan inkubatornya,” kata dia. 

rzn/ (rtr, ap, ftd, aljazeera)