1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

AS Bertekad Lakukan Aksi Lebih Kuat Perangi Perubahan Iklim

Ajit Niranjan
23 April 2021

Dalam KTT Perubahan Iklim yang diselenggarakan virtual pada Kamis (22/04), AS memperbarui komitmen mereka dalam memangkas emisi karbon dan mengajak negara lain untuk memerangi perubahan iklim.

https://p.dw.com/p/3sS37
Presiden AS Joe Biden saat membuka KTT Perubahan Iklim pada Kamis (22/04)
Presiden AS Joe Biden saat membuka KTT Perubahan Iklim pada Kamis (22/04)Foto: Evan Vucci/AP/picture alliance

Presiden AS Joe Biden berjanji untuk memangkas setengah emisi gas rumah kaca negaranya pada tahun 2030 dibandingkan dengan kondisi tahun 2005. Ini sebagai bentuk tekanan kepada negara-negara lain agar turut menurunkan emisi mereka sejalan dengan perjanjian internasional.

Hal itu ia sampaikan saat membuka Konferensi Tingkat Tingi (KTT) Perubahan Iklim yang diselenggarakan secara virtual dari Gedung Putih pada Kamis (22/04). "Dampaknya terus meningkat. Amerika Serikat tidak menunggu," ujar Biden.

Biden mengajak negara-negara besar di dunia untuk bergabung dengan AS dan meningkatkan perlawanan perubahan iklim. "Tidak ada negara yang dapat menyelesaikan krisis ini sendiri, dan KTT ini merupakan langkah menuju masa depan yang aman, sejahtera, dan berkelanjutan," katanya.

Komitmen pemimpin dunia

Tak hanya AS, beberapa negara lain juga menyatakan komitmen mereka.

Jepang mengumumkan rencana untuk mengurangi emisi 46% di bawah tingkat 2013 pada tahun 2030. Kanada mengatakan akan menurunkan emisi 40%-45% pada tahun 2030 di bawah tingkat tahun 2005. Presiden Cina Xi Jinping juga menegaskan kembali tujuan negaranya untuk mencapai puncak produksi karbon sebelum tahun 2030 dan mencapai netralitas karbon pada tahun 2060, seraya menambahkan bahwa penggunaan batu bara akan berkurang secara bertahap pada paruh kedua dekade ini.

Sementara itu, Kanselir Jerman Angela Merkel menyoroti tugas berat yang akan dihadapi dunia, menyebut perang melawan perubahan iklim "tidak kurang dari transformasi lengkap dalam cara kita berbisnis."

Kanselir Angela Merkel
Kanselir Jerman Angela Merkel saat menghadiri KTT Perubahan Iklim pada Kamis (22/04)Foto: Kay Nietfeld/dpa/Getty Images

Presiden Brasil Jair Bolsonaro juga berjanji membawa negaranya untuk menjadi netral karbon pada tahun 2050 dan mengakhiri deforestasi ilegal, yang telah melonjak di bawah kepemimpinannya, pada tahun 2030.

Beberapa pemimpin negara yang sudah berjuang melawan efek perubahan iklim menekankan perlunya bagi negara-negara kaya untuk memenuhi janji mereka yang belum terwujud untuk membantu negara-negara miskin beradaptasi.

"Anda harus menerima bahwa era bahan bakar fosil telah berakhir," kata Xiye Bastida, seorang aktivis iklim muda dari Meksiko, berbicara dalam KTT tersebut.

Target iklim ambisius "yang menggembirakan"

AS telah mencemari atmosfer dengan karbon dioksida lebih banyak daripada negara lainnya, dan warganya memiliki jejak karbon tertinggi di dunia saat ini. Meskipun target 50% yang diumumkan Biden tersebut tidak mengikat, hal itu meningkatkan komitmen AS untuk mengurangi emisi sekitar sepertiganya dan dapat memacu pemerintah lain untuk menghentikan pembakaran bahan bakar fosil lebih cepat.

Para pemimpin dunia pada tahun 2015 lewat Perjanjian Iklim Paris berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu global hingga di bawah 2 derajat Celcius. Namun baru-baru ini tepatnya pada November, sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa menemukan rencana resmi mereka untuk mencapai hal ini "sangat tidak memadai."

Meski begitu, target iklim yang lebih ambisius ini dinilai "sangat menggembirakan," kata Prakash Kashwan, seorang profesor ilmu politik yang meneliti keadilan iklim di University of Connecticut.

Penghasil emisi besar seperti AS dan Uni Eropa harus secara eksplisit mengakui hutang karbon yang mereka miliki kepada negara-negara lain alih-alih menggunakan tindakan domestik mereka untuk membujuk negara lain. "Memimpin dari depan dengan menghasilkan pengurangan emisi yang sebenarnya."

Inggris paling ambisius

Sebanyak 40 pemimpin dunia yang menghadiri KTT dua hari ini bertanggung jawab atas 80% emisi gas rumah kaca tahunan yang memanaskan planet dan mendatangkan bencana dalam bentuk kekeringan, topan, banjir, gelombang panas, dan kebakaran hutan. Para pemimpin dunia dari negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim juga hadir, seperti Republik Demokratik Kongo, Jamaika, dan Bangladesh.

Sebelumnya, beberapa negara mengumumkan komitmen pengurangan emisi yang lebih tajam menjelang pertemuan tersebut, yang dipandang sebagai tonggak penting dalam perjalanan menuju KTT Iklim PBB COP26 di Glasgow, Inggris, pada bulan November mendatang. Misalnya Inggris, yang pada hari Selasa (20/04), menetapkan target paling ambisius di dunia dengan undang-undang yang mengikat negara tersebut untuk mengurangi emisi gas rumah kaca 78% pada tahun 2035 dari level tahun 1990.

Proyek percontohan Indonesia

Presiden RI Joko Widodo yang juga hadir dalam KTT ini menyambut baik target sejumlah negara menuju netral karbon pada tahun 2050. Namun, ia mengingatkan bahwa komitmen tersebut harus dijalankan berdasarkan pemenuhan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) tahun 2030.

Indonesia sendiri sedang mempercepat pilot percontohan net zero emission antara lain dengan membangun Indonesia Green Industrial Park seluas 12.500 hektare di Kalimantan Utara yang akan menjadi yang terbesar di dunia.

"Kami sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 620 ribu hektare sampai 2024, terluas di dunia dengan daya serap karbon mencapai empat kali lipat dibanding hutan tropis. Indonesia terbuka bagi investasi dan transfer teknologi, termasuk investasi untuk transisi energi," ungkap Jokowi.

Diplomasi iklim

Utusan iklim AS John Kerry bertemu dengan mitranya dari Cina Xie Zhenhua di Shanghai pekan lalu sebagai bagian dari dorongan baru dalam diplomasi iklim AS. Tetapi meski mereka sepakat untuk membahas tindakan nyata dekade ini untuk mengurangi polusi karbon, mereka tidak mengumumkan janji yang lebih ambisius.

"Untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, kami perlu melihat baik Cina dan AS berkomitmen," kata Marcelo Mena-Carrasco, direktur Pusat Aksi Iklim di Pontificia Universidad Catolica de Valparaiso yang juga mantan Menteri Lingkungan Cile. "Itu adalah cara untuk melihat beban emisi global diatasi."

Perjalanan serupa ke India juga gagal menghasilkan komitmen yang lebih kuat. Dalam pertemuan tersebut, Kementerian Luar Negeri India menekankan perlunya negara-negara kaya memenuhi janji mereka yang belum terpenuhi untuk mengirimkan US$ 100 miliar (Rp 1.400 triliun) dalam setahun sebagai pendanaan iklim kepada negara-negara yang lebih miskin pada tahun 2020.

Janji yang tidak ditepati

Biden juga menggunakan KTT tersebut untuk menggambarkan AS sebagai pemimpin global dalam perang melawan perubahan iklim. Reputasi AS telah menurun di bawah pemerintahan pendahulunya Donald Trump, yang selain mengeluarkan AS dari Perjanjian Paris juga membatalkan undang-undang lingkungan sambil mempromosikan batu bara, minyak dan gas.

AS "tidak menawarkan apapun tentang bagaimana rencananya untuk menutupi empat tahun yang hilang," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Zhao Lijian. "Kembalinya (AS) bukan berarti kembali dengan gemilang, melainkan seperti siswa yang membolos untuk kembali ke kelas."

Cara Beradaptasi dengan Iklim Yang Terus Berubah

Presiden Cina Xi Jinping mengejutkan dunia pada bulan September lalu dengan mengumumkan bahwa Cina akan mencapai puncak emisi karbon pada tahun 2030 dan mencapai netral karbon pada tahun 2060. Namun, Cina masih terus berinvestasi dalam proyek bahan bakar fosil, terutama untuk membangun pembangkit listrik tenaga batu bara di seluruh wilayah Asia.

Pada KTT tersebut, Korea Selatan mengumumkan akan menghentikan pendanaan pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri, sebuah langkah yang mungkin diikuti oleh Jepang dan Cina.

Ed: rap/gtp