1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

130111 Obama Tucson-Trauerfeier

13 Januari 2011

Setelah terjadi serangan mematikan di Arizona, AS, Presiden Obama menyerukan untuk lebih toleran. Tragedi tersebut jangan sampai disalahgunakan, tutur Obama dalam upacara mengenang korban serangan.

https://p.dw.com/p/zx60
Presiden AS Barack Obama menyampaikan pidato mengharukan dalam upacara mengenang korban serangan di Tucson, ArizonaFoto: picture alliance / dpa

Tidak ada yang mengira, Presiden Amerika Serikat Barack Obama akan menyampaikan pidato yang begitu mengharukan, „Gaby membuka matanya dan ia tahu, bahwa kami ada di sini.“

Tidak lama setelah mengunjungi Gabrielle Giffords di rumah sakit universitas Tucson, anggota kongres AS dari Partai Demokrat itu membuka matanya untuk pertama kali. Obama nampak sangat tergerak, "ia tahu, bahwa kita mencintainya, kita selalu membantunya dan kita selalu ada untuknya.“´

Ini merupakan pidato terbaik yang disampaikan Obama sejak beberapa bulan ini. "Tidak ada di antara kita yang tahu apa penyebab serangan buruk in.“

Dengan pernyataan itu Obama menepis segala komentar yang mencoba menyalahkan kubu kanan Republik sebagai penyebab utama serangan berdarah itu. Kubu Republik dituduh oleh kalangan tertentu melakukan kampanye menghasut dan membuat keadaan politik di Arizona memanas. Tidak ada yang dapat mengatakan, bagaimana serangan itu dapat dihindari, tutur Obama. Dan insiden itu tidak boleh disalahgunakan secara politis, tekan Obama. "Serangan ini jangan sampai disalahgunakan dengan saling menyalahkan dan dengan menudingkan jari. Ini tidak boleh kita lakukan!“

Seruan Obama disambut dengan tepuk-tangan meriah oleh publik. Kemudian Obama menambahkan, bahwa AS punya kewajiban terhadap korban serangan untuk merenungkan serangan tersebut. Tragedi ini merupakan peringatan bagi setiap individu. Juga bagi seluruh AS untuk mengatasi perpecahan di negaranya. "Hanya sebuah debat yang serius dan beradab yang dapat membantu kita menangani tantangan yang dihadapi masyarakat kita.“

Jika AS berhasil menangani politik polarisasinya, negara itu baru menjadi tempat yang layak bagi anak-anaknya, papar Obama. Misalnya bagi Christina Green yang lahir 11 September 2001, berusia sembilan tahun. Ia tertembak mati Sabtu lalu (8/1) ketika mengikuti pidato Gabrielle Giffords. "Saya ingin demokrasi kita tercipta sebaik mungkin seperti yang diharapkan oleh Christina.“

Namun peluang terwujudnya harapan tersebut nampaknya tidak begitu besar. Tidak lama setelah Obama menyampaikan pidatonya, Sarah Palin dari kubu Republik mengirim sebuah pesan video, yang memojokkan Gabrielle Giffords. Giffords adalah orang Yahudi pertama yang menjadi anggota kongres Arizona.

"Giffords mengatakan, bahwa belakangan ini debat politik semakin memanas. Tetapi, kapan debat ini pernah tidak sepanas ini? Apa ketika kalangan politisi saling berduel dengan lawannya dengan menggunakan senjata?“ Demikian komentar sinis Palin yang dilontarkan hanya beberapa hari setelah insiden Arizona.

Sejak serangan mematikan di Tucson, bisnis persenjataan AS semakin subur. Permintaan akan pistol ukuran sembilan militer di Arizona telah meningkat sekitar 60 persen, dibandingkan dengan tahun lalu.

Dengan sangat singkat Obama juga menyinggung hukum senjata AS yang perlu dipertimbangkan lagi. Namun pernyataannya begitu singkat, sehingga hampir tidak terdengar.

Ralph Sina/Andriani Nangoy

Editor: Hendra Pasuhuk