1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aung San Suu Kyi Gagal Pangkas Kekuasaan Militer di Parlemen

11 Maret 2020

Aung San Suu Kyi dan partainya berusaha membawa perubahan yang lebih demokratis menjelang pemilihan umum akhir tahun ini di Myanmar. Namun militer tidak mau kehilangan kekuasaan.

https://p.dw.com/p/3ZCTt
Gedung Parlemen Myanmar
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad

Parlemen Myanmar pada hari Selasa (10/03) memberikan suara yang menentang amandemen konstitusi sebagai langkah untuk menghapuskan pengaruh militer dalam politik Myanmar. Saat ini di Myanmar berlaku piagam konstitusi yang dirancang oleh junta militer pada tahun 2008.

Agar bisa berlaku, usulan amandemen konstitusi yang diajukan perlu disahkan oleh lebih dari dua pertiga anggota parlemen. Namun saat ini, militer masih sangat berkuasa di parlemen karena seperempat kursi di parlemen Myanmar dialokasikan khusus bagi anggota militer. Selain itu, militer juga masih memiliki kekuatan untuk menunjuk tiga menteri utama yaitu menteri pertahanan, perbatasan dan menteri urusan dalam negeri.

Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi bersama partainya yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi, NLD, sebelumnya mengajukan amandemen guna mengurangi jumlah anggota militer di legislatif dalam jangka waktu 15 tahun. Partai itu juga berupaya menghapus bagian yang menyatakan pemberian gelar panglima angkatan bersenjata sebagai "panglima tertinggi seluruh angkatan bersenjata."

Usulan untuk memangkas jumlah kursi yang disediakan bagi militer ini hanya didukung oleh 404 anggota parlemen dari total 633 anggota. Dukungan ini tidak cukup untuk melewati ambang batas 75 persen yang dibutuhkan.

"Kami telah berusaha"

Anggota Parlemen dari Partai NLD, Aung Thein, mengatakan bahwa partainya memang telah mengantisipasi kekalahan ini. Namun mereka harus tetap memenuhi janjinya kepada para pemilih dalam pemilu tahun 2015 lalu. "Kami ingin orang-orang tahu bahwa kami telah berusaha," katanya.

Myanmar akan menghadapi pemilu lagi pada akhir tahun ini dan  dorongan untuk melangsungkan reformasi demokrasi telah meningkat.

Selama satu dekade terakhir Myanmar berusaha beralih dari junta militer ke sistem pemerintahan demokrasi parsial. Langkah ini menyebabkan Suu Kyi memiliki kekuatan  yang efektif pada 2016. Namun belakangan ini, peraih Nobel Perdamaian ini telah mendapat tekanan internasional atas penanganan pemerintah terhadap pengungsi Rohingya di negara itu.

Suu Kyi saat ini menjabat sebagai Penasihat Negara Myanmar. Ini adalah posisi yang sengaja dibuat agar ia bisa menjadi bagian dari pemerintah. Menurut konstitusi saat ini, Suu Kyi tidak dapat menjadi presiden karena suami dan anak-anaknya adalah warga negara Inggris. Partai pendukung Suu Kyi, NLD, berharap untuk mengubah peraturan ini dengan mengajukan reformasi konstitusi.

ae/vlz (Reuters, AFP)