1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Belajar Toleransi Hingga ke Azerbaijan

11 Mei 2019

Di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini, Sunni dan Syi'ah beribadah di masjid yang sama. Masyarakat dukung pembangunan museum Yahudi. Di Azerbaijan, Ramadan dirayakan bersama-sama umat non muslim.

https://p.dw.com/p/3IHNg
Aserbeidschan Religionen / Muslime
Foto: Getty Images/AFP/T. Babayev

Sepanjang sejarah panjang Azerbaijan, banyak kelompok etnis yang berbeda dengan berbagai kepercayaan dan agama hidup bersama dalam kedamaian dan keharmonisan. Itulah sebabnya, negara ini kerap dijuluki sebagai tanah toleransi beragama.

Meskipun merupakan negara mayoritas berpenduduk muslim (lebih dari 90%), Azerbaijan adalah negara sekuler yang berhasil membangun hubungan yang kuat dengan semua komunitas agama.

Sementara seluruh dunia mengalami masalah intoleransi dan konflik agama, diakui oleh Jerman, Azerbaijan dapat menjadi contoh dari sebuah komunitas di mana setiap orang menunjukkan rasa hormat kepada umat manusia dari berbagai ras dan agama.

Rafi Gurbanov, wakil kepala Komite Departemen Hubungan Internasional Komite Agama  Republik Azerbaijan
Rafi Gurbanov, wakil kepala Komite Departemen Hubungan Internasional Komite Agama  Republik AzerbaijanFoto: Twitter/refi057

Oleh sebab itu dalam sebuah konferensi yang merupakan kerjasama antara kementerian luar negeri Jerman dan kedutaan besar Indonesia di Jerman, pemerintah Azerbaijan diundang untuk berbagi resep dalam menjaga keharmonisan di negaranya. Menurut Rafi Gurbanov, wakil kepala Komite Departemen Hubungan Internasional Komite Agama  Republik Azerbaijan, ada tiga kerangka penting yang dijadikan pondasi oleh Azerbaijan dalam menjaga kerukunan umat beragama.

"Kerangka pertama adalah kerangka hukum. Kami menyatakan bahwa semua agama, semua etnis minoritas setara di muka hukum. Ini berarti bahwa hukum Azerbaijan, konstitusi Azerbaijan tidak memberikan superioritas pada agama atau etnis apa pun. Azerbaijan merayakan keberagaman," papar Gurbanov.

Kerangka kedua adalah kelembagaan yang membantu instrumen hukum untuk diimplementasikan ke dalam praktik keseharian dan ke dalam pembuatan kebijakan. Sementara kerangka ketiga adalah undang-undang dalam pembuatan kebijakan, yang berakar dari sistem hukum, melalui dasar kelembagaan yang dilaksanakan atas kemauan politik. "Semua ini berkorelasi satu sama lain dan saling melengkapi. Ada hubungan yang dekat di antara ketiganya," tandas Rafi Gurbanov.

Umat Sunni-Syiah Meja Ramadhan

Kepada Deutsche Welle, Rafi Gurbanov menjelaskan bentuk implementasi kebijakan pemerintah yang disebutkannya di atas:  "Saya ingin memberi contoh tentang toleransi di Azerbaijan. Kami membangun persatuan Sunni dan Syiah. Mereka berdoa bersama di masjid yang sama. Kami memiliki proyek 'Persatuan adalah Nilai-nilai Kita' yang terdiri dari anggota komunitas Sunni dan Syiah bersama-sama dan memberi mereka platform sangat luas untuk pertukaran pemikiran dan membangun dialog di antara mereka.

Sehubungan dengan bulan Ramadan, pemerintah negara yang melepaskan diri dari Soviet tahun 1991 itu membuat proyek yang disebut "Meja Ramadan". Dijelaskan Rafi: "Selama bulan Ramadan….di akhir bulan Ramadan, komunitas muslim dan komunitas non-muslim duduk bersama dan menunjukkan solidaritas bahwa ini adalah hari libur untuk Azerbaijan, bukan hanya untuk kaum muslim. Ini adalah hari libur yang dirayakan oleh masyarakat. Ini adalah hari libur yang memberi kesempatan untuk berbagi roti satu sama lain. Itulah toleransi di Azerbaijan," tandasnya.

Rafi Gurbanov menyebutkan sejauh sepengetahuannya, Azerbaijan memiliki kesamaan dengan Indonesia dalam hal cara hidup dalam tradisi Islam. Namun Azerbaijan juga memiliki perbedaan, dalam aspek geografis, dan tradisi terhadap kaum minoritas.

Rafi mengatakan, dibandingkan dengan Indonesia yang terdiri dari ratusan etnis, Azerbaijan tergolong negara kecil, "Tetapi kami melakukan pekerjaan besar untuk kontribusi perdamaian, terutama antara Sunni dan Syiah. Belum ada ketegangan antara Sunni dan Syiah selama berabad-abad sampai sekarang. Sebagai pemerintah dengan kemauan politik, kami berusaha meluruskan dan melestarikan tradisi ini dan meneruskannya kepada generasi muda. Kami menyaksikan banyak konflik meletus antar agama di Timur Tengah dan di dunia dan kami tak ingin hal itu sampai terjadi di negara kami," ungkapnya.

Bersatu di Meja Ramadan di Azerbaijan

Merangkul kaum Yahudi

Sejarah menyatukan orang-orang dengan pandangan dan kepercayaan yang berbeda di negara ini. Saat ini, perwakilan dari berbagai agama bahkan bergabung dengan kegiatan dan berpartisipasi dalam pekerjaan amal secara bersama-sama.

Kaum Yahudi di negara ini juga telah hidup berdampingan dengan orang-orang Azerbaijan lainnya selama lebih dari 2.500 tahun. Dikutip dari jpost, ada perwakilan dari tiga komunitas Yahudi tinggal di Azerbaijan: Yahudi pegunungan -yang terkonsentrasi terutama di desa Krasnaya Sloboda di wilayah Guba, Yahudi Eropa atau Ashkenazi yang terpusat di ibu kota di Baku dan Sumgait, dan Yahudi Georgia, yang sebagian besar tinggal di Baku. Setelah runtuhnya Uni Soviet, kaum Yahudi pegunungan menjadi kelompok dominan populasi Yahudi.

Merangkul kaum Yahudi
Merangkul kaum YahudiFoto: picture-alliance/Zuma/A. Karimov

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana warga negara Yahudi di Azerbaijan dikepung oleh kepedulian, kedamaian dan harmoni, cukup pergi ke desa Krasnaya Sloboda di wilayah Guba. Krasnaya Sloboda di Guba adalah salah satu tempat langka di dunia yang berpenduduk banyak kaum Yahudi. Orang-orang Yahudi yang tinggal di desa ini telah mempertahankan tradisi mereka selama bertahun-tahun. Komunitas religius dan pusat budaya nasional Yahudi tumbuh leluasa di sini. Komunitas Yahudi pegunungan di Azerbaijan adalah salah satu komunitas terbesar di antara berbagai komunitas Yahudi di Kaukasus.

Untuk mengembalikan sepenuhnya gambaran masa lalu, sebuah museum Yahudi akan dibangun di Krasnaya Sloboda. Pada zaman pendudukan Soviet, ada gudang produk pertanian di sinagog tua, di mana museum dibangun. Langkah-langkah ke arah ini telah diambil. Segera, sebuah museum Yahudi pegunungan akan muncul di situs Sinagoga Karkhogi.

Setelah runtuhnya Uni Soviet, gedung sinagoga itu dulu ditinggalkan. Pembangunan museum diharapkan akan berkontribusi pada pemulihan rumah ibadah. Ruang konferensi, perpustakaan kecil, dan bagian cadangan dari museum akan dibuat di ruang bawah tanah. Bangunan sinagog berbentuk bujur sangkar. Diputuskan untuk membuat museum dengan dua tingkat untuk mengakomodasi pameran sebanyak mungkin.