1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Bukan Hanya Lucinta Luna

Indonesien, Nadya Karima Melati, Bloggerin
Nadya Karima Melati
4 April 2020

Terbayangkah oleh Anda, perayaan baby shower yang merayakan jenis kelamin si calon jabang bayi mungkin bisa jadi petaka baginya kelak, seperti misalnya yang menimpa Lucinta Luna? Ikuti opini Nadya Karima Melati.

https://p.dw.com/p/3Xt0X
Dot bayi warna pink dan biru
Foto ilustrasi simbol bayiFoto: picture-alliance/dpa/P. Pleul

Ditemani semangkuk mie ayam dan segelas anggur, Ira dan Riki melakukan tebak-tebakan jenis kelamin bayi yang sedang dikandung oleh Fabi. Malam itu di rumah saya, perjamuan makan dan temu kangen kami menjadi malam baby shower dadakan untuk menebak jenis kelamin si calon jabang bayi.

Apa yang kami lakukan adalah bagaimana masyarakat melakukan penghakiman dan kontrol terhadap nasib manusia yang bahkan belum sampai ke dunia melalui penentuan jenis kelaminnya.

Tebak-tebakan jenis kelamin pada ibu hamil adalah hal yang populer khususnya setelah teknologi Ultrasonography atau USG ditemukan dan dipopulerkan di Indonesia pada tahun 1980-an.

Sejatinya, teknologi USG pada bidang ginekologi dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik bayi, tidak sekadar mengetahui jenis kelamin. USG dilakukan kepada bayi dalam perut ibu untuk mengetahui pertumbuhan bayi apakah tulang-tulangnya terbentuk sempurna, bentuk kepala dan perkembangan wajah, pertumbuhan jemari dan organ tubuh lainnya. Dan hal yang krusial, melihat posisi bayi dan potensi jalan kelahiran.

Tradisi baby shower harusnya merayakan keberhasilan tumbuh-kembang fisik bayi dalam kandungan sekaligus memberikan dukungan finansial (hadiah) dan mental bagi ibu yang akan melahirkan, bukan untuk memberikan beban harapan peran gender pada manusia yang bahkan belum dilahirkan.

Perayaan baby shower yang menjadi sekadar ajang penentuan jenis kelamin adalah petaka bagi si calon jabang bayi. Bayangkan, sebelum dia dilahirkan semua orang di sekelilingnya telah memberikan beban harapan mulai dari bagaimana ibunya harus bersikap selama mengandung, warna pakaian merah muda atau biru, hingga tetek-bengek seperti mainan, selimut dan perlengkapan bayi lainnya.

Dalam perspektif ilmu gender dan seksualitas, identitas gender dan ekspresi gender tidak lagi ditentukan dari jenis kelamin. Dan jenis kelamin tidak lagi terbatas dari penampakan genital saja seperti yang tertera di foto USG.

@Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.
Penulis : Nadya Karima MelatiFoto: N. K. Melati

Menentukan Jenis Kelamin

Seberapa penting jenis kelamin itu? Luar biasa penting sekali. Seluruh hidup kita akan ditentukan dengan apa yang berada di antara kedua kaki. Jenis kelamin pertama-tama akan menentukan identitas kemudian pakaian, keseharian, teman-teman, orientasi seksual dan jenis pekerjaan.

Dr. Ryu Hasan seorang dokter bedah otak menyatakan bahwa jenis kelamin harusnya bukan ditulis "perempuan" atau "laki-laki" melainkan digambar. Mengapa begitu? Karena jenis kelamin adalah genital organ reproduksi, klasifikasinya adalah jantan-betina sebagaimana yang dilekatkan kepada tanaman kelengkeng, anatomi bunga, kepiting hingga ubur-ubur. Sementara itu identitas gender sifatnya sosial tergantung dari budaya dan pilihan administratif negara.

Selain itu, dalam ilmu kedokteran terbaru, identifikasi jenis kelamin tidak terbatas pada bentuk genital semata dan klasifikasi seks tidak sekadar jantan dan betina. Penentuan jenis kelamin jantan, betina atau interseks dilakukan dengan memeriksa ciri keseluruhan. Tidak hanya bentuk genital.

Tahapan pengecekannya dibuat menjadi dua yakni identifikasi primer dan identifikasi sekunder. Pengecekan identifikasi jenis kelamin primer dilakukan melalui 5 tahap yakni pengecekan: (1). kromosom, (2). gonads, (3). hormon, (4). internal genital dan (5). eksternal genital. Pertama kromosom si bayi akan diperiksa. Seorang ibu akan selalu membawa gen X sementara jantan membawa gen lainnya bisa X atau Y sehingga bentuk genital bayi ditentukan oleh ayah. Bukan ibu.

Perpaduan X dan X akan menghasilkan kromosom betina XX sedang XY akan menghasilkan kromosom jantan. Interseks akan memiliki kromosom XXY atau XYY tergantung variasinya. Kedua, pengecekan gonads untuk mengetahui apakah ovaries atau testes yang dimiliki untuk reproduksi si janin. Ketiga, pengecekan hormon apakah estrogen, genstagen dan testoteron.

Selanjutnya keempat, akan diperiksa bentuk genital internal clitoral crucra, vagina, uterus, fallopian tubes (betina) dan urethra, corpora cavernosa, prostate dan minal vesicles (jantan). Terakhir pengecekan organ eksternal glans citoridis, labia, vulva, clitorial hood dan perineal urethra (betina) dan glands penis, scrotrum, phallus, foreskin dan fused perineum (jantan).

Pengecekan primer untuk mengecek jenis kelamin belum cukup, masih ada ciri sekunder untuk menentukan seks seseorang yakni tumbuhnya bulu-bulu halus di tubuh pada masa puber, bentuk tubuh yang lebih muskular jantan dan lebih banyak persentase lemak untuk betina.  Sehingga penentuan jenis kelamin bayi tidak bisa melalui sekadar gambar USG tapi keseluruhan bagian si embrio yang terus diperhatikan hingga masa pubertasnya.

Sementara itu negara membutuhkan identifikasi gender untuk mengetahui proporsi warganya. Maka dari itu negara menyediakan identifikasi jenis kelamin sosial yang disebut identifikasi gender. Identitas gender ini yang menghadirkan perempuan, lelaki, trans, nyonya, tuan atau anak. Ini penting agar perundungan seperti yang dialami Lucinta Luna atau Millen Cyrus tidak terjadi.

Revolusi Gender dan Kebijakan Publik

Dalam pelatihan cepat studi seksualitas biasanya saya merujuk definisi gender dan seks dari feminis radikal Gayle Rubin untuk membedakan seks yang biologi dan gender yang sosial.

Dampak dari penemuan interseks dan penentuan jenis kelamin yang kompleks menghasilkan gelombang Revolusi Gender. Revolusi Gender berdampak pada advokasi hak-hak masyarakat sipil berbasis orientasi seksual dan identitas gender.

Melalui landasan hak asasi manusia, advokasi terkait hak-hak minoritas seksual dan gender dilakukan. Gelombang revolusi gender dimulai sejak tahun 1960-an ketika moralitas viktorian dilawan habis oleh generasi hippies dengan aksi ketelanjangan.

Pengakuan terhadap orientasi seksual minoritas homoseksual dan biseksual dirayakan dengan pencabutan homoseksual sebagai bagian dari gangguan jiwa dalam DSM 5 (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) dan pengakuan berbagai negara atas pernikahan sipil sama jenis kelamin seperti AS, Australia hingga Taiwan. Sedangkan untuk pengakuan identitas gender menelurkan kebijakan publik gender ketiga untuk kondisi interseks dan trans.

Negara-negara seperti Jerman dan Australia sudah menggunakan gender X atau * untuk menandakan identifikasi identitas gender. Sebaliknya, di Indonesia sendiri, ada upaya pembongkaran sejarah pembunuhan massal dukun santet sekitar tahun 1999 hingga menjelang 2000-an, di mana khususnya bissu yang dikenal agender (tanpa gender), jadi sasaran pembantaian massal.

Selain itu, advokasi supaya trans mendapatkan hak warga negaranya seperti KTP, SIM dan NPWP terus dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti Arus Pelangi atau Persatuan Satu Hati di Yogyakarta.

Revolusi memang sifatnya cepat dan mengagetkan. Termasuk pula revolusi gender ini. Ketika gelombang pengetahuan terkait seksualitas gender terbaru datang mengentak, masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan nilai-moral viktorian yang dibawa kolonial Belanda kaget kocar-kacir. Hasilnya adalah gelombang penolakan LGBT yang terjadi.

Sampai kapan kita akan terus begini? selama perayaan baby shower sekadar menentukan jenis kelamin bayi, selama itu pula kita tidak mampu beradaptasi.

@Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.