1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Badak Sumatera Langka Tewas

6 April 2016

Sebulan setelah ditemukan di Kutai Barat, Kalimantan Timur, seekor badak Sumatera mati akibat infeksi berat pada kakinya yang terjerat. Sementara populasi harimau Sumatera terancam akibat deforestasi.

https://p.dw.com/p/1IQ9C
Nashorn Aceh Sumatra Indonesien
Foto: Leuser International Foundation

Tim dokter hewan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK, Taman Safari Indonesia, organisasi perlindungan lingkungan WWF-Indonesia dan Yayasan Badak Indonesia mengemukakan, infeksi berat yang menimpa badak Sumatera itu adalah akibat jeratan tali sejak bulan September tahun lalu.

Dalam siaran tertulis, anggota tim gabungan dokter hewan, Muhammad Agil, mengatakan, "Pengobatan yang diberikan oleh tim dokter hewan sempat direspon positif. Namun demikian, memang luka yang dialami pada kaki kirinya parah dan menyebabkan infeksi."

Ketika ditangkap Maret lalu, jerat telah dilepas dan luka diobati, namun infeksi yang dideritanya telanjur parah. Tim dokter bahkan telah berkonsultasi dengan para pakar badak internasional di Australia dan Amerika Serikat untuk upaya pengobatan badak Sumatera itu.

Sejak tahun 2013, WWF Indonesia sudah mengidentifikasi keberadaan badak Sumatera di Kutai Barat, lewat jejak kakinya, dan kemudian lewat rekaman pengintai. Najaq, badak Sumatera yang diperkirakan berusia 10 tahun itu, terekam pada bulan Oktober 2015."

Populasi badak Sumatera terancam punah

Tampak dalam kamera saat itu, kaki kiri belakang Najaq terjerat tali. Beberapa hari terakhir, kondisi kesehatan Najaq diketahui menurun dan akhirnya meninggal dunia. Kini, setelah diotopsi penyebab kematiannya, jasad Najaq diawetkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Badak Sumatera merupakan salah satu dari dua spesies badak yang ada di Indonesia. Status populasi Badak Sumatera saat ini terancam mengalami kepunahan. Diperkirakan jumlahnya tinggal kurang dari 100 ekor.

Turunnya populasi harimau Sumatera

Selain badak Sumatera, nasib harimau Sumatera juga tidak kalah memprihatinkan. Deforestasi di daerah Bukit Tiga Puluh telah menghancurkan habitat alami setidaknya 51 harimau sejak tahun 2001, demikian menurut sebuah studi bersama oleh jurnal ilmiah berjudul "Tracking changes and preventing loss in critical tiger habitat" yang melibatkan para peneliti dari Universitas Minnesota, Smithsonian Conservation Biology Institute, Rainforest Alliance, Stanford University dan World Resources Institute (WRI).

Studi ini menemukan bahwa lebih dari 67 persen hutan, yang terletak di provinsi Riau dan Jambi, sebagian besar berubah lahan untuk komoditas pertanian, seperti perkebunan kelapa sawit. Pengembangan kelapa sawit masih merupakan ancaman yang sedang berlangsung di Indonesia.

Secara global, hampir 8 persen, atau hampir 79.000 kilometer persegi hutan menghilang antara tahun 2001 dan 2014. Studi ini juga menemukan bahwa kegiatan pembukaan hutan sejak tahun 2001 telah mengakibatkan hilangnya habitat harimau. Hilangnya habitat dan perburuan liar telah mendorong penurunan populasi harimau menjadi kurang dari 3.500 ekor.

"Sekarang saatnya untuk menggunakan data tersebut guna mengambil tindakan. Jika kita dapat menggunakan informasi tersebut untuk merespon lebih cepat terhadap ancaman, kita dapat memastikan bahwa harimau akan bertahan untuk generasi mendatang," ujar Crystal Davis, direktur Global Forest Watch.

Namun, studi ini juga menunjukkan bahwa populasi harimau dapat dipulihkan jika habitat harimau diperbaiki dan kegiatan berburu dikendalikan.

Bagaimana di belahan negara lain?

Nepal dan India telah melaporkan terjadi peningkatan populasi harimau, masing-masing: 61 persen dan 31 persen di negara mereka, setelah dilakukannya inisiatif konservasi di kedua negara, lewat program perbaikan ekosistemTerai Arc Landscape yang meliputi bagian dari dataran rendah dan kaki bukit terdekat Himalaya.

Harimau Benggala di Kaziranga-National Park.
Upaya pemulihan hutan dapat mengembalikan populasi harimau.Foto: Getty Images/AFP/STR

Anup Joshi, seorang peneliti di Universitas Minnesota, mengatakan angka itu menunjukkan bahwa harimau berpotensi dapat pulih lagi dari ancaman kepunahan, jika pihak berwenang membuat perbaikan pengelolaan hutan yang tepat: "Kami melihat ini sudah terjadi di daerah seperti perbatasan antara Nepal dan India, di mana tutupan hutan sudah mulai pulih dengan bantuan masyarakat, dan harimau datang kembali," kata Anup.

Studi ini merupakan yang pertama kalinya dalam memeriksa perubahan tutupan pohon secara sistemik di semua 76 lanskap konservasi harimau, dengan menggunakan data satelit resolusi tinggi dan menengah. Global Forest Watch secara online mengawasi lahan bersama dengan para pakar dari Universitas Maryland, yang memberikan data perubahan hutan untuk analisis jangka panjang.

ap/yf(cnnindonesia/nationalgeographic/jakartaglobe)