1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

“Menghabisi” Para Caleg Norak

Zaky Yamani
Zaky Yamani
30 Maret 2019

Anda pernah merasa heran, siapa wajah-wajah yang muncul dalam spanduk-spanduk calon anggota legislatif di ruang publik? Jangan lupa, selain pemilu presiden, pemilu legislatif juga penting. Zaky Yamani sampaikan opininya.

https://p.dw.com/p/3FnoX
Indonesien Wahlen Parlamentswahlen Wahlliste in Jakarta
Foto: Reuters

Anda tidak perlu merasa bodoh jika mempertanyakan wajah-wajah tersebut, karena sebagian besar wajah-wajah calon legislatif itumemang tidak dikenal banyak orang.

Wajah-wajah itu selalu muncul tiba-tiba di musim pemilu, dan tidak banyak diketahui siapa mereka, apa latar belakang mereka, dan apa program yang akan mereka perjuangkan di lembaga legislatif nanti. Jika mereka menang, wajah-wajah itu akan lebih banyak bersembunyi di gedung legislatif, dan publik pun tidak akan banyak tahu apa yang mereka kerjakan. Jika mereka kalah, wajah-wajah itu akan menghilang, dan mungkin muncul lagi lima tahun mendatang.

Strategi berkenalan melalui spanduk memang masih jadi andalan para calon legislatif, karena itu cara paling mudah dan tidak perlu banyak mikir. Para caleg tinggal menyiapkan dana untuk membuat spanduk dan menyebarkannya sebanyak mungkin di daerah pemilihan masing-masing. Sebagai daya tarik, alih-alih menyampaikan program, mereka malah menggunakan slogan-slogan yang aneh-aneh, misalnya "Siap Jungkir Balik Demi Rakyat”, "SIM dan STNK Seumur Hidup”,  "Saatnya Bergaya”, atau "Pilih Senam Agar Sehat” (nama si caleg adalah Senam).

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Kemajuan teknologi informasi seakan tidak memberi inspirasi apa pun bagi para caleg itu. Sebagian besar masih menggunakan cara lama, yaitu melalui spanduk, ditambah mengirim kalender, makanan, topi, kaus, kartu nama, dan stiker ke rumah-rumah. Walau sebagian kecil ada yang menggunakan iklan di media sosial, namun isinya tak lebih bagus dari spanduk-spanduk yang beredar: berisi pencitraan diri dan tak ada agenda penting yang akan diperjuangkan.

Apa makna dari cara berkenalan para caleg itu?

Apakah mereka bodoh dan ketinggalan zaman? Mereka tidak bodoh, tapi menganggap pemilihnya bodoh: merasa tak perlu menyampaikan agenda dan program kepada pemilih, cukup dengan spanduk, kalender, kaus, topi, kartu nama, dan makanan. Tentang apa yang akan mereka kerjakan jika terpillih, rakyat tak perlu tahu.

Saya punya contoh bagaimana para caleg di negara lain berkenalan dengan pemilihnya. Entah bagaimana, sejak beberapa tahun lalu, e-mail saya tiba-tiba masuk di dalam daftar seorang politisi Amerika Serikat asal Partai Demokrat dari wilayah New York. Melalui e-mail, politisi ini secara rutin melaporkan apa yang akan dia lakukan dan apa yang sedang dia lakukan di lembaga legislatif, dan menjelaskan apa pentingnya hal-hal itu diperjuangkan. Dengan laporan-laporan kerja itu dia meminta dukungan para pemilihnya, entah untuk ikut dalam sebuah aktivitas, atau juga meminta dukungan dana. Dengan laporan-laporan itu pula, dia sekaligus selalu memperkenalkan dirinya, karena saya perhatikan daftar orang yang dia kirimi email selalu bertambah.

Setidaknya ada dua keuntungan dengan cara berkomunikasi seperti itu. Pertama, dia akan selalu dikenal publik, minimal selalu diingat konstituennya. Kedua, konstituennya tahu apa yang dia kerjakan, dan bisa memutuskan apakah orang itu akan dipilih kembali atau tidak di pemilu berikutnya.

Contoh kedua, saat saya diundang ke Berlin untuk melihat praktik pemilu Jerman, sekitar tahun 2008. Saya ikut melihat kampanye yang dilakukan Kanselir Angela Markel di daerah Potsdam, tapi yang paling berkesan bagi saya adalah kampanye perwakilan Partai CDU yang adalah kubu konservatif dan Partai SPD yang mewakili kubu liberal di sebuah perkampungan imigran Turki di Berlin. Di sana perwakilan dua kubu yang berseberangan itu diuji oleh para imigran Turki tentang bagaimana dua kubu politik itu akan membela hak-hak imigran. Karena yang hadir adalah dua kubu yang berseberangan, yang terjadi adalah upaya mempertahankan argumen secara politis, ideologis, dan praktis. Perdebatannya alot namun tetap tertib dan damai, tanpa caci-maki.

Apa keuntungannya dari kampanye dengan menghadirkan dua kubu yang berlawanan? Publik akan menilai sendiri siapa yang layak untuk dipilih berdasarkan agenda dan ideologi partai-partai yang bersaing. Sedangkan bagi para calon legislatif itu, adu argumen seperti itu bisa jadi ajang unjuk diri tentang keunggulan dia dan partainya. Dan tentu saja, cara berkomunikasi itu jauh lebih sehat dibanding cara berkomunikasi melalui spanduk dengan slogan yang aneh-aneh atau melalui kiriman barang tak penting. Dengan dialog terbuka itu publik duduk setara dengan para caleg dan partainya untuk beradu argumen tentang apa yang harus didahulukan bagi kemajuan negara.

Bagaimana dengan Indonesia?

Perkenalan para caleg dengan pemaparan agenda kerja saat ini dan masa mendatang melalui e-mail dan sarana komunikasi lain masih sangat minim. Kalau pun ada yang rajin mengirim, laporan itu lebih banyak ditujukan kepada para jurnalis dan berisi pencitraan pribadi alih-alih sebagai laporan kerja kepada konstituen.

Adu argumen baru bisa kita lihat di acara debat calon presiden dan calon wakil presiden, dan dari debat itu tak banyak manfaat yang bisa kita ambil, kecuali hiburan melihat reaksi para pendukung masing-masing yang seperti pendukung fanatik klub sepak bola. Sedangkan untuk calon legislatif, sejauh yang sudah kita alami, kampanye lebih banyak satu arah dan hanya menghadirkan satu pihak, sehingga publik tidak bisa melihat bagaimana para caleg ini beradu argumen dengan caleg dari partai lain. Akibatnya, kualitas caleg tidak pernah bisa kita uji.

Ada lagi satu contoh menarik yang saya ketahui baru-baru ini, tentang bagaimana caleg dari partai yang berbeda saling bekerja sama dan "berbagi suara” di wilayah pemilihan masing-masing. Alih-alih memenangkan partainya agar jadi partai mayoritas di parlemen, para caleg dari partai yang berbeda itu bekerja sama—bahkan saling berbagi dana—untuk bisa sama-sama mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten/Kota. Mereka membuat peta pemilih di wilayah pemilihan itu, kemudian merancang strategi bersama agar masing-masing berhasil mendapat kursi. Dengan cara "berbagi suara” seperti ini, para caleg bahkan akan "menginjak” rekan satu partainya di wilayah pemilihan yang sama. Artinya, para caleg dari partai yang berbeda itu mementingkan kursinya sendiri, ketimbang kemenangan partainya.

Cara berpolitik semacam itu sebenarnya tidak masuk akal dalam sistem demokrasi. Karena di lembaga legislatif nanti, agenda kerja parlemen akan mengandalkan suara mayoritas. Ketika di DPR tidak ada partai yang mayoritas dan kursi yang ada terbagi rata ke banyak partai politik, maka untuk menyepakati suatu pekerjaan akan dibutuhkan energi yang sangat besar untuk lobi demi mendapatkan persetujuan mayoritas anggota legislatif—dan hal itu membuka peluang yang sangat lebar untuk tindakan korupsi berupa jual-beli suara di internal parlemen.

Untuk terhindar dari politik yang tidak sehat, satu-satunya harapan kita adalah kesadaran dan keberanian publik. Publik harus sadar, bahwa memilih caleg harus berdasarkan pengetahuan tentang agenda apa saja yang akan dikerjakan para caleg itu jika mereka menang. Untuk itu publik harus menolak cara berkenalan yang norak melalui spanduk, kalender, topi, dan sebagainya.

Dengan demikian, artinya publik harus berani membalikkan posisi dari sumber suara pasif menjadi aktif, misalnya dengan menolak kampanye tunggal partai atau calegnya, tapi mengundang sekaligus para caleg dari partai-partai yang berbeda di daerah pemilihan yang sama, agar mereka berdebat mempertahankan agenda masing-masing, sampai publik bisa menilai kapasitas dan kualitas para caleg itu.

Jika publik di setiap daerah pemilihan—dari level kecamatan sampai level provinsi—sanggup melakukan itu, mungkin lima tahun mendatang ruang-ruang publik tidak akan terlalu kotor dengan spanduk dan slogan tak bermutu. Karena seseorang yang ingin jadi caleg harus memiliki program kerja yang jelas dan sanggup berhadapan dengan publik dan lawan politiknya di sebuah forum. Caleg-caleg yang tak jelas rencana kerjanya harus dibuat jeri untuk mencalonkan diri, dan yang nekad mencalonkan diri akan “dihabisi” di dalam debat-debat intelektual.

Penulis: Zaky Yamani

Jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.