1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Industri Tekstil Membunuh Citarum

2 Maret 2018

Citarum yang dianggap sumber kehidupan buat 30 juta warga di Jawa Barat dan DKI Jakarta justru menjadi petaka kesehatan buat penduduk sekitar. Seberapa serius pemerintah ingin membenahi sungai paling kotor di Bumi itu?

https://p.dw.com/p/2tZ68
Polusi di sungai Citarum
Polusi di sungai CitarumFoto: Adek Berry/AFP/Getty Images

Penyakit kudis yang menghinggapi kaki Yusuf Supriyadi menjadi pengingat tentang harga yang harus dibayar untuk tinggal di tepi "sungai paling kotor di dunia." Sebagaimana ribuan petani lain, dia mengandalkan air sungai Citarum untuk mengairi sawah miliknya. Air yang kotor dan berbau itu adalah jaminan kehidupan buat Yusuf dan empat orang anaknya.

Sawah di bantaran Citarum sering terendam di musim hujan, terlebih ketika pabrik-pabrik tekstil semakin sering membuang limbah di sungai. "Tangan saya gatal-gatal dan hasil panen juga rusak," kata pria berusia 54 tahun tersebut kepada AFP. "Polusi membuat beras saya jelek. Jika saya tetap bertani, saya akan merugi. Tapi jika tidak, saya tidak punya pekerjaan lain," imbuhnya.

Nasib muram serupa milik Yusuf Supriyadi menjadi acuan ketika pemerinah mencanangkan program pemurnian hingga 2025. Citarum yang membentang sepanjang 300 kilometer adalah sumber kehidupan buat sekitar 30 juta penduduk, termasuk 80% penduduk Jakarta.

Baca: 

Januari silam pemerintah pusat mengambilalih wewenang atas Citarum dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. "Kami tidak main-main," kata Djoko Hartoyo, Kepala Biro Umum Kementeriaan Koordinator Kemaritiman. "Kami akan melakukan pendekatan holistik. Jadi kami yakin sekali akan mampu membuat Citarum bersih lagi seperti 50 atau 60 tahun yang lalu."

Petaka buat Citarum dimulai ketika pemerintahan Orde Baru membangun kawasan industri di Majalaya. Hingga kini sekitar 2000 pabrik tekstil menyediakan lapangan kerja buat warga sekitar. Namun buruknya manajemen limbah menciptakan masalah lingkungan. Menurut data pemerintah, setiap hari pabrik-pabrik di Majalaya membuang 280 ton limbah cair ke sungai.

"Sebagian besar pabrik sebenarnya punya sistem pengolahan limbah. Tapi tidak digunakan dengan maksimal karena cuma formalitas saja," kata aktivis lingkungan Deni Riswandani.

Masalah lingkungan di Citarum kembali marak dibahas akhir tahun silam setelah dua pembuat film dokumenter asal Perancis mengarungi sungai dengan kapal yang terbuat dari botol plastik. Karya Gary Bencheghib dan Sam Bencheghib yang viral itu akhirnya mencuri perhatian Istana Negara. Presiden Joko Widodo lalu mengundang keduanya dan berjanji akan membersihkan Citarum dalam waktu tujuh tahun.

rzn/hp (afp, kompas, makeachangeworld)