1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikTimur Tengah

Bagaimana Konflik Gaza Bebani Relasi Israel dan Jiran Arab?

Monir Ghaedi
20 Oktober 2023

Kemelut di Jalur Gaza dan konflik dengan Hamas turut membebani hubungan antara Israel dengan jiran Arab. Berikut gambaran respons negara-negara tetangga Israel terhadap prahara seputar isu Palestina.

https://p.dw.com/p/4XmoL
Militer Israel di dekat perbatasan Gaza
Militer Israel bersiap di perbatasan dengan Jalur Gaza di dekat Sderot, 14 Oktober 2023Foto: Amir Levy/Getty Images

Sepanjang sejarahnya, Israel selalu berselisih dengan negara-negara tetangga Arab. Setelah ledakan mematikan di depan Rumah Sakit al-Ahli di Kota Gaza yang oleh Hamas diklaim menewaskan 500 orang pada Selasa (17/10), sebagian besar negara Arab menuduh Israel bertanggung jawab, sementara pemerintah di Yerusalem Barat sebaliknya menyatakan roket militan Palestina lah yang menyebabkan ledakan tersebut.

Menyusul serangan teror Hamas di Israel pada 7 Oktober silam, sebagian besar jiran Arab, termasuk negara-negara yang telah memelihara dialog dan kerja sama dengan Israel selama beberapa dekade terakhir, menganggap Israel bertanggung jawab atas pertumpahan darah di Timur Tengah. Secara khusus, mereka menunjuk pada pembangunan pemukiman Israel di Tepi Barat dan blokade Jalur Gaza.

Berikut adalah sikap negara-negara Arab terhadap konflik antara Hamas dan Israel

Mesir

Minggu, 15 Oktober lalu, Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sissi mengkritik respons militer Israel (IDF) terhadap serangan Hamas, mengklaim bahwa serangan udara terhadap pemukiman sipil di Jalur Gaza "melampaui hak untuk membela diri" dan menyerupai hukuman kolektif.

Truk barang di pintu perbatasan Rafah antara Jalur Gaza dan Mesir
Truk yang memuat bahan bantuan untuk Jalur Gaza menunggu pembukaan pintu perbatasan Rafah di Mesir.Foto: REUTERS

Mesir menjalin kemitraan jangka panjang dengan Israel sejak normalisasi diplomasi menyusul Perjanjian Camp David tahun 1978 dan perjanjian perdamaian Mesir-Israel tahun 1979. Relasi kedua negara berulangkali diterpa prahara, antara lain invasi Israel ke Lebanon pada tahun 1982, intifada pertama dan kedua, invasi Israel ke Tepi Barat pada tahun 2002 dan berbagai konflik antara Israel dan Hamas.

Dalam Perang Gaza ke-3 tahun 2014, Mesir mendesak Israel untuk lebih tegas melumpuhkan Hamas. Namun Israel ragu, karena mengkhawatirkan terciptanya kevakuman kekuasaan dan kekacauan di Jalur Gaza.

Meskipun memiliki hubungan dekat dengan Iran, Hamas, yang dianggap oleh AS, Uni Eropa, dan beberapa negara lain sebagai organisasi teroris, juga memiliki pertalian dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Hubungan tersebut diwaspadai sebagai risiko keamanan oleh pemerintah di Kairo, tetapi juga memungkinkan dinas intelijen Mesir untuk menjadi penengah antara Israel dan Hamas.

Dalam konflik teranyar, Mesir menegaskan hanya akan memfasilitasi bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, bukan menampung pengungsi Palestina. Dalam konferensi pers pada Rabu (18/10), al-Sissi mengatakan, warga Mesir menentang pemindahan paksa warga Palestina ke Sinai. Masuknya pengungsi dari Jalur Gaza rawan disusupi gerilayawan Hamas dan berpotensi membuat semenanjung milik Mesir itu menjadi basis serangan terhadap Israel.

Penolakan terhadap pengungsi Palestina juga diyakini terkait dengan krisis ekonomi di Mesir, ditambah dengan masuknya pengungsi Sudan yang melarikan diri dari perang saudara.

Yordania

Kendati berada dalam keadaan perang yang berlangsung selama beberapa dekade, Yordania dan Israel tetap menjaga komunikasi rutin yang akhirnya mengarah pada penandatanganan perjanjian damai pada tahun 1994.

Sepanjang sejarah, Yordania telah berulangkali memberikan bantuan kepada Israel, seperti saat kerusuhan November 2014 di Yerusalem yang disebabkan penutupan akses ke Bukit Bait Suci dan Masjid al-Aqsa. Saat itu, pejabat Yordania bekerja sama dengan militer Israel untuk menjaga keamanan di tempat-tempat suci. Sebagai imbalannya, Israel berkolaborasi dengan Yordania dalam berbagai proyek perdagangan, pertanian, industri, dan kesehatan masyarakat.

Namun, hubungan kedua negara berulang kali regang lantaran dibayangi perjuangan Palestina demi kemerdekaan. Pada 11 Oktober lalu, Raja Abdullah II kembali menggarisbawahi pentingnya Solusi Dua Negara. "Wilayah kita tidak akan pernah aman atau stabil tanpa mencapai perdamaian yang adil dan komprehensif berdasarkan Solusi Dua Negara."

Yordania juga sangat berhati-hati menyikapi potensi munculnya gelombang baru pengungsi Palestina. Pemerintah di Amman bersikeras, warga Palestina harus tetap tinggal di tanah air mereka jika ingin membentuk negara sendiri di masa depan. Saat ini, negara berpenduduk 11,6 juta jiwa itu telah menampung jutaan pengungsi Palestina, Suriah, dan Irak. Angka tersebut menjadikan Yordania sebagai salah satu negara dengan rasio pengungsi tertinggi di dunia.

Lebanon

Organisasi Syiah Lebanon, Hizbullah, sejak lama menebar ancaman bagi Israel. Sayap militer kelompok Hizbullah, yang ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Uni Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara lain, memiliki persenjataan lengkap dan punya pengaruh politik dan ekonomi yang luas di Lebanon.

Selama beberapa dekade terakhir, Israel dan Hizbullah secara berkala terlibat konflik bersenjata.

Ketegangan antara Lebanon dan Israel berawal pada tahun 1948, ketika Lebanon, bersama dengan negara-negara Arab lainnya, mendeklarasikan perang terhadap negara Yahudi, sehari setelah deklarasi kemerdekaan Israel.

Lebanon sejak itu menjadi rumah bagi pengungsi dan milisi Palestina, sementara Israel berulang kali menduduki wilayah selatan Lebanon.

Pendudukan Lebanon Selatan berakhir pada tahun 2000. Setelah gencatan senjata yang ditengahi PBB, militer Israel menarik diri. Namun hingga kini, wilayah perbatasan antara kedua negara masih bergejolak dan sering dilanda bentrokan bersenjata.

Setelah serangan udara Israel di Jalur Gaza, Hizbullah menyatakan berdiri "dalam solidaritas” dengan rakyat Palestina. Keesokan harinya, baku tembak dilaporkan muncul di perbatasan - menghidupkan kembali kenangan akan konflik yang sudah padam sejak tahun 2006.

Tank Israel di Dataran Tinggi Golan, Suriah, 1967
Tank Israel memasuki Dataran Tinggi Golan setelah memukul mundur pasukan Suriah dalam Perang Enam hari 1967.Foto: Keystone/ZUMA/IMAGO

Suriah

Suriah dan Israel saat ini masih dalam status berperang sejak tahun 1948. Hingga kini, militer Israel masih menduduki Dataran Tinggi Golan di perbatasan Suriah sejak direbut selama Perang Enam Hari tahun 1967.Sejak itu, Damaskus memelihara aliansi dengan Iran, musuh utama Israel di Timur Tengah.

Pada tahun 2007, Israel menyatakan bersedia mundur dari Golan demi perdamaian, dengan syarat Suriah memutuskan hubungan dengan Iran dan kelompok gerilyawan anti-Israel. Suriah menolak persyaratan tersebut.

Selama bertahun-tahun, Israel secara rutin melakukan serangan udara di Suriah, terutama sejak perang saudara tahun 2011. Namun sasaran utama IDF bukan militer Suriah, melainkan fasilitas milik Iran dan proksinya di Suriah. Niat serupa melandasi serangan rudal terhadap landasan pacu di dua bandar udara terbesar di ibu kota Damaskus pada pekan lalu.

rzn/hp