1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Kisah Seorang Ustaz Mengundang Teror ke Burkina Faso

13 November 2019

Ketika seorang pendakwah radikal di Burkina Faso mengobarkan perang terhadap pemerintah, senjata yang ia miliki cuma sebuah perangkat radio. Orasinya yang penuh kebencian mampu menyulap rumah warga menjadi bengkel teror.

https://p.dw.com/p/3SvAd
Burkina Faso Nach den Anschlägen
Foto: Getty Images/AFP/A. Ouoba

Masyarakat di Sahel di pinggir Gurun Sahara terbiasa menyimak penampilan Ibrahim "Malam" Dicko di radio ketika dia merapal kalimat-kalimat makar terhadap pemerintah dan aparat kepolisian. "Kami menyemangatinya," kisah Adama Kone, guru berusia 32 tahun dari kota Djibo, di dekat perbatasan Mali. "Dia memahami amarah kami. Dia memberikan kaum muda rasa percaya diri."

Kebanyakan pemuda etnis Fulani seperti Kone bekerja sebagai penggembala. Mereka merasa dianaktirikan, dibandingkan para petani yang lebih diperhatikan oleh pemerintah di Ouagadougou. Dicko sang pendakwah berhasil mengeksploitasi rasa frustasi warga untuk melancarkan gerakan jihad kelompok etnis pertama di Burkina Faso.

Dan gerakannya itu membuka jalan bagi keterlibatan sel-sel teror yang berafiliasi dengan Al-Qaida dan Islamic State.

Baca juga:Tanpa ISIS, Perempuan Irak Bergerak Menjemput Kebebasan 

Sejak siaran pertama Dicko, Burkina Faso menjelma menjadi ladang subur bagi tiga kelompok bersenjata terbesar di Afrika Barat yang sedang memperkuat pengaruh di hampir sepertiga wilayah negeri. Mereka menutup paksa sekolah, menyerang warga Kristen di gereja dan menanam bom di jasad korban untuk membunuh anggota tim penyelamat.

Setidaknya 39 orang meninggal dunia pekan lalu dalam serangan fajar terhadap konvoi pekerja tambang asal Kanada. Meski tidak ada yang mengklaim kebiadaban tersebut, modus operandi yang digunakan - yakni meledakkan bom di jalan dan disusul dengan tembakan - merupakan khas kelompok Islamis.

Peta Burkina Faso dan ibukota Ouagadougou
Peta Burkina Faso dan ibukota Ouagadougou

Konflik berdarah yang berkecamuk di Burkina Faso sejak 2016, sudah menelan lebih dari 1.000 korban jiwa dan membuat 500.000 warga menjadi pengungsi di negeri sendiri. Pada Oktober 2019 silam, sebanyak 755 orang tewas dalam tindak kekerasan yang melibatkan kelompok jihadis.

Kone adalah satu dari sekian banyak penggemar Ibrahim Dicko. Namun berbeda dengan yang lain, dia memilih bertobat. "Kami menyerahkan mikrofon di Masjid kepadanya," kisah sang guru. "Ketika kami menyadari apa yang mereka rencanakan, segalanya sudah terlambat."

Dia melarikan diri dari ibukota Ouagadougou dua tahun lalu, setelah para jihadis menyambangi sekolahnya. Menurut UNICEF, sebanyak 2.000 sekolah di Burkina Faso menghentikan kegiatan belajar mengajar lantaran masalah keamanan.

Dicko yang menempuh pendidikan di Arab Saudi pada dekade 1980an mulai aktif menyuarakan jihad pada 2010. Dia antara lain mengeluhkan perilaku korup pemuka agama yang menyuburkan praktik-praktik tidak Islami seperti pesta pernikahan atau seremoni yang mewah.

Baca juga: Al-Qaida dan Sebuah Buku Kwitansi

Gerakan yang dia bangun, Ansarul Islam, pada akhirnya membuka pintu bagi masuknya kaum jihadis dari luar Burkina Faso, terutama Mali. Sempat ditangkap oleh militer Perancis saat menyelinap ke negeri jiran, Dicko kemudian membangun kamp latihan sendiri di wilayah perbatasan.

Untuk memperkuat barisannya dia menjalin pertalian maut dengan kelompok kriminal Mali yang menguasai jalur perdagangan ilegal antara kedua negara. Pada tahun itu, dia sering meneriakkan pesan kepada kaum muda Burkina Faso agar mendukung gerakannya, "bahkan jika nyawa taruhannya."

Namun ajakan tersebut gagal meyakinkan Kone untuk bertahan. Dan pada suatu hari di bulan Mei 2017, Kone yang telat pergi ke sekolah mendapat telepon dari kolega sesama guru: sekelompok pria bersenjata suruhan Dicko datang untuk mencarinya.

Tanpa berpikir panjang, dia lalu mengemas barang dan pergi mengungsi ke Ougadougou.

rzn/vlz (Reuters)