1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Transpuan Muslim Jalani Ramadan di Pesantren al-Fatah

16 Mei 2019

Pondok pesantren al-Fatah di Yogyakarta menawarkan satu-satunya ruang kebebasan bagi kaum transgender muslim buat menunaikan ibadah di bulan Ramadan. Serupa santri, di sana mereka diajarkan membaca al-Quran.

https://p.dw.com/p/3IabS
Sejumlah transpuan menyambangi Pesantren al-Fatah di Yogyakarta untuk menjalani ibadah bulan Ramadan, sebagaimana kaum muslim lainnya.
Sejumlah transpuan menyambangi Pesantren al-Fatah di Yogyakarta untuk menjalani ibadah bulan Ramadan, sebagaimana kaum muslim lainnya.Foto: Getty Images/U. Ifansasti

Sempat meredup akibat tekanan dan ancaman kelompok radikal pada 2016, pondok pesantren waria Al-Fatah di Yogyakarta kini kembali membuka rumah bagi kaum transpuan dan transpria, terutama di bulan Ramadan.

"Kami ingin menyediakan lingkungan yang aman bagi waria karena melakukan ibadah di masjid kadang terasa tidak nyaman," kata Shinta Ratri, pendiri ponpes yang juga seorang transpuan. "Kami bisa mengekspresikan diri dengan bebas di sini. Kami juga bisa menikmati bulan Ramadan dan beribadah sama-sama," imbuhnya.

Baca juga: Penggerebekan Waria di Aceh Semata Karena Kebencian

"Buat kami yang muslim, hal ini sangat penting terutama di bulan Ramadan," kata pendiri ponpes waria itu saat diwawancara Reuters.

Sempat ditutup akibat ancaman kaum radikal

Pesantren Waria al-Fatah didirikan Shinta bersama dua orang lain pada 2008. Namun sentimen anti LGBT+ yang dikobarkan kelompok radikal pada 2016 silam memaksa Shinta menutup pondok tersebut. Saat ini ponpes al-Fatah menampung 42 transpuan yang kebanyakan bekerja sebagai pengamen jalanan atau pekerja seks.

Mereka kerap mendatangi pesantren untuk menunaikan ibadah sholat Jumat atau menghadiri acara pengajian yang dipandu oleh enam ustadz. "Para transpuan dibebaskan mengenakan baju perempuan atau laki-laki selama beribadah", kata Ratri.

Selama Ramadan pesantren al-Fatah menawarkan jam khusus untuk belajar al-Quran, ibadah sholat malam dan kegiatan berbuka bersama masyarakat setempat. "Apa yang ingin kami sampaikan adalah bahwa kami juga memiliki hak untuk beribadah dan kami diterima di dalam Islam," kata Ratri.

Baca juga: Pondok Pesantren jadi Tempat Bernaung bagi Waria di Indonesia

"Kami memang transgender, tapi kami tidak melupakan kewajiban kami sebagai kaum muslim," imbuhhnya.

Tidak dilarang tapi diintimidasi

Homoseksualitas tidak dilarang di Indonesia. Namun demikian geliat kelompok konservatif yang antara lain merangsek hingga penyusunan legislasi di parlemen mengancam hak sipil kaum minoritas seksual. Dalam sebuah kolom opini di Koran Sindo, Februari 2018 silam, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menulis: gaya hidup pasangan sesama jenis ikut melahirkan ekses "mengerikan" seperti pembunuhan, HIV/AIDS dan pedofilia.

Ketua DPR yang akrab dipanggil Bamsoet ini mendesak agar DPR menyusun Undang-undang buat membatasi gaya hidup kaum minoritas seksual.

Belum lama ini seorang sutradara kenamaan, Garin Nugroho mendapat ancaman pembunuhan seusai merilis film "Kucumbu Tubuh Indahku" yang berkisah mengenai pergulatan seorang penari pria dengan identitas gendernya. Film tersebut bahkan dilarang tayang di sejumlah kota.

Buat Ratri, Ramadan tahun ini dilakoninya seperti yang sudah-sudah. Namun berbeda dengan yang lain, dia memiliki harapan spesial yang selalu dipanjatkan setiap bulan Puasa. "Doa saya selalu sederhana, bahwa kami kelak bisa diterima oleh masyarakat dan kita bisa hidup bersama secara harmonis," pungkasnya.

rzn/as