1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Baghdad Sesalkan Pembatalan Kasus Blackwater

1 Januari 2010

Akibat salah prosedur, hakim pengadilan Amerika Serikat menghentikan persidangan terhadap pasukan bayaran dari perusahaan Blackwater. Pemerintah di Baghdad memandang hal tersebut sebagai beban bagi hubungan dengan AS.

https://p.dw.com/p/LIXG
Pasukan AS memeriksa lokasi kejadian bom di Baghdad baru-baru ini.
Pasukan AS memeriksa lokasi kejadian bom di Baghdad baru-baru ini.Foto: AP

"Saya ingin bertanya sekarang, apa yang akan terjadi jika korbannya adalah warga Amerika?" Kalimat ini dikutip oleh sebuah surat kabar dari ucapan seorang anggota polisi yang bertugas di lapangan Nisur, Baghdad, pada bulan September dua tahun lalu ketika pasukan bayaran Blackwater melepaskan tembakan dan mengakibatkan tewasnya 17 warga Irak.

Bahkan ayah seorang korban tidak dapat mempercayai keputusan hakim pengadilan di Amerika Serikat itu. Katanya, "Bagaimana mungkin mereka dibebaskan? Buktinya sudah ada! Saksi juga ada!"

Juru bicara pemerintah Irak Ali al-Dabbagh menjelaskan bahwa pemerintahnya sangat "kecewa" dan "menyayangkan" keputusan hakim di Washington yang membatalkan seluruh butir tuntutan terhadap lima pekerja perusahaan keamanan Blackwater itu. Maka dari itu, Irak mempertimbangkan akan mengajukan tuntutan hukum terhadap perusahaan tersebut.

Saad al Muttalibi, penasihat pemerintah Irak, mengatakan, "Keputusan hakim membuat rumit hubungan antara Amerika Serikat dengan Irak. Amerika Serikat saat ini menampakkan diri dengan citra yang buruk. Amerika Serikat harus paham, bahwa kejadian ini merusak kepentingan mereka, di Irak atau wilayah lain."

Hakim federal Ricardo Urbina di Washington memutuskan pada hari Kamis lalu(31/12), bahwa tuntutan dibatalkan karena salah prosedur. Penyebabnya adalah pengakuan para tentara itu dalam pemeriksaan pertama di departemen pertahanan. Pengakuan tersebut tidak dapat digunakan untuk keperluan persidangan.

Namun penasihat pemerintah Irak Muttalibi menentang alasan tersebut, "Halangan legal atau prosedural tidak boleh mencegah para penjahat ini menerima hukumannya. Tidak ada orang yang berkeliaran bebas di jalanan dengan senjata dan menikmati kekebalan hukum."

Seorang diplomat Irak di London, Ali al Bayati, kepada stasiun televisi Inggris BBC mengatakan bahwa sebenarnya pengadilan AS bisa berbuat sesuatu. Katanya, "Saya kira jalan keluar dari situasi ini tetap berada di tangan pengadilan Amerika. Pengadilan bisa meminta kasusnya diperiksa kembali. Seharusnya juga ada semacam kompensasi bagi semua keluarga dan mereka yang secara jelas bertanggung jawab atas hal itu harus diadili kembali."

Para tentara bayaran dari perusahaan keamanan Blackwater antara lain dituntut bertanggung jawab atas kematian 14 warga sipil Irak dan terlukanya 18 warga sipil. Peristiwa itu terjadi pada September 2007 di Baghdad, beberapa saat setelah sebuah bom mobil meledak, serdadu bayaran itu melepaskan tembakan ke segala penjuru, karena merasa keselamatannya terancam. Warga Irak yang menjadi saksi mata menyangkal pengakuan para pekerja Blackwater tersebut. Pemerintah Irak juga menyatakan, warga sipil yang menjadi korban tewas adalah 17 orang.

Jenderal Raymond Odierno, panglima pasukan Amerika Serikat di Irak, mengkhawatirkan kemungkinan serangan balik. Kepada media di Baghdad Odierno mengatakan bahwa dirinya juga marah ketika orang-orang yang kemungkinan telah melakukan kejahatan, tidak mendapatkan konsekuensi apa pun. Setelah runtuhnya rezim Saddam Hussein, para tentara swasta perusahaan Blackwater berbuat seenaknya di Irak.

Awalnya adalah Lewis Paul Bremer, utusan khusus departemen pertahanan AS di Irak yang memberikan kekebalan hukum terhadap para pekerja Blackwater. Kekebalan hukum yang disebut sebagai "perintah nomor 17" itu diberikan Bremer beberapa saat sebelum masa tugas Bremer berakhir pada bulan Juni 2004.

Juru bicara pemerintah Irak Ali al-Dabbagh mengomentari hak imunitas yang dimiliki para serdadu bayaran Blackwater, "Mereka menikmati imunitas yang berlaku sejak era okupasi AS. Ada tindakan yang memang diperintahkan pada saat dinas, tapi itu sekarang sudah tidak ada, tapi kami pikir mereka tidak mengikuti aturannya, yang merupakan hukum perang dan menggunakan kekuatan yang berlebihan. Mereka bahkan melanggar aturan yang telah diadopsi oleh Paul Bremer. Sebab itu kita menganggap mereka bertanggung jawab sepenuhnya dan kami akan mengikuti perkembangan kasus ini baik di Irak maupun di AS. Kami tidak akan pernah menyerah dalam melindungi hak-hak warga kami. Kami merasa ini adalah kasus kriminal dan kami memiliki bukti-bukti yang lengkap."

Sejak lama pasukan keamanan asing di Irak beroperasi di wilayah abu-abu hukum. Baru November tahun lalu, hak imunitas ini dicabut untuk selamanya, dengan pemberlakuan perjanjian baru antara Washington dan Baghdad. Dalam perjanjian itu Baghdad memenangkan konsensi untuk mencabut hak imunitas hukum yang diberikan pemerintah di Washington kepada kontraktor keamanan AS.

Blackwater mengakhiri tugasnya di Irak bulan Mei tahun lalu, setelah departemen pertahanan AS menolak memperpanjang kontrak tahunan Blackwater.

Satu-satunya pihak yang menyambut baik keputusan hakim adalah pemimpin perusahaan Blackwater yang kini bernama Xe Services. Direktur XE Services, Joseph Yorio mengatakan bahwa sejak awal Xe membela ratusan karyawannya yang bertugas di daerah berbahaya demi melindungi para diplomat AS di Baghdad dan zona perang lainnya di Irak.

Perusahaan itu berganti nama pada bulan Februari 2009 dengan alasan perubahan visi dan misi. Meski para kritikus mengatakan bahwa perubahan nama itu merupakan upaya perbaikan citra setelah hancur oleh pekerjanya dalam menjalankan tugas di Irak.

Berpusat di North Carolina, Blackwater merupakan salah satu perusahaan jasa keamanan yang bertugas di Irak. Di Irak, Blackwater menugaskan 1000 karyawan untuk melindungi pekerja pemerintah AS sejak invasi AS di Irak pada tahun 2003.

Carsten Kühntopp/afp/Luky Setyarini

Editor: Rizki Nugraha