1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Bencana

Balaroa dan Petobo Terancam Jadi Kuburan Massal

4 Oktober 2018

Lumpur akibat likuifaksi tanah yang menimbun sebagian penduduk di Balaroa dan Petobo mulai mengeras. Relawan mengkhawatirkan jumlah korban jiwa yang sesungguhnya dari bencana Sulawesi tidak akan pernah diketahui.

https://p.dw.com/p/35wsq
Citra satelit yang disediakan DigitalGlobe menunjukkan desa Balaroa sebelum dan sesudah gempa bumi.
Citra satelit yang disediakan DigitalGlobe menunjukkan desa Balaroa sebelum dan sesudah gempa bumi.Foto: picture-alliance/DigitalGlobe

Desa Petobo Lenyap Ditelan Bumi

Ketika aliran bantuan perlahan mulai mengalir ke kawasan terpencil, harapan menemukan korban selamat menipis di kawasan Petobo dan Balaroa. Dua desa berpenghuni padat di selatan Palu itu dilahap lumpur menyusul likuifaksi tanah akibat gempa bumi. Setelah hampir sepekan, lumpur yang diyakini mengubur ribuan rumah bersama penghuninya itu mulai mengeras.

Sebab itu pula tim evakuasi dan relawan mengkhawatirkan jumlah korban jiwa yang sesungguhnya tidak akan pernah diketahui.  Relawan Palang Merah mengatakan Petobo yang dihuni 500 orang "menghilang" dari muka Bumi pasca bencana. Rekaman drone Palang Merah Indonesia yang diterbangkan Rabu (03/10) menunjukkan kehancuran dan amblasnya rumah warga hingga ke atap akibat ditelan likuifikasi.

"Mereka mendapati kehancuran dan tragedi di mana-mana," kata Iris van Deinse dari Federasi Palang Merah Internasional (IFRC). Saat ini tim penyelamat menggunakan alat berat untuk mencari jenazah 52 bocah yang lenyap, 35 di antaranya sudah ditemukan.

Baca Juga: Korban Jiwa Capai 1.407, Empat Negara Asing Kirimkan Hercules

Balaroa Ditelan likuifikasi tanah

Kehancuran serupa juga ditemukan di Balaroa. Desa yang hingga Jumat (28/9) pekan lalu masih dihuni oleh 2.000 orang itu kini nyaris rata dengan tanah. Dikhawatirkan 70% penduduk setempat meninggal dunia. Saat ini lebih dari 1.000 orang masih dinyatakan hilang.

Abdullah Sidik, seorang penduduk Balaroa, sedang menuju masjid untuk menunaikan sholat maghrib ketika gempa bumi meluluhlantakkan Palu. Ia langsung bergegas mencari isteri dan anak perempuannya. "Tanah terdorong ke atas," ujarnya. "Pada saat itu, saya terhuyung-huyung dan dihantam tembok dari belakang. Saya tidak bisa melakukan apapun dan saya kehilangan isteri dan anak saya."

"Saya ingin menguburkan mereka. Tolong bantu saya menemukan mereka di dalam."

Penduduk berkisah puluhan rumah bergeser puluhan meter akibat likuifaksi tanah. Sebagian menggunakan palu dan sekop untuk menggali rumah buat mencari sanak famili yang hilang.

"Kalau Anda berjalan di atas pasir basah di bibir pantai, biasanya permukaannya padat meski Anda meninggalkan jejak," kata Adam Switzer dari Observatorium Bumi di Singapura ihwal fenomena pencairan tanah. "Tapi jika Anda berdiri tegap dan memutar kaki anda ke dalam tanah, maka permukaannya akan berubah lembut dan menjadi tidak stabil. Inilah yang terjadi selama likuifaksi."

Jumlah korban tewas terus meningkat

Bencana gempa bumi yang menggoyang Sulawesi Tengah sampai saat ini sudah menelan setidaknya 1.424 korban jiwa, demikian keterangan resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Saat ini pasokan bahan bakar dan air bersih sudah berangsur normal. Meski demikian sebagian korban yang selamat masih belum tertangani secara maksimal.

Baca Juga: Kembali ke Palu, Jokowi Kawal Proses Penyaluran Bantuan

Kondisi ini terutama dirasakan sekitar 600.000 anak-anak yang terdampak bencana. Organisasi Save the Children mengakui masih banyak bocah yang menjadi yatim piatu dan terpaksa tidur di reruntuhan gedung. Sebagian anak-anak hidup sendiri karena terpisah dari kedua orangtuanya.

Beruntung sejumlah organisasi turun tangan membantu mereka menemukan keluarga terdekat. "Sulit membayangkan situasi yang lebih menakutkan untuk anak kecil," kata Zubedy Koteng, relawan perlindungan anak-anak di Palu. "Banyak anak-anak yang mengalami syok dan trauma, mereka sendirian dan ketakutan."

rzn/as (ap,rtr,dpa)