1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bank Sampah, Mengubah Pandangan tentang Sampah

Noni Arni2 Maret 2009

Menyimpan sampah, terdengar paradoks. Sebab sampah adalah sesuatu yang biasanya kita buang. Tapi inilah yang dilakukan warga Badegan, Bantul, Yogyakarta. Mereka mengumpulkan, menyimpan lalu bahkan menabung sampahnya.

https://p.dw.com/p/H3ra
Foto: DW-TV

Pukul 4 sore, warga terlihat berkerumun di sebuah bangunan sederhana yang berukuran 8 kali 12 meter. Lantainya tanah, tanpa pintu dan jendela. Di tembok tak bercat terpampang spanduk besar bertuliskan Bank Sampah Gemah Ripah. Sedangkan di kiri kanan dinding tertempel tulisan ajakan membuang sampah dan tumpukan puluhan kantong sampah. Mereka yang berkumpul adalah nasabah bank sampah gemah ripah. Bukan bank biasa, tidak ada lantai keramik, perangkat komputer maupun petugas berseragam.

Ismiyati dan beberapa warga menunggu dalam antrian sambil ngobrol di depan meja petugas bank. Tangannya menenteng 2 kantong berisi sampah kertas dan plastik yang sudah dipilah. Ismiyati disambut Galuh dan Sita, dua petugas bank yang biasa disebut teller. Ismiyati lalu menyerahkan tabungannya. Bukan dalam bentuk uang, melainkan sampah yang ditentengnya. Dengan cekatan, Galuh menimbang dan melabeli tas isi sampah itu, sementara Sita mencatat berat sampah di buku tabungan. Hanya butuh waktu 3 menit, Ismiyati sudah menerima bukti penyetoran sampah. Semua pencatatan dilakukan dengan tangan.

Setiap kantong sampah milik nasabah atau penabung diberi label agar tidak tertukar dengan nasabah lain. Kemudian kantong sampah itu disimpan dalam bilik penyimpanan sampah sesuai jenisnya. Teller mencatat dan mencocokkan lagi semua penyetoran nasabah dalam buku besar yang disebut buku induk.

Lalu apa yang terjadi dengan sampah yang dibawa nasabah ini? Menurut petugas bank Galuh, dalam seminggu sampah yang terkumpul bisa mencapai 70 kilogram. Sampah ini secara berkala disetor ke tukang barang rongsokan. Mereka disebut pengepul rosok. Merekalah nanti yang akan menghitung nilai ekonomis setiap sampah yang ditabung nasabah. Jadi petugas bank tidak menentukan berapa nilai sampah nasabahnya. Demikian dijelaskan Galuh.

Memang yang mengetahui nilai sampah adalah para pengepul rosok. Mereka yang sehari-hari melakukan jual beli sampah, seperti Nasrulloh. Ia memang harus meluangkan waktu datang ke bank sampah untuk menaksir nilai sampah tiap nasabah. Tapi sebagai pedagang, ia juga diuntungkan dengan adanya bank sampah. Baginya, tidak telalu susah mencari barang.

Tak ada batasan berat sampah yang ditabung nasabah. Sampah yang dikumpulkan lebih dulu harus dipilah. Setiap penabung mendapat tiga kantong sampah gratis yang telah diberi nama dan nomor rekening. Kantong 1 untuk sampah plastik, kantong 2 sampah kertas, dan kantong 3 untuk sampah kaleng dan botol. Jadi sebelum ditabung, setiap nasabah diharuskan memilah sampah terlebih dahulu sesuai jenisnya, baik kertas, kaleng dan botol.

Bank Sampah Gemah Ripah dibuka tiga hari seminggu, Senin, Rabu, dan Jumat jam 4 sore hingga 8 malam.

Bagaimana pengalaman para nasabah? Ismiyati mengaku senang menjadi nasabah bank sampah. Meski pada awalnya ia merasa malu menenteng sampah untuk ditabung.

Adanya bank sampah menambah kesadaran warga tentang pengelolaan sampah. Kalau dulu warga membuang sampah sembarangan saja, karena kesulitan mencari tempat pembuangan resmi. Kata Ismiyati yang sekarang menjadi nasabah bank sampah.

Gagasan awal pendirian bank sampah ini datang dari Bambang Suwerda, dosen Politeknik Kesehatan Yogyakarta. Ia ingin mengubah pandangan masyarakat tentang sampah, bahwa sampah bisa dimanfaatkan jika dikelola dengan benar.

Pengelolaan bank sampah dilakukan secara sukarela. Petugas teller bank sampah, Galuh dan Sita bekerja tanpa dibayar.
Di bank sampah sekarang ada 10 orang yang sekarang bertugas. Bank sampah memotong dana 15 persen dari nilai sampah yang disetor nasabah. Dana itu digunakan untuk membiayai kegiatan operasional. Berbeda dengan bank biasa, nasabah hanya bisa mengambil tabungan tiga bulan sekali.

Penggagas bank sampah Bambang Suwerda menjelaskan mengapa:
“Dengan pertimbangan supaya nilai nominal dari para penabung terutama sampahnya itu besar rupiahnya, kalau diambil tiap hari itu nanti mungkin lama-lama tidak bersemangat untuk menabung karena rupiahnya sangat kecil. Tapi dengan jangka menengah ini, Ternyata bisa mendatangkan income lumayan .”

Di dusun Badegan ada sekitar 600 kepala keluarga. Sampai sekarang nasabah bank sampah baru 60 orang. Tapi Bambang Suwerda yakin, jumlah penabung akan bertambah. Memang kesadaran warga tentang masalah sampah masih rendah. Untuk itu, penjelasan tentang cara kerja dan gagasan bank sampah sekarang dilakukan secara rutin.

Untuk menjangkau warga yang tinggalnya jauh, ada sistem pengumpulan komunal. Petugas bank berkeliling mengambil sampah milik warga dititik yang sudah ditentukan. Tidak semua sampah yang ditabung nasabah disetor ke tukang rosok. Sebagian di antaranya, yakni jenis plastik sachet dan gabus, diolah menjadi aneka aksesori rumah tangga, seperti tas, dompet, hingga rompi, atau pot bunga. Barang-barang tersebut lalu dijual dengan harga 20 ribu Rupiah.

Bank Sampah Gemah Ripah milik warga Badegan adalah salah satu alternatif mengajak warga peduli dengan sampah, yang konsepnya mungkin dapat dikembangkan juga di wilayah lain. (yf)