1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bantuan Dana Pembangunan Bagi Negara Miskin: Janji Palsu?

7 Februari 2006

Negara-negara anggota G8 selalu membatalkan janji bantuan pembangunan mereka. Kanselir Jerman Angela Merkel nampaknya ingin mengubah kebiasaan itu. Merkel kini menyusun prioritas baru.

https://p.dw.com/p/CPX5
Kawasan kumuh di Kibera, Naerobi. 75.000 warga tinggal di lahan seluas 2 kali lapangan sepakbola
Kawasan kumuh di Kibera, Naerobi. 75.000 warga tinggal di lahan seluas 2 kali lapangan sepakbolaFoto: DW

Hampir 17 persen penduduk dunia berada di tingkat kemiskinan ekstrem. Definisi sangat miskin atau kemiskinan ekstrem menurut PBB adalah, jika seseorang harus hidup dengan uang kurang dari satu Dolar per hari. Jurang pemisah antara negara miskin di selatan dunia dan negara kaya di kawasan utara semakin lebar. Untuk itu PBB menyusun Tujuan Pembangunan Milenium, yaitu pendidikan dasar untuk semua orang, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, penurunan tingkat kematian anak, perbaikan kesehatan kaum ibu, perang melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit infeksi lainnya, perbaikan perlindungan lingkungan dan kerja sama pembangunan seluruh dunia.

Sasaran tersebut terdengar ambisius dan tentu saja memakan banyak biaya. Uang tersebut harus disediakan oleh negara-negara industri maju. Hingga selambatnya tahun 2015, mereka akan membiayai Tujuan Pembangunan Milenium tersebut sebesar 0,7 persen produk domestik bruto. Bagi Jerman, itu berarti mereka harus membayar sekitar dua kali lipat dari uang yang mereka bayarkan selama ini. Markus Löwe dari Institut Bantuan Pembangunan DIE di Bonn meragukan Jerman akan menepati janjinya:

"Itu tentu saja merupakan sasaran yang sangat muluk. Saat ini, saya tak dapat membayangkannya. Bantuan yang sudah dikeluarkan meningkat dalam dua tahun belakangan ini, terutama dalam hal pembebasan hutang negara dengan hutang terbesar. Jika nilai tahun 2005, yaitu 0,35 persen, harus dipertahankan, berarti pada dasarnya bantuan pembangunan harus ditambah.”

Pada pertengahan tahun 80an, nilai bantuan pembangunan yang diberikan Jerman masih senilai 0,5 persen produk domestik bruto mereka, lalu turun di tahun 1998 menjadi 0,26 persen.

Dengan berakhirnya Perang Dingin, berkurang juga minat terhadap politik bantuan pembangunan dalam politik luar negeri negara maju. Dan bila dibandingkan dengan Norwegia, Swedia atau Belanda, dengan dana bantuan pembangunan lebih dari 0,7 persen produk domestik brutonya, Jerman tidak bisa dikatakan menonjol dalam politik bantuan pembangunan.

Meski pun demikian, Jeffrey Sachs, penasehat khusus bagi Tasaran Pembangunan Milenium yakin bahwa Jerman akan menepati janjinya:

"Saya kira Jerman bersama negara Uni Eropa lainnya akan memenuhi kewajiban ini. Saya pikir negara-negara maju sadar, kenaikan dana pembangunan harus disalurkan untuk memenuhi kebutuhan darurat dan bantuan praktis untuk mengurangi kemiskinan, penyakit dan kelaparan.“

Stephen Lewis yang pernah bekerja untuk PBB lebih dari 20 tahun dan terakhir menjabat petugas khusus HIV/AIDS di Afrika terdengar lebih skeptis dari Sachs. Lewis mengatakan: "Tampaknya Jeffrey Sachs dengan mudah percaya pada pernyataan pemerintah Jerman pada KTT di Gleneagles. Dia bisa saja benar, tapi kita tidak akan tahu apa yang terjadi hingga tahun 2015.“

Lewis memulai karirnya di PBB sebagai duta besar Kanada dan selalu mengkritik tajam negara donor. Dia selalu menemukan bahwa pemerintah negara-negara maju tidak memegang janji mereka. Lewis mengungkapkan: "Saya memiliki pandangan skeptis yang sehat, bahwa ada perbedaan besar antara janji dan kenyataannya. Saya harus menunggu apa yang akan terjadi. Saya tidak bisa begitu saja percaya, saya harus lihat dengan mata kepala sendiri.“

Di satu sisi, Sachs, Lewis dan pengamat lainnya sepakat bahwa Jerman sebagai Ketua Dewan Eropa dan G8 akan memprioritaskan politik bantuan pembangunan. Negara-negara anggota G8 harus memenuhi janji dalam pemberian dana bantuan pembangunan. Jeffrey Sachs sangat optimis terhadap hal tersebut.

"Harus terjadi. Janji sudah diucapkan dan saya kira Jerman sebagai tuan rumah KTT G8 tahun ini bersama negara anggota G8 lainnya berusaha untuk memenuhi janji tersebut.“

Komitmen Jerman sebagai Ketua Dewan Eropa dan pemimpin perkumpulan negara G8 untuk memprioritaskan pemberian dana bantuan pembangunan ke negara-negara terbelakang rupanya sungguh-sungguh ingin diwujudkan. Salah satunya adalah dengan bekerja sama dengan organisasi internasional yang bergerak di bidang kesehatan dan pembangunan negara miskin.

Penanggung jawab bagian Hubungan Internasional Global Fund Christoph Benn menceritakan perwujudan komitmen pemerintah Jerman:

“Jerman tahun ini memegang tampuk kepemimpinan di Uni Eropa dan G8. Dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Kanselir Merkel sangat jelas mengisyaratkan hal tersebut.“

The Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria atau singkatnya Global Fund merupakan organisasi buah kerjasama antar pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta dan komunitas yang terkena dampak tiga penyakit mematikan di dunia. 80 persen dana bantuan yang disalurkan Global Fund berasal dari negara-negara anggota G8.

Tujuan Global Fund jelas disebut dalam sebagian namanya, untuk memerangi AIDS, tuberkulosis (TBC) dan malaria. Namun Global Fund tidak berfungsi sebagai pelaksana program bantuan, melainkan mengandalkan ilmu dan pengalaman ahli-ahli lokal.

Sebagai lembaga penyalur dana bantuan, Global Fund bekerja sama dengan organisasi internasional dan bilateral lain yang bergerak di bidang kesehatan dan pembangunan serta memastikan program bantuan yang baru dapat berkoordinasi dengan program bantuan yang sudah berjalan.

Dengan konsentrasi berperang melawan tiga penyakit infeksi mematikan dunia, sejak tahun 2001 Global Fund berhasil menarik dana sebesar 4,7 milyar dollar AS untuk disalurkan ke program-program bantuan kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang hingga tahun 2008. Dalam dua putaran, 1,5 milyar Dollar AS dana bantuan disalurkan ke 154 program di 93 negara di dunia. Tapi karena AIDS, TBC, dan malaria lebih banyak menimpa masyarakat penduduk Afrika, 61 persen dana pada putaran pertama dan kedua diberikan untuk membiayai program di kawasan sub sahara Afrika.

Hampir 60 persen dana tersebut digunakan untuk memerangi AIDS, 17 persen untuk malaria dan 14 persen dana digunakan untuk melawan TBC.

Namun akibat seringnya negara anggota G8 mengulur janji pembayaran dana bantuan, dalam dua tahun belakangan ini Global Fund sempat mengalami kesulitan keuangan. Dengan terlontarnya komitmen Jerman untuk lebih serius membantu negara miskin, Stephen Lewis berkomentar:

"Kanselir Jerman saat ini nampaknya lebih enerjik ketika membicarakan dukungan terhadap Afrika dan bantuan pembangunan internasional. Perubahan terlihat jelas dari bahasa tubuh dan nada bicaranya.“

Tapi menurut Lewis, tahun 2015 masih jauh dan keputusan G8 di saat itu belum bisa diperkirakan sekarang. Jika perkiraan Lewis benar, negara industri seharusnya sudah membayar 0,7 persen. Pertama kalinya PBB menetapkan nilai tersebut lebih dari 35 tahun lalu. Mulai saat itu, nilai kuota tersebut membayangi setiap resolusi dan perjanjian internasional.

Hanya beberapa negara yang mempertahankan nilai 0,7 persen tersebut. Norwegia dan Swedia malah membayar dana bantuan senilai 0,94 persen produk domestik bruto di tahun 2005. Kedua negara tersebut menunjukkan, memenuhi kewajiban kepada seluruh dunia tidak merusak perekonomian dalam negeri.