1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bayang-Bayang Ambisi kekuasaan Militer Thailand

27 September 2006

Pimpinan Militer Thailand nampaknya ingin tetap memegang kekuasaan, juga setelah pemerintahan sipil transisi terbentuk.

https://p.dw.com/p/CPBk
Seorang tentara thailand berjaga-jaga di pusat kota Bangkok
Seorang tentara thailand berjaga-jaga di pusat kota BangkokFoto: AP

Pemimpin kudeta, Jendral Sonthi Boonyaratgalin mengatakan bahwa apa yang disebut dewan reformasi demokrasi yang nantinya berfungsi sebagai dewan keamanan nasional, akan tetap bekerja sama dengan pemerintah.

Hal ini diperlukan, agar lembaga eksekutif tetap dapat bekerja tanpa penundaan. Jendral Winnai Pattiyakul menyatakan, bahwa militer tidak akan menjadi majikan pemerintah, demikian pula pemerintah tidak akan menjadi majikan militer”.

Siapa yang akan memimpin pemerintah sipil sementara sebagai perdana menteri , hingga kini masih belum jelas. Jendral Sonthi Boonyaratglin mengatakan:

Boonyaratglin:Saya telah menyiapkan sesorang, tetapi lebih baik saya tidak menyebutkan namanya sekarang. Hingga mereka yang disebut menjadi calon tidak memiliki perasaan buruk”

Tokoh yang kemungkinan diunggulkan nanti adalah mantan general manager Organisasi Perdagangan Dunia-WTO. Supachai Panitchpakdi yang baru beberapa hari menempati kantornya di Thailand. Saat ini ia menjabat sekretaris jendral UNCTAD, PBB. Ia memiliki banyak pengaruh karena juga pernah menduduki posisi sebagai Direktur Bank militer Thailand.

Disamping pembentukan sebuah pemerintahan sementara, di Thailand juga akan diajukan konstitusi transisi yang akan diumumkan minggu ini. Sebuah dewan konstituante akan menyusunnya bagi Thailand. Dalam tempo 6 bulan, sebuah referendum akan diselenggarakan untuk menyepakati konstitusi baru tersebut. Dalam waktu setahun, direncanakan pemilihan umum baru.

Meskipun larangan berkumpul telah diberlakukan, mahasiswa universitas Thammasat di Bangkok tetap berdemonstrasi melawan militer. Sekitar 50 mahasiswa dan pengajar ambil bagian pada aksi duduk damai dimuka gedung universitas. Para demontran ini membagikan edaran yang menuntut pimpinan militer segera mengembalikan kekuasaan pada rakyat. Seorang mahasiswa mengatakan,

„Memang benar, banyak mahasiswa yang tak puas denga Thaksin, namun kudeta militer merusak perkembangan demokrasi Thailand. Bila terjadi lagi sebuah krisis politik, maka bisa dipastikan militer akan campur tangan.“

Sementara mahasiswa lain berpendapat,

“Setiap kudeta militer mengarah pada kekerasan. Contohnya seperti yang terjadi pada Mei 1992”

Februari 1991, militer Thailand menggulingkan pemerintahan terpilih. Pemilihan berikutnya diselenggarakan pada Maret 1992 dan tidak ada partai yang meraih suara mayoritas untuk membentuk pemerintahan. Dekrit kerajaan menunjuk jendral Suchinda Kraprayoon sebagai perdana menteri. Akibatnya: terjadi bentrokan berdarah pada 18 Mei 1992 di depan istana raja, tepat dimuka monumen demokrasi di Bangkok. Saat itu, tentara menembaki para demontran dengan senapan mesin.