1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bebas Berekspresi Lewat Blogs di Singapura (bagian 1)

8 Mei 2011

Singapura merupakan negara yang dianggap banyak larangan. Namun 1997, pemerintahnya menyatakan tak akan campur tangan di internet. Bagi warga Singapura, peluang ini mereka gunakan untuk berekspresi secara bebas.

https://p.dw.com/p/11B1S
Foto: picture-alliance/dpa

Alex Waipang Au seorang aktivis yang dikenal memperjuangkan hak kaum gay dan kebebasan bersuara. Ia adalah salah satu orang pertama di Singapura yang menggunakan internet untuk mengekspresikan pendapatnya. Tahun 1996, ia meluncurkan blognya, bernama "People Like Us" atau "orang-orang seperti kami". Tak lama berselang ia mulai menulis mengenai berbagai isu politik yang menjadi perhatiannya. Pesatnya perkembangan internet memudahkan upaya-upaya memperkuat masyarakat sipil.

Tuturnya, "Kami menggunakan internet untuk membangun hubungan dengan kelompok kami masing-masing, kaum gay dengan kaum gay, kaum lesbian dengan kaum lesbian begitu, tapi juga berusaha mendidik publik tentang permasalahan yang dihadapi masing-masing kelompok masyarakat sipil. Selain itu, juga berusaha mengubah pendapat orang. Internet merupakan platform yang berguna, terutama di negara seperti Singapura yang medianya dikontrol pemerintah dan kerap menghindar berbagi tema yang dinilai sensitif"

Speakers Corner in Singapur
Foto: AP

Ruang Berkspresi Kritis

Di negara tetangga Indonesia ini, kritik terhadap pemerintah merupakan barang langka. Politisi oposisi maupun media asing berulang kali harus membayar denda mahal, ketika laporannya dinilai merusak nama baik anggota pemerintah. Untungnya menurut Alex Au, meski pemerintah mengawasi media cetak dan penyiaran, internet relatif bebas. Dijelaskannya, pada tahun 1997 pemerintah Singapura menyatakan tidak akan campur tangan dalam penerbitan di internet. Kebebasan ini memberi ruang bagi pengguna, yang bagai benih di tanah subur, tumbuh mewarnai internet dengan blogs berbagai haluan.

www.mrbrown.com yang dibuat oleh satiris terpopuler di Singapura, Lee Kin Mun menayangkan sandiwara ringkas dan lucu yang mensketsa situasi di negara itu. Termasuk soal pemilu dan upaya partai yang memerintah untuk tetap berkuasa.Diluncurkan tahun 1997, mr brown setiap harinya meraup sekitar 6000 hingga 10 ribu kliks. Podcastnya yang membuat pendengarnya terpingkal-pingkal bisa diunduh sampai 20 ribu kali dalam seminggu. Menjelang pemilu, angka itu melejit 3 kali lipat.

Singapur - Singapore River
Foto: picture-alliance/ ZB

Namun menurut Alex Au yang juga mengamati situs-situs politik sosial, di luar internet, pemberitaan mengenai pemilu tidak banyak berubah. "Media mainstream masih cenderung bias dan memberitakan pandangan partai yang memerintah. Sedangkan media internet yang jangkauannya kini lebih besar, cenderung lebih pro partai oposisi, jadi tampaknya agak berimbang, Meski begitu, saya kira pengaruh media mainstream - televisi, surat kabar masih memiliki pengaruh lebih kuat."

Cerita yang tidak muncul

Ketimpangan itu merupakan salah satu alasan mengapa Alex Au menilai bahwa pemilu di Sigapura belum bisa disebut bebas dan adil. Berpandangan serupa adalah sebuah kelompok yang mengelola pewarta internet, The Online Citizen.

12.07.2010 global 3000 singapur 2

Diluncurkan tahun 2006, The Online Citizen ingin menyampaikan cerita-cerita tentang Singapura, dan warganya, yang tidak muncul dalam media utama. Pada situsnya terdapat buletin, berisikan jadwal acara atau pagelaran yang menarik, serta daftar kampanye masyarakat sipil yang bisa didukung oleh pembaca. Selain itu, terdapat rangkaian berita serta kutipan dan komentar. Juga sejumlah blog dan situs lainnya yang direkomendasikan untuk dibaca.

Khusus untuk pemilu Singapura tahun ini, ada hampir 40 sukarelawan yang turut meliput di lapangan. Mereka berkontribusi dengan berbagai cara. Ada yang menulis, ada yang memotret, ada pula yang membuat video, menyiapkan dan mengantarkan peralatan hingga mengerjakan layout situsnya. Seperti kedua pendiri TOC, Andre Loh dan Choo Zheng Xi, pada awalnya para relawan menilai bahwa Singapura membutuhkan informasi alternatif. (bersambung)

Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk