1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Begini Halal Begitu Haram

Nadya Karima Melati
3 November 2018

Sebuah kisah berjudul “Baby Mau Masuk Islam” karya Feby Indirani dalam kumpulan cerpen Bukan Perawan Maria membuat saya tergelitik. Mengapa demikian? Simak opini Nadya Karima Melati.

https://p.dw.com/p/361Iz
Halal Essen Supermarkt
Foto: Miguel Medina/AFP/Getty Images

Cerpen itu bercerita tentang babi selalu dicap haram oleh masyarakat muslim ingin masuk Islam dengan dua kalimat syahadat, supaya babi tersebut bisa menjadi bahan pangan bagi kelompok beragama lain yang kelaparan.

Cerpen itu jeli menangkap dan mengkritisi hal-hal yang terjadi pada kita dalam beragama, khususnya Islam yang menjadi agama mayoritas di Indonesia. Tepat sebelum membaca cerpen tersebut, saya juga menangkap sebuah fenomena keranjingan produk Islami bagi umat, segala hal harus bernuansa Islam ataupun berlabel halal, hampir segala hal mulai dari penampilan selebriti sampai profil instagram. Jika dilihat sepintas, nampaknya umat muslim ini sedang senang beragama.

Hal itu sebetulnya bagus karena beragama mengasah kepekaan dan kepedulian sosial. Tapi bagaimana jika keislaman yang sedang terjadi ditangkap berlebihan seperti dalam cerpen Feby tersebut, alih-alih peduli dengan kemiskinan dan kelaparan, umat muslim menjadi lebih peduli dengan label halal dan haram.

Penulis; Nadya Karima Melati
Penulis; Nadya Karima MelatiFoto: Nadya Karima Melati

Label Jadi Pedoman

Jenjang sejarah kehidupan manusia biasanya dilacak secara linier dimulai dari berburu dan meramu, menetap dan bercocok tanam, lalu perdagangan dan industri. Jika berpedoman pada siklus linier tersebut, kita yang hidup di kota besar Indonesia berada pada fase ketiga yakni perdagangan dan industri. Hari ini kita tidak memproduksi sendiri makanan.

Semua makanan yang kita butuhkan untuk bertahan hidup sehari-hari berasal dari supermarket, tukang sayur, warteg ataupun penjual bakso pinggir jalan. Sedikit sekali dari kita yang memasak atau bahkan menanam bahan pangan untuk konsumsi setiap hari.

Industri, khususnya industri pangan mulai dari penanaman, perikanan, pemotongan hewan hingga pengolahan dan pengemasan menjadi vital. Jika pada masa bercocok tanam kita bisa mengolah dan mengontrol sendiri bahan-bahan yang masuk ke tubuh, dewasa ini akibat ketergantungan pada industri, label menjadi pedoman bagi manusia untuk mengontrol apa-apa saja dikonsumsi.

Label terdapat pada seluruh makanan bersertifikasi yang dijual di pasaran. Kewajiban memasang label adalah perintah negara.

Negara hadir untuk mengawasi produk-produk hasil industri ini melalui kewajiban mencantumkan bahan-bahan komposisi dan kandungan pada bungkus kemasan makanan. Hal ini dilakukan supaya warga negara menjadi sadar bahan apa saja yang akan masuk ke dalam tubuhnya dan supaya industri jujur tentang bahan-bahan apa saja yang terkandung. Label menjadi penting karena dia memberi tahu kandungan dan asal-muasal makanan yang akan kita makan.

Walau begitu, label bukan jaminan. Di kontingen Eropa, selain mencantumkan kandungan kimia yang terkandung, produk-produk makanan juga diawasi oleh lembaga independen di luar negara dan perusahaan untuk memastikan tidak terjadi kecurangan pada label dan kandungan makanan. Karena pada prinsipnya, industri akan melakukan segala cara untuk mendapat keuntungan lebih banyak.

Banyak hal dilakukan seperti mengganti gula alami dengan pemanis buatan, memberikan pengawet sebagai campuran agar makanan di kemasan lebih tahan lama, banyak rasa-rasa yang kita cicip sehari-hari adalah artifisial alias palsu. Kripik rasa telur asin tidak menggunakan telur asin sungguhan dalam pembuatannya, apabila benar-benar menggunakan paling komposisinya tidak sampai 1% dari seluruh bahan.

Selain mengganti bahan utama dengan bahan artifisial, industri juga jeli untuk melihat potensi pasar. Masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat literasi yang rendah, sedikit orang yang mau peduli pada label kandungan makanan yang biasanya terdapat di balik kemasan. Hal ini ditunjang dengan label yang kecil dan sulit dibaca, juga banyaknya nama-nama bahan kimiawi yang tidak familiar.

Tidak ada lembaga independen yang mengawasi produk makanan jadi, kita hanya punya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Bagaimana menjamin makanan selain layak juga tidak merusak tubuh?

Untuk itu muncullah label-label yang lain selain komposisi sebut saja: label halal, alami, organik, tanpa pemanis buatan, bebas pengawet, dst.

Seberapa Pentingnya Label Halal?

Label-label tambahan seperti halal, organik, bebas pengawet itu punya nilai lebihdaripada produk biasa yang dijual dan ini adalah sebuah pengecohan tingkat lanjut yang dilakukan industri pangan. Khususnya pada pasar Indonesia yang kepedulian membaca komposisi makanan yang rendah dan tren keislaman.

Banyak Industri yang berlomba-lomba menggarap pasar ini sebanyak-banyaknya. Tidak hanya pada makanan di mana pertarungan halal dan haram biasanya dibicarakan, produk-produk lain yang tidak masuk perut berlomba untuk menggunakan label tambahan, supaya produknya mendapat nilai lebih dengan menjual label.

Siapa yang tidak terkejut dengan kulkas dengan label halal ataupun selendang dengan label halal? Halal menurut definisi adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat untuk dikonsumsi. Terutama, dalam hal makanan dan minuman.

Keharusan umat muslim untuk berkonsumsi halal salah satunya datang dari QS Al Baqarah 2:168 "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terbaik di bumi.” Lawan dari halal adalah haram, dan pada kasus bahan makanan, bahan makanan halal jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang haram. Bahan makanan haram bisa dihitung dengan jari, sebut saja babi, alkohol dan daging sapi/kambing/ayam yang tidak disembelih dengan cara Islam. Sedangkan makanan halal berlimpah jumlahnya, seluruh ikan dan sayur-sayuran adalah halal.

Oleh karena itu, makanan haram lebih bisa ditandai dan dihindari, apalagi jika kita tinggal di Indonesia. Label halal seperti yang dilakukan oleh MUI adalah label otoritas dan kekuasaan, bukan jaminan kehalalan konsumsi.

Label halal MUI dibuat untuk memastikan kandungan dalam produk sebatas bahan-bahan. Sedangkan definisi bahan makanan halal terbatas pada penyembelihan daging dengan syahadat, tidak mengandung alkohol atau memastikan produk artifisial tidak dibuat menggunakan bagian dari tubuh babi.

Sayangnya label halal MUI tidak memberikan syarat halal makanan lainnya seperti: tidak berbahaya bagi tubuh dengan kandungan gula dan minyak yang banyak, penggunaan pengawet atau eksploitasi buruh yang bekerja untuk menghasilkan produk tersebut. Sebab halal tidak sekedar tidak mengandung babi. Halal adalah keseluruhan proses ketika produk itu dibuat hingga saat dia masuk dan bereaksi dengan tubuh.

Dengan menjamurnya produk-produk berlabel halal, ternyata label tersebut tidak pernah membantu umat muslim untuk menjadikan agama agar menjadi peduli kepada diri atau sesamanya. Label halal adalah harga lebih yang kita bayar kepada industri, dan tentang kepatuhan kita pada kuasa.

Penulis @Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.