1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Belajar dari Krisis AirAsia dan Lion Air

20 Februari 2015

Ada pelajaran menarik bagi manajemen perusahaan dari ribut-ribut terakhir menyangkut Maskapai Penerbangan Lion Air. Yanuar Rizky membandingkan gaya kerja Tony Fernandes (AirAsia) dan Rusdi Kirana (Lion Air).

https://p.dw.com/p/1Ef5y
Foto: picture-alliance/dpa/BARBARA WALTON

Dari sisi segmentasi strategi bisnis AirAsia dan Lion Air sama, yaitu penerbangan komersial yang menjadikan harga tiket sebagai variable kompetitifnya dalam memenangkan pangsa pasar.

Segmentasi strategi dengan "harga" sebagai variabel kompetitif (competitive advantage) sering kali dihantam dari sisi persaingan daya bandingnya (comparative advantage).

Misalnya, Menteri Perhubungan Ignatius Jonan ketika kecelakaan AirAsia, respon pertamanya adalah karena faktor keamanan, yang merupakan biaya yang harus ditanggung sebagai resiko penurunan harga. Sehingga, respon deregulasinya adalah mengubah batas bawah harga penerbangan.

Kita lupakan dulu soal "pricing deregulation" itu. Karena itu sifatnya lingkungan eksternal, regulator, yang harus dihadapi oleh perusahaan penerbangan. Kita coba meraba sisi internal, yaitu energi strategis yang dapat dikendalikan dari insiatif perusahaan itu sendiri.

Kalau dilihat dalam kondisi krisis, disaat model pemberitaan dan media sosial begitu demokratis dan berisiknya, maka manajemen krisis dalam bentuk sinyal ke pasar menjadi penting, sebagai variabel yang bisa mencegah pemburukan reputasi perusahaan dalam jangka pendek, menengah dan panjang (daya banding di industri, comparative advantage).

Indonesien Yanuar Rizky Experte für Wirtschaft und Politik
Yanuar Rizky, pengamat masalah Politik Ekonomi, Akuntansi dan Pasar ModalFoto: privat

Kalau kita pakai analisa daya banding sebagai acuan, maka Tony Fernandes begitu responsive saat AirAsia mengalami krisis. Dia aktif di Twitter menunjukkan simpati, dan manajemen puncak juga langsung hadir. Ini baik bagi mental bawahannya maupun korban, serta tentu saja sinyal bagi pelanggan potensialnya untuk tetap percaya pada reputasi manajemennya.

Kita melihat, ketika pesawat AirAsia QZ8501 hilang, Tony Fernandes datang ke bandara, menghadapi "head to head" ketika Menteri Perhubungan Jonan marah-marah. Menjaga soliditas karyawannya untuk hadir disaat krisis, bukan terus malah semua takut menghadapi "cerewet" dan marahnya otoritas dan konsumen.

#Di titik kontras inilah kita belajar, menghadapi krisis dengan tidak menghindarinya adalah sebuah #chairmanLearning, pelajaran bagi manajemen dan pemimpin perusahaan. Ini tidak terjadi di Lion Air pada kasus aktual. Bisa kita lihat, situasinya tambah kacau, bahkan ground crew pun banyak yang tidak tahan menghadapi massa.

Disisi lain, resiko pebisnis yang juga masuk politik sebenarnya juga harus dihitung cermat. Posisi Rusdi Kirana sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menambah variabel reputasi makin melebar kearah politik. Bahkan, ukuran konsistensi "galak" pun menjalar ke penilaian publik terhadap Menteri Perhubungan Jonan. Inilah konsekuensi pemimpin perusahaan yang juga berpolitik.

Mana yang benar dan salah bukan inti dari tulisan ini. Ini hanyalah tulisan tentang strategi manajemen, sebagai pembelajaran bagi saya pribadi, dan syukur-syukur berguna juga untuk pembelajaran bersama.

Yanuar Rizky, Chairman BIG (Bejana Investidata Globalindo), pengamat masalah Politik Ekonomi, Sistem Informasi, Akuntansi dan Pasar Modal. Tulisan ini dirilis di elrizky.net (http://rizky.elrizky.net) dengan judul "Belajar Manajemen Krisis dari Air Asia dan Lion Air", 20 Februari 2015.