1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Di Tengah Pandemi, Negara Asia Terancam Bencana Alam

17 April 2020

Pandemi corona yang berkecamuk di Asia bukan satu-satunya ancaman terhadap keselamatan publik. Sejumlah negara dikabarkan sedang akan memasuki musim topan dan terancam gelombang panas serta bencana kekeringan.

https://p.dw.com/p/3b37C
Musim kemarau tahun ini tidak hanya diprediksi akan membawa bencana kekeringan, tetapi juga kebakaran hutan berkepanjangan.
Musim kemarau tahun ini tidak hanya diprediksi akan membawa bencana kekeringan, tetapi juga kebakaran hutan berkepanjangan.Foto: Reuters/W. Kurniawan

Bagai abu di atas tanggul, sejumlah negara yang sedang kelimpungan menghadapi wabah COVID-19 juga terancam oleh bencana alam dalam beberapa bulan ke depan.  

Cuaca ekstrem semisal badai, gelombang panas dan bencana banjir diprediksi akan melanda sejumlah kawasan Asia, dari India hingga Filipina, tahun ini. 

“India yang saat ini sedang lumpuh oleh karantina total akan memasuki musim siklon pada dua pekan mendatang”, kata Kamal Kishore dari otoritas kebencanaan nasional. “Jika ingin menaati aturan pembatasan jarak sosial, pemerintah diimbau untuk menggandakan jumlah kamp penampungan”, tambah dia. 

Artinya gedung sekolah atau perguruan tinggi yang ditutup menyusul karantina harus dialihfungsikan untuk menampung pengungsi. Kamal juga mendesak pemerintah mempertimbangkan gedung publik lain untuk dijadikan kamp penampungan. 

Tidak hanya siklon, India dan Pakistan juga memasuki fase bulan-bulan paling panas di sepanjang tahun yang biasanya jatuh antara Mei hingga Juni. Warga yang tidak memiliki akses air bersih atau pendingin ruangan terancam mengalami bencana kesehatan, terlebih di tengah karantina total. 

Gelombang panas yang melanda India dan Pakistan tahun lalu memicu temperatur harian hingga ke kisaran 50 derajat Celcius dan menimbulkan lebih dari 180 korban jiwa. Badan meteorolgi nasional India tahun lalu mencatat 32 hari gelombang panas. 

Tahun ini situasinya dikhawatirkan makin memburuk, terutama ketika rumah sakit dijejali oleh pasien COVID-19. “Kita harus bekerja dua kali lipat lebih keras tahun ini dan memastikan kita mampu meminimalisir tekanan terhadap rumah sakit yang berkaitan dengan gelombang panas“ kata Kamal Kishore.  

Musim badai di Pasifik 

Sementara itu di Vanuatu sebanyak 160.000 orang mengungsi usai siklon Harold meluluhlantakkan negeri kepuauan di Pasifik Selatan itu pekan lalu, demikian laporan Sanaka Samarashinha, koordinator PBB di Fiji. 

“Semua hasil panen rusak,” katanya. Dan jika masa tanam tidak dimulai dini, “kami akan menghadapi rawan pangan untuk waktu yang lama.” 

Badai Harold yang menyapu Vanuatu dengan angin berkecepatan 250km/jam menyisakan kerusakan dan kehancuran di tengah wabah corona.
Badai Harold yang menyapu Vanuatu dengan angin berkecepatan 250km/jam menyisakan kerusakan dan kehancuran di tengah wabah corona.Foto: Reuters/W. Celac

Bencana alam itu memaksa pemerintahan Vanuatu memberlakukan status darurat nasional untuk yang kedua kalinya pada 11 April lalu.  

“Negara-negara kepulauan di Pasifik Utara sebaliknya harus menghadapi bencana kekeringan, selain wabah corona”, kata Lemau Afamasaga dari Palang Merah di Palau. “Dalam beberapa bulan terakhir, pekerjaan kami sebenarnya adalah mengimbau penduduk agar mencuci tangan. Tapi kami malah ditanya, bagaimana hendak mencuci tangan jika air tidak ada?’,” kata dia. 

Adapun Filipina yang mencatat kasus penularan COVID-19 tertinggi di Asia Tenggara juga masih berjibaku memulangkan ribuan pengungsi yang terkena dampak letusan gunung Taal, Januari silam, dan topan Ursula Desember silam yang memaksa lebih dari 100.000 orang berlindung di kamp-kamp pengungsian. 

Palang Merah Filipina mengaku tidak hanya membantu korban COVID-19, tetapi juga menggunakan sebagian kapasitas untuk mengirimkan bahan pangan kepada korban bencana alam. 

Musim Kering di Indonesia 

Sementara itu di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mewanti-wanti musim kemarau 2020 akan lebih kering ketimbang tahun lalu. Musim kering tahun ini diprediksi akan dimulai pada April dan memasuki puncaknya pada Agustus 2020. 

Sebab itu sejumlah akademisi mewanti-wanti kemungkinan gangguan pada produksi pangan, terutama beras. Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin, produksi beras pada musim kering hanya mencapai 35%, dibandingkan hasil panen pada musim basah, seperti dirilis Katadata. 

Indonesia juga kembali terancam mengalami musim kebakaran hutan yang biasanya berlangsung antara April hingga Oktober. Tahun lalu saja kawasan hutan seluas 16.000 kilometer persegi hangus terbakar dan menciptakan kabut asap yang bertahan selama beberapa pekan. 

Agus Wibowo, Jurubicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mengakui kebanyakan potensi bencana di Indonesia pada 2020 “adalah bencana hidrometeorologi,“ yang meliputi banjir, kebakaran hutan, longsor dan kekeringan, kata dia kepada DW. 

“Sebabnya negara-negara di kawasan rawan bencana diminta menggunakan sumber daya secara bijak, karena krisis COVID-19 tidak akan menghilang dalam dua atau tiga pekan,” kata Kamal Kishore dari Badan Penanggulangan Bencana di India.  

“Krisis kesehatan ini akan memakan waktu hingga berbulan-bulan. Dan dalam bulan-bulan itu, kita juga menghadapi siklon dan gelombang panas. Jadi kebutuhan terhadap respon yang cepat sangat tinggi.“ 

BNPB sendiri mengaku pihaknya belum akan kehabisan kapasitas jika Indonesia menghadapi dua bencana sekaligus. "Kalau tidak besar sekali seperti pada tsunami di Aceh (2004), maka saya rasa masih mampu," kata Agus.

rzn/as (afp,rtr)