1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bergelut dengan Sampah

16 Maret 2011

Ratu Sampah se-Indonesia: Sri Bebassari, 61 tahun telah menghabiskan separuh hidupnya untuk meneliti seluk beluk sampah di Indonesia, khususnya Jakarta dan sekitarnya.

https://p.dw.com/p/10aZq
Timbunan SampahFoto: DW/Susanne Henn

Rumanta, 38 tahun, memarkirkan sepeda ontel tua kesayangannya, di pagar Tempat Pembuangan Sampat Terpadu, TPST Rawasari, Jakarta Timur. Koordinator Teknis TPST Rawasari, ini baru saja dari warung nasi. Rumanta geregetan, masih ada saja warga yang buang sampah sembarangan di luar TPST Rawasari. Membuat sampah berserakan sampai ke jalanan. Padahal sudah ada tempat yang disediakan di dalam TPST, gerutunya: "Kalau ada yang jaga, buangnya ditempat yang sudah disediakan. Tapi kalau tidak ada yang jaga, sembarangan melempar di luar. Sampah, sudah dipindahin ke dalam. Tiba-tiba ada lagi di luar. Itu warga-warga yang bandel."

Sementara Rumanta menyantap sarapan pagi, di sudut lain, seorang lelaki tua berkacamata tebal sedang asyik membongkar sampah dari dalam plastik. Tangan kriputnya dibuntal dengan kantong kresek kecil. Sambil ditemani ribuan lalat dan seekor kucing, berusia 73 tahun yang biasa disapa Pak Min, memilah sampah rumah tangga yang basah dan kering. Setelah dipilah, bau sampah sudah tak menyengat: "Sampah itu, kalau sudah dipilah jadi tidak bau. Seperti kita duduk di sini. Bau tidak? Tidak kan. Jadi, warga kalau protes, itu kadang-kadang karena Tempat Pembuangan Sampah bau, kumuh. Tapi kenyataannya di sini tidak. Setelah dipilah, sudah tak ada baunya. Kalau lalat biasa. Tapi sudah tidak bau lagi."

Müll
Sampah plastikFoto: Bilderbox

Kata Koordinator Teknis, Rumanta, ada 4 karyawan yang bekerja di TPST Rawasari. Tiap hari karyawan, ini TPST Rawasari mengambil atau menerima sampah dari warga sekitar hingga 4 gerobak sampah. Hasil dari pemilahan sampah tersebut, bisa menghasilkan pupuk kompos sebanyak 500 kilogram: "Dalam satu hari kalau kita kerja maksimal bisa sampai 400 sampai 500 kilogram pupuk kompos. Kompos di sini juga tidak pernah menumpuk. Pasti ada saja yang beli. Satu karung berapa? Ada 15 kilo. Dijual berapa? Kalau beli banyak, harganya 500 rupiah. Kalau beli sedikit, 1000 rupiah per kilogram."

TPST di Tengah Pemukiman

Di sisi kiri kanan TPST Rawasari, pohon-pohon bambu menjulang tinggi. Sementara taman yang asri, berada di halaman depan dan belakang. TPST penghasil kompos, ini merupakan proyek uji coba Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, BPPT dengan Pemerintah DKI Jakarta. Uji coba percontohan sampah rumah tangga yang diolah menjadi kompos begitu sederhana. Selama 7 minggu, sampah organik yang dipilah diaduk dan disiram air. Lalu, disaring dengan jaring kawat untuk menjadi kompos.

TPST Rawasari, Jakarta Timur tepat berada di tengah pemukiman warga. Luasnya, seperti lapangan tennis. Meski sudah lebih dari 10 tahun TPST ini berdiri, warga yang tinggal di sekitarnya tak keberatan. Maryana, salah satu warga yang tinggal tepat di belakang TPST Rawasari: "Di sekitar sini kan ada rumah sakit, sekolah, kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, kantor pemadam kebakaran, puskesmas, tapi tidak bau sih. Sampah di sini tidak masalah. Kalau bau pastinya udah dikomplain sama warga sini. Tapi tidak sih, biasa aja."

Si Ratu Sampah

TPST tak bau busuk serta bisa menghasilkan kompos, ini salah satu gagasan seorang Ibu dua anak, berusia 61 tahun. Sri Bebassari, sudah menghabiskan setengah hidupnya untuk meneliti sampah di Indonesia. Kerja keras Sri Bebassari mengurangi sampah di Indonesia, membuatnya dikenal sebagai Ratu Sampah. Ia mengatakan :"Saya senang saja disebut sebagai Ratu Sampah. Soalnya, di Indonesia cuma ada satu. Daripada yang lain, produsen sampah. Cuma membuang saja kan. Ya, minimal, saya sudah punya trade mark, bahwa diakui selama 31 tahun, saya memang belajar sampah. Dan, sekarang setelah sampah banyak dibicarakan, banyak juga orang menyatakan, saya ahli sampah. Padahal dia, baru belajar sebulan, belum 31 tahun. Tak apa-apalah dibilang ratu sampah."

Lulusan Teknik lingkungan Institute Teknologi Bandung, ini pun prihatin dengan minimnya penelitian sampah di Indonesia. Sejak 1980, perempuan yang hobi menggunakan tas daur ulang, ini terpanggil untuk hidup dengan sampah: "Jadi yang belajar sampah di dunia ini tak sampai 1 persen. Sementara buang sampah itu semua orang. 100 persen. Jadi benar-benar pekerjaan yang harus dicintai, ditekuni. Ya, sampah itu ilmunya multidimensi. Ilmunya dinamis. Jadi, makin kita belajar, justru kita makin nggak tahu apa-apa. Jadi ilmu padi itu benar. Makin berisi, makin merunduk."

Pasca lulus dari ITB 1980, Sri Bebassari dipercayakan jadi peneliti sampah di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, BPPT selama 25 tahun. Salah satu tokoh yang gencar mendorong digulirkan Undang-Undang Sampah pada 2008, kini menjadi Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association, InSWA. Asosiasi, ini sedang berjuang menekan peredaran kantong-kantong kresek tak ramah lingkungan dari ritel modern. Caranya, dengan memberi penghargaan pada ritel yang menggunakan kantong kresek ramah lingkungan.

Penghargaan Untuk Ritel

Pada saat ulang tahun DKI Jakarta, 10 Juni, InSWA memberikan penghargaan pada 23 ritel yang sudah menggunakan kantong plastik degradable. Dalam hal ini, InSWA hanya mengisi kekosongan program, karena pemerintah sampai saat ini belum mengeluarkan izin khusus untuk degradable plastik, juga belum mengeluarkan sertifikat. Karena SNI, untuk degradable plastik belum ada sampai sekarang.

Meski usia senja, Sri Bebassari tak lelah berjuang untuk lingkungan di Indonesia yang telah rusak akibat sampah. Ia merasa tak perlu disohorkan pemerintah sebagai pahlawan lingkungan. Cukup kerja kerasnya yang jadi bukti untuk dikenang dan dibanggakan pada generasi mendatang.

Muhammad Irham

Editor : Ayu Purwaningsih