1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indonesia Patut Meminta Maaf atas Tragedi ‘65

29 September 2018

Saban September tiba, publik di Indonesia kembali mengingat tragedi kemanusiaan 30 September 1965. Bagaimana menyikapi hal tersebut? Simak opini Monique Rijkers.

https://p.dw.com/p/34UVl
Indonesien Hetze Kommunisten 1965
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images

Para jenderal tentara yang diisukan dibunuh oleh komunis menjadi awal saling bunuh di Jawa selama beberapa bulan hingga jumlah korban pembunuhan massal mencapai hampir satu juta jiwa menurut rilis Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) pada tahun 1966. Sedangkan menurut Komnasham jumlah korban berkisar antara 500 ribu sampai tiga juta orang, termasuk yang dibuang ke Pulau Buru.

Komunisme menjadi momok terlebih karena Orde Baru mendiskriminasi mereka yang diduga berkaitan dengan komunis, dengan atau tanpa bukti. Bagi generasi pasca Reformasi, komunisme menjadi "hantu”, sesuatu yang dipercayai ada meski tak pernah benar-benar melihat orang atau organisasi yang berpaham komunisme hidup di Indonesia. Isu komunisme menjadi materi untuk membangun ketakutan dan menjadi topik narasi untuk merawat kebencian.

Penulis: Monique Rijkers
Penulis: Monique Rijkers Foto: Monique Rijkers

Berdasarkan riset Wahid Foundation tahun 2017 komunis adalah hal paling dibenci setelah LGBT yang diikuti dengan isu Yahudi di tempat ketiga. Kebencian tentu bukan untuk dipelihara karena itu sangat perlu dilakukan pelurusan sejarah terkait peristiwa 1965 dengan mengungkapkan kebenaran dan mengakui kesalahan masa lalu. Salah satu cara untuk menghentikan paranoid terhadap komunisme adalah rekonsiliasi antara korban dan pelaku yang dapat diawali dengan kesadaran untuk meminta maaf terhadap korban.

Jerman menjadi contoh yang tepat untuk hal ini. Meski Jerman bukan berarti Nazi, namun atas nama pemerintah Jerman Kanselir Jerman Angela Merkel telah meminta maaf atas Holocaust yang disampaikan pada tahun 2007 di depan Majelis Umum PBB.

Permintaan maaf atas tragedi pembunuhan jutaan orang Yahudi kembali diulang Merkel saat berkunjung ke Knesset (Parlemen Israel) tahun 2008. Permintaan maaf Merkel tentu tak akan membuat para penyintas dan keluarga mereka melupakan tragedi kemanusiaan tersebut. Namun kesalahan yang dilakukan oleh Nazi dan akhirnya melibatkan banyak warga Jerman membuat Merkel mengakui kesalahan itu dan meminta maaf. Kebesaran jiwa Merkel membuat ia mendapat Penghargaan Perdamaian Seoul pada tahun 2014. 

Permintaan maaf terhadap tragedi kemanusiaan juga dilakukan oleh Pemerintah Belanda terhadap keluarga korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan tahun 1946-1947 dan korban agresi militer Belanda 1947 di Rawagede, Jawa Barat. Meski permintaan maaf itu dilakukan setelah adanya gugatan hukum keluarga korban melalui pengadilan di Belanda, Pemerintah Belanda menunjukkan niat baik dengan menyampaikan permintaan maaf dan memberikan kompensasi ganti rugi kepada keluarga korban.

Permintaan maaf bukan disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte tetapi melalui Duta Besar Belanda Tjeerd de Zwaan pada 12 September 2013. Empat belas keluarga korban menerima kompensasi masing-masing sebesar 20 ribu Euro.

Selain Belanda, Jepang yang berkuasa sekitar tiga tahun di Indonesia turut meminta maaf atas kekejaman Jepang terhadap rakyat Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Perdana Menteri Tomiichi Murayama tahun 1995 dan diulangi kembali oleh Perdana Menteri Shinzo Abe tahun 2015 saat memperingati berakhirnya perang dunia kedua. Namun Jepang tidak meminta maaf atas penindasan terhadap para perempuan yang dijadikan budak seks (jugun ianfu) meski Jepang sudah memberi kompensasi kepada jugun ianfu dari Korea Selatan.

Perlukah Permintaan Maaf Terhadap Bangsa Indonesia Sendiri?

Lantas bagaimana dengan pembunuhan massal 1965 di Indonesia, perlukah pemerintah meminta maaf atas peristiwa tersebut kepada para korban?

Sejauh ini belum pernah ada pernyataan maaf dari pemerintah, bahkan ketika Gus Dur menyampaikan permohonan maaf kepada Pramoedya Ananta Toer, penulis yang menjadi tahanan politik masa Orba saat berjumpa tahun 1999, sebagian elite Nadhlatul Ulama menganggap itu permintaan maaf pribadi.

PBNU melalui Ketua Slamet Effendi Yusuf (alm) pada tahun 2013 telah menegaskan menolak meminta maaf meski dalam berbagai dokumen rahasia yang diungkap oleh Pemerintah Amerika Serikat terdapat beberapa indikasi adanya pelibatan kelompok Islam oleh militer Indonesia untuk melawan Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Salah satu contoh adalah Telegram bernomor 183 yang dikirim oleh Konsul Amerika Serikat di Surabaya berisi pesan saksi mata, "Pembunuhan di Jawa Timur memiliki warna Perang Suci, pembunuhan terhadap kafir seharusnya memberikan tiket ke surga.” Dalam dokumen Telegram bernomor 187 yang dikirim oleh Konsul Amerika Serikat di Surabaya untuk Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta tertulis, "Laporan tersebut menggambarkan pembunuhan tersebut telah dipimpin oleh "Muslim”.

Operasi pembersihan di Surabaya dilaporkan memakan waktu lebih lama karena banyaknya simpatisan PKI di daerah tersebut. Wakil Gubernur Jawa Timur Satryo dilaporkan "diam dalam rumah” sementara pembersihan terjadi.” Arsip dokumen tersebut melengkapi fakta sejarah yang dipublikasikan oleh PBNU tahun 2014 dalam buku "Benturan NU-PKI 1948-1965”

Permintaan Maaf Terhadap Para Korban '65 Bukan Kepada PKI

Pada Pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag, Belanda yang berlangsung November 2015 silam sejarawan Asvi Warman Adam berharap Presiden Joko Widodo meminta maaf atas kesalahan negara pada peristiwa 1965. Namun pada Juni 2016, Presiden Joko Widodo saat berada di Mabes TNI menyatakan tidak ada rencana meminta maaf terhadap PKI. Hal ini menurut penulis sangat penting diluruskan bahwa desakan meminta maaf tersebut adalah kepada para korban peristiwa '65 bukan kepada PKI.

Sebagaimana Pemerintah Belanda dan Jepang meminta maaf kepada keluarga korban di Indonesia demikian juga halnya dengan Pemerintah Indonesia sepatutnya menyampaikan permintaan maaf atas tragedi kemanusiaan yang menimpa sesama anak bangsa. Presiden Joko Widodo idealnya bisa menyampaikan permintaan maaf tersebut saat menghadiri Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober mendatang.

Jiwa besar yang ditunjukkan oleh pemimpin Jerman, Belanda dan Jepang menjadi teladan bagi kita di Indonesia agar dapat mengakui kesalahan dan mewujudkan keinginan rekonsiliasi. Permintaan maaf tidak menyelesaikan persoalan namun permintaan maaf dapat mengurangi beban masa lalu yang diemban keluarga korban, mematahkan stigma yang dilekatkan oleh pemerintahan Soeharto serta menjadi awal rekonsiliasi nasional antara sesama warga negara Indonesia. (ap/vlz)

Penulis @monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.