1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Berlomba-lomba Merusak Hutan Papua

Ayu Purwaningsih7 November 2008

Greenpeace mencatat laju kerusakan hutan di bumi cendrawasih Papua semakin memprihatinkan. Hutan alam kini berubah fungsi menjadi lahan kelapa sawit. Jika tidak segera dibatasi, hutan alam Indonesia bisa terancam punah

https://p.dw.com/p/FpFb
Penggundulan hutan mengancam ekosistem alamFoto: AP

Bahan bakar nabati yang dianggap sebagai juru selamat akan kebutuhan energi terbarukan, di banyak tempat menjelma jadi hantu lingkungan.

Di Indonesia, penanaman masal kelapa sawit untuk bahan bakar nabati atau biofuel, malah jadi malaikat maut bagi hutan tropisnya. Padahal sebelum itu juga hutan Indonesia dirusak dari waktu ke waktu. Sesudah hutan Sumatera dan Kalimantan rusak berat, Papua, yang merupakan hutan alam terbesar Indonesia juga terancam.

Organisasi lingkungan internasional Greenpeace sepanjang bulan Oktober melakukan perjalanan khusus dengan kapal Esperanza, memantau keadaan hutan Papua dari Jayapura hingga Manokwari.

Papua sedang dibabat

Begitu banyak hutan alam Papua sudah berubah wajah menjadi kebun kelapa sawit. Pembukaan lahan diantaranya dilakukan perusahaan-perusahaan raksasa. Hal ini diungkapkan Greenpeace. Pembabatan besar-besaran antara lain terjadi di sekitar Kabupaten Jayapura. Dalam pemantauan tiga bulan lalu wilayah ini masih merupakan hutan alam. Kini berubah menjadi lahan persiapan perluasan perkebunan kelapa sawit.

“Yang paling banyak direncanakan adalah perkebunan kelapa sawit. Ada dua puluh juta lebih hektar lahan kelapa sawit yang direncanakan untuk dibuka. Ini belum semuanya dibuka. Namun ada potensi untuk membuka lahan hutan besar-besaran di Indonesia“, tandas juru kampanye Greenpeace Bustar Maitar.

Perusahaan yang disorot Greenpeace diantaranya adalah perusahaan Sinar Mas Group. Bustar yang berada di atas Kapal Esperanza mengungkapkan “Kita tidak mengatakan Sinar Mas tidak mempunyai izin. Tapi yang Greenpeace ungkap adalah kemauan moral dari para perusahaan itu. Kalau perusahaan-perusahaan itu mengaku punya izin, pertanyaannya: Apa kita mau membiarkan hutan kita dibabat habis? Untuk mencegah emisi gas rumah kaca memerlukan dukungan moral dari semua pihak termasuk perusahaan. Perubahan iklim terjadi tidak menunggu dulu izin pemerintah.”

Waldzerstörung in Indonesien freies Format
Seorang penduduk berjalan di tengah hutan yang sengaja dibakar untuk membuka lahan sawit di RiauFoto: AP

Sementara di Manokwari, apa lagi temuan Greenpeace? , Bustar mengisahkan: “Di dekat Manokwari kami melihat aktivitas legal. Perusahaan Kaltim Hutama dan Centricodi mereka kan dalam pengawasan polisi. Namun mereka masih melakukan aktivitas pemuatan kayu yang dikirim ke luar Papua.

Setiap jam seluas 300 lapangan bola

Bustar Maitar menyatakan, nantinya penelitian Greenpeace juga akan meliputi kondisi keseluruhan hutan di Indonesia. Meski sorotan utama misi Esperanza adalah Papua dan Sumatera.

Sawit Watch, sependapat dengan Greenpeace. Akhir tahun belumlah tiba, namun dalam catatan organisasi khusus pemantau penanaman masal kelapa sawit, pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia sampai bulan Oktober 2008 saja sudah mencapai 7,3 juta hektar.

“Percepatan kerusakan hutan untuk perkebunan kelapa sawit ini luar biasa. Kalau kita bandingkan dengan tahun lalu: tahun lalu pembukaan perkebunan kelapa sawit mencapai 6,5 juta hektar. Itu artinya peningkatannya mencapai 1 juta hektar per tahunnya”, imbuh Abed Nego Tarigan, peneliti dari LSM Sawit Watch.

UN Naturschutzkonferenz, Greenpeace Aktion
Protes Greenpeace terhadap pembakaran hutan di sela-sela konfrensi iklim PBB di BonnFoto: Bernd Arnold/Greenpeace

Tak diragukan lagi bahwa pembukaan areal perkebunan kelapa sawit menciptakan kerusakan hutan yang parah. Indonesia bahkan kembali masuk dalam daftar Guinness Book of World Records sebagai negara dengan tingkat perusakan hutan tercepat di dunia. Setiap jamnya Indonesia mengalami penggundulan hutan setara 300 kali lapangan bola.

Sebelumnya, Indonesia juga tertera dalam Guinness World Records dengan tingkat kehilangan areal hutan mencapai 2 persen atau 2,8 juta hektar per tahunnya, antara tahun 2000-2005. Pencatatan kala itu juga berdasarkan laporan dari Greenpeace. Namun pemerintah Indonesia menyanggah.

“Itu tidak betul, datanya salah. Yang betul laju deforestasinya 1,08 juta hektar. Kini ada pengurangan. Kalau ada perusahaan yang membuka hutan alam (primary forest), mereka akan dihukum. Jadi perusahaan hanya boleh membuka hutan produksi”, tandas Menteri lingkungan hidup Indonesia, Rachmat Witoelar.

Mengimbangi angka permintaan bahan baku

Menurut Bustar Maitar dari Greenpeace, meski pemerintah sibuk membantah, secara umum kondisi kerusakan hutan di Indonesia mencapai tingkat yang mencemaskan. Bagi Greenpeace bukan soal perbedaan angka kerusakan hutan yang harus menjadi perdebatan, melainkan kemauan yang besar untuk menekan laju kerusakan hutan di Indonesia.

„Berapa pun angkanya, ini berpotensi menjadi lebih parah, bila hutan tak dikelola dengan baik. Kita tahu sendiri besarnya permintaan minyak kelapa sawit dunia semakin hari semakin tinggi. Ancaman terhadap deforestasi di Indonesia sangat tinggi, bila pemerintah tidak melakukan moratorium untuk konversi hutan di Indonesia serta memperbaiki kebijakan yang ada dan menghentikan penebangan hutan yang berakibat buruk, termasuk pada lahan gambut.”

Penggundulan hutan besar-besaran untuk perkebunan kelapa sawit ironisnya terkait dengan upaya negara maju melindungi lingkungan. Khususnya dalam mengembangkan bahan bakar nabati, bahan bakar terbarujkan yang ramah lingkungan. Tetapi dampaknya justru menciptakan bencana kehancuran lingkungan di negara berkembang. Menurut Abed Nego Tarigan dari Sawit Watch, seharusnya negara-negara maju sebagai konsumen utama bahan bakar nabati secara serius mempertimbangkan hal ini.

"Negara-negara konsumen harus sudah mulai mengendalikan konsumsi mereka. Selama konsumsi, misalnya dari Eropa tetap tinggi, industri akan tetap menyediakan produk. Negara konsumen harus mengontrol kuantitas kebutuhan sawit mereka. Kami dengar ada perusahaan penerbangan dan makanan yang masuk ke industri perkebunan kelapa sawit. Di tahun 2006 saja sudah 600 perusahaan yang terdaftar. Walaupun sebenarnya berada di bawah holding company besar", tandasnya.

Waldzerstörung auf Sumatra, Indonesien - freies Format
Laju pengrusakan hutan di Sumatera meningkat drastis. Kini Papua yang dijadikan incaran selanjutnya.Foto: AP

Penggundulan hutan merajalela

Sawit Watch mencatat, setiap tahunnya perusakan hutan menyumbang 20 persen emisi gas rumah kaca ke atmosfer, yang menyebabkan semakin parahnya pemanasan global. Karenanya upaya perlindungan iklim negara maju bisa menjadi bumerang. Karena faktanya, penanaman sawit sebagian besar dilakukan dengan mengubah hutan alam dan lahan gambut. Dan itu justru merupakan bom waktu bagi perubahan iklim. Di sisi lain, menurut Sawit Watch, penggundulan hutan di Indonesia juga menyebabkan konflik diantara perusahaan dengan masyarakat adat di sekitarnya.

Wilayah lain yang sudah lebih dulu terongrong hutannya adalah Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimantan, pembabatan hutan terjadi hingga ke perbatasan Malaysia. Sementara Sumatera, yang merupakan rumah bagi spesies penting dan langka seperti harimau, orangutan, badak dan gajah, bahkan telah kehilangan setengah tutupan hutannya (forest cover) dalam dua puluh tahun terakhir.

Esperanza kini sudah berlabuh di Riau. Semenanjung Kampar di Riau selama berpuluh tahun mendapatkan etkanan dari konversi hutan dan gambut lahan yang pesat untuk perkebunan kelapa sawit dan industri kertas. Sekitar 700 ribu hektar hutan telah dialokasikan untuk tiga HPH besar, belasan konsesi pulp dan kertas serta belasan lainnya industri kelapa sawit.

“Sungai dekat Kampar peninsula yang merupakan kawasan gambut yang dalam sekali, ekosisetemnya unik. Namun kini dalam situiasi terancam karena industri kelapa sawit dan industri untuk produksi pulp dan kertas”, papar Bustar Maitar.

Greenpeace terus menyerukan langkah cepat untuk menyelamatkan iklim global dan menyerukan moratorium penebangan hutan.